Home » Beranda Nusantara » ICW Sorot Rangkap Jabatan Dirjen Kemenkes, Duga Penetapan Tarif PCR Sarat Konflik Kepentingan
pasang-iklan-atas

ICW Sorot Rangkap Jabatan Dirjen Kemenkes, Duga Penetapan Tarif PCR Sarat Konflik Kepentingan

Pembaca : 10
IMG_20210820_221411_187

ALAIMBELONG.ID – Jakarta. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah menduga penetapan harga tes dengan metode swab polymerase chain reaction (PCR) sarat dengan konflik kepentingan. Pasalnya, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Abdul Kadir sekarang juga merangkap jabatan sebagai Komisaris Utama di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu PT Kimia Farma.

“Kita tahu Kimia Farma juga melakukan pemeriksaan atau melayani pemeriksaan PCR,” kata Wana dalam diskusi virtual yang diadakan LaporCovid-19, sebagaimana dilansir Kompas.com, Jumat (20/8/2021).

Wana mengatakan, bagaimana mungkin seorang yang menetapkan tarif tes PCR juga menduduki komisaris utama di salah satu BUMN. Karenanya, ia menduga, selama 10 bulan terakhir tidak pernah ada evaluasi tarif PCR karena salah satu pihak yang menetapkan tarif pemeriksaan tersebut juga terlibat dalam penyediaan jasa pelayanan PCR.

“Sehingga kemungkinan ada keenganan melakukan evaluasi tersebut,” ucapnya.

Menurut Wana, status yang dimiliki oleh Abdul Kadir bertentangan dengan dua ketentuan hukum yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2019 tentang Pelayanan Publik dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang BUMN. Hal mana pada Pasal 17 UU Nomor 25 Tahun 2019 disebutkan bahwa pelaksana dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badna usaha milik negara dan badan usaha milik daerah.

“Kemudian pada Pasal 1 ayat (5) pelaksana pelayanan publik yang selanjutnya disebut pelaksana adalah pejabat, pegawai, petugas dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang bertugas melakukan tindakan pelayanan publik,” tuturnya.

Lebih lanjut Wana memaparkan bahwa dalam Pasal 33 UU Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN dikatakan bahwa komisaris dilarang memangku jabatan rangkap sebagai anggota direksi BUMN, BUMD, badan usaha milik swasta, dan jabatan lain yang menimbulkan benturan kepentingan.

Menanggapi sorotan Wana tersebut, Abdul Kadir membenarkan bahwa dirinya menjabat sebagai Komisaris Utama Kimia Farma. Namun, ia menegaskan bahwa posisinya tidak menimbulkan konflik kepentingan dalam penentuan tarif PCR. Sebab, yang melakukan penghitungan tarif tes PCR di Indonesia bukan pihak Kementerian Kesehatan namun Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Kadir juga mengatakan bahwa ia menjabat sebagai Komisaris Kimia Farma sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah, bukan seorang komisaris independen.

“Saya hanya mengumumkan dan mengeluarkan edaran, jadi kami eselon 1 Kemenkes, diberikan tugas tambahan sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk jadi komisaris di situ. Dan perpanjangan tangan, jadi wakil pemerintah bukan komisaris independen,” ucapnya. *(RB)

Berita Terkait