Home » Rubrik » Opini » 4 Wapres, Moerdiono, 1 Sifu
pasang-iklan-atas

4 Wapres, Moerdiono, 1 Sifu

Pembaca : 15
indra-j-piliang-sudah-1-tahun-jadi-pecandu-narkoba-jenis-sabu

Oleh : Indra J Piliang

“Ikut Kegiatan Pramuka Sejak Sekolah Dasar”

 

Denmark. Piala Eropa baru saja selesai. Tim dinamit tidak jadi meledak.

Atas kuasa langit, tampak lelaki berperawakan sedang, sawo matang, berjas kebesaran, sedang menuju stasiun kereta api di Kopenhagen. Tak jauh dari stasiun itu, terdapat deretan toko penjahit pakaian. Sistem pasar sosial yang berlaku di Denmark langsung terlacak. Usia toko-toko itu rerata sudah lebih dari satu abad.

Mohammad Hatta atau Bung Hatta. Pria berkacamata berusia 119 tahun kurang dua hari itu pernah berutang budi kepada penjahit pakaian Denmark. Tak punya uang, mantel robek, tukang jahit itu membolehkan Hatta yang masih mahasiswa di Amsterdam untuk berhutang.

“Pelajar Hindia Belanda adalah warga paling jujur di planet bumi,” begitu alasan penjahit itu.

Saking terkesan pada penjahit itu, Hatta terus berlangganan sampai usia menjemput.
Yang melayani Hatta berusia kepala lima.

Penjahit: “Mau bikin apa, Mister?”

Hatta mengeluarkan kiriman Gustika, cucunya, garmen untuk pakaian pramuka. Termasuk kacu merah-putih. Celana coklat. Baju warna coklat muda. Berbeda dengan pakaian pramuka orang Eropa yang lebih coklat tua.

Penjahit: “Kenapa warnanya lebih muda?”

Hatta: “Hemat bahan pewarna.”

Sebentar lagi 17 Agustus. Hatta lebih senang berpakaian pramuka, hadir di barisan energi pahlawan yang turut bernyanyi Indonesia Raya di Istana Negara.

Ketika duduk menunggu pakaian jadi, seseorang mendehem.

“Sehat ya, Bung Hatta? Walau tanah air kita sedang dilanda krisis manajemen penanganan krisis. Krisis di atas krisis,” ujar orang itu.

Hatta: “Yang Mulia Sultan Hamengkubuwono IX? Sejak kapan di sini?”

Sultan HB IX: “Dua hari yang lalu datang.Baru sempat ke sini. Kerajaan Denmark ini masih menganggap saya sebagai raja dari Hindia Belanda. Mereka adakan upacara kerajaan. Termasuk naik kereta kencana. Beruntung mereka kalah pada babak dengan sistem gugur Liga Eropa. Saya bisa menyamar jadi orang biasa, keluar dari penjagaan pengawal kerajaan, naik trem ke sini. Kan Bung Hatta yang kasih tahu tempat ini.”

Kedua sosok itu saling berangkulan. Sama-sama pernah menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Namun berperilaku seperti rajawali. Satu berwatak Elang Laut Hindia. Satu lagi berijiwa Elang Bondo Jawa, lebih banyak berada di kalangan jelata burung-burung.

Hatta jarang berkomentar tentang Sultan HB IX, pun sebaliknya. Usia mereka berselisih 10 tahun. Hatta lebih senior.

Dua pasang mata itu tertuju ke arah pintu masuk. Seorang lelaki dengan warna kulit yang sama sedang masuk. Tersenyum ramah. Bercakap sumringah dengan siapa saja. Mudah akrab. Satu kancing baju lepas.

Lelaki itu sadar sedang diamati. Setengah berlari, sambil merunduk, langsung ke arah kedua tokoh itu.

“Sendiko dawuh, Sultan. Merdeka, Bung Hatta!” kata lelaki itu.

Sultan HB IX: “Moerdiono. Susah mencari café khusus musik tradisional Asia di sini, ya?”

Moerdiono: “Nggih, Sultan!”

Hatta: “Seingatku, Moerdiono jarang sekali berpakaian pramuka? Kenapa tadi membawa bahan garmen yang sama?”

Moerdiono: “Kan Sultan HB IX adalah Maharaja Diraja Kerajaan Pramuka di Nusantara? Legendaris. Saya tahu, medan energi para pahlawan bakal berbaris di Istana Negara jelang Hari Proklamasi. Jurnalis segan bertanya kepada para tetua. Saya bersedia jadi bumper guna memberi informasi lengkap.”

Ketiga lelaki itu bercakap akrab. Moerdiono terlihat semakin muda. Sembilan belas hari lagi, Moerdiono baru berusia 87 tahun.

Mereka berpindah ke café yang berada di luar tempat penjahit baju. Sebelum sempat duduk, pelayan sudah menunjukkan meja buat mereka.

Moerdiono: “Siapa yang pesan?’

Pelayan menoleh ke arah meja dekat kasir. Seorang lelaki bermuka runcing, mirip Zola, pemain Tim Nasional Italia. Berjaket kulit hitam. Parlente. Berkacamata hitam.

Hatta: “Tempat duduk saja bisa diatur oleh Adam Malik Batubara. Sejak zaman Jepang paling berani sebagai jurnalis. Punya jaringan kuat di kalangan pemilik warung.”

Lelaki yang dibicarakan itu tampak tersenyum. Berjalan penuh percaya diri. Memeluk Moerdiono. Bersalaman dengan Hatta dan Sultan HB IX.

Moerdiono: “Jam segini sudah minum anggur?”

Adam Malik: “Minum berbeda dengan menghirup aroma anggur. Walau bukan untuk mencegah virus Corona, ya.”

Moerdiono: “Bukankah Faisal Basri Batubara suka menghirup aroma anggur dari botol-botol tua di rumah? Kalau ketemu Faisal, kami suka bicarakan kebiasaan para pembesar negeri. Faisal keras khas Batak, tapi bertutur lembut seperti orang Sunda.”

Hatta, Sultan HB IX dan Adam Malik sama-sama tertawa. Mereka tahu, Faisal adalah cucu Adam Malik yang baru saja ulang tahun ke 104 tahun. Kejujuran Moerdiono menganggap mereka sebagai pembesar negeri lumayan menghibur.

“Sunda mampu mengubah segalanya. Apapun. Siapapun,” ucap seseorang bernada berat. Tubuhnya tambun. Duduk di pojokan, hampir dekat toilet.

Moerdiono mendekati lelaki itu. Memberi hormat dalam militer. Lalu mengawal ke arah meja tiga orang itu.

“Umar Wirahadi Kusumah! Lengkap sudah secara etnografis. Batak, Minang-Palembang, Jawa Ngayogyakarta, Banyuwangi – Jawa Timuran, dan Sunda! Yang belum ada, Semarang, Jawa Tengah. Cuma, saya sudah telanjur pesan pakaian pramuka dari Shanghai!”

Pria yang tak kalah bangsawannya dibanding Sultan HB IX itu, terlihat masih tegap di usia menjelang 97 tahun. Kewibawaannya mencapai tujuh lapis langit.

Seseorang menyerobot jalan Umar dan Moerdiono, sambil membawa bangku sendiri.

Adam Malik: “Paling muda. Paling pandai memintal.”

Hatta: “Yang namanya jurnalis di republik ini, sudah pasti secara geneanologis terhubung dengan Adam Malik. Tapi Tuan Christianto Wibisono sudah pasti tak termasuk kelompok anti kaum tua, apalagi sampai menculik senior citizen.”

Hatta menyindir sekondannya, Adam Malik. Sultan HB IX menyeringai.

Moerdiono: “Dek Chris, boleh tanya? Kenapa beli di Shanghai?”

Christianto yang jelas paling muda, langsung bersalaman gaya jamaah. Menyembah dengan dua kepal tangan.

“Indra J Piliang, boss saya, pernah ketipu ketika belanja di Shanghai. Padahal, murah dan dekat dari Jakarta. Tan Malaka saja belanja baju-baju murah di Shanghai, sebelum Jepang masuk kan? Saya bisa bahasa Mandarin. Sekaligus, supaya tak dianggap pelit, saya langsung pesan satu kontainer untuk dikirim ke alamat Sangga Nusantara. Biar mereka berseragam, setelah diam-diam saja melewati ulang tahun ketiga,” jelas Christianto sejelas-jelasnya.

Hanya satu orang yang tersenyum mendengar jawaban Christianto. Siapa lagi kalau bukan Moerdiono. Senyum kecut. Sebab belakangan, murid Christianto itu mulai masuk industri hiburan di tanah air, yakni bernyanyi berjam-jam di facebook atau instagram, walau hampir tak ada penonton.

“Dek, kalau HUT Kemerdekaan nanti, kita singgah ke markas gerilyawan ya?” bisik Moerdiono ke Christianto.

CW: “Ada yang penting, Cak?”

Moerdiono: “Aku ngakak baca kolom Indra J Piliang minggu lalu. Aku ndak mau diperlakukan seperti Mas Harmoko itu lho. Nanti aku dibilang jubir komat-kamit lagi.”

Bel berbunyi dari arah toko penjahit. Karyawan datang. Memberi tahu pesanan pakaian pramuka mereka sudah selesai.

“Semua bisa diatur, Cak. Semua ada harganya, tentu,” bisik CW ke telinga Moerdiono. Sambil berjalan ke arah toko penjahit.

Moerdiono kembali meringis. Mengatupkan kedua bibir. Membasahi. (**)

Jakarta, 31 Juli 2021

Penulis adalah Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara

Catatan :
▪Hatta, bernama Mohammad Attar, lahir di Fort de Kock – sebelum diganti nama menjadi Bukittinggi, guna menghapus jejak PRRI – lupa PDRI – pada 12 Agustus 1902.

▪Adam Malik, lahir di Pematang Siantar, 22 Juli 1917.

▪Sultan Hamengkubuwono IX, lahir di Ngayogyakarta Hadiningrat, 12 April 1912.

▪Christianto Wibisono alias Oey Kian Kok, lahir di Semarang, 10 April 1945.

▪Moerdiono, lahir di Banyuwangi, 19 Agustus 1934.

▪Umar Wiraghadikusumah, lahir di Sumedang, 10 Oktober 1924.

Berita Terkait