Home » Rubrik » Opini » 7 Tahun Undang-Undang Desa, Catur Sakti Desa Masih Belum Sakti
pasang-iklan-atas

7 Tahun Undang-Undang Desa, Catur Sakti Desa Masih Belum Sakti

Pembaca : 97
IMG_20210119_145831_676

Oleh : Hamadin Moh Nurung

Empat hari lalu tepat tanggal 15 Januari 2021 adalah 7 tahun perjalanan Undang-Undang (UU) Desa, sebuah momentum penting yang luput dari memori saya sebagai pegiat desa untuk dibuatkan Catatan. Sebab, jika kita menulis uraian berbagai masalah pelaksanaan Undang-Undang Desa tentu kita akan menemukan banyaknya masalah yang menunjukan bahwa prinsip Catur Sakti Desa yang diklaim merupakan ruh dari teks UU Desa yakni desa bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya, pencapaiannya selama tujuh tahun perjalanannya masih jauh dari harapan.

Meski demikian, evaluasi tentu harus terus dilakukan sebagai ikhtiar untuk melakukan perbaikan terhadap berbagai permasalahan yang muncul agar harapan dan cita-cita besar dalam visi catur sakti Desa tersebut tetap terpilihara untuk dapat diwujudkan.

Cita-cita besar sebagaimana yang dimaksud adalah perwujudan dari Nawa Cita Presiden Joko Widodo butir ketiga “membangun indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia,” atau yang lebih akrab dan populer di kalangan Pegiat Desa dalam visi pembangunan desa dengan slogan “Desa Membangun Indonesia.”

Sebuah slogan yang penuh dengan optimisme dan spirit revolusioner, sebab menempatkan desa sebagai ujung tombak dalam menciptakan perubahan besar di republik ini, sebuah cita-cita yang cukup ambisius, namun bukan hal yang mustahil untuk diwujdkan.

“Desa Membangun Indonesia” adalah lompotan paradigma pembangunan yang menjadi pertanda dimulainya era baru pembangunan Indonesia dari desa, dan menjadi gerakan semesta membangun Indonesia dengan melibatkan peran aktif masyarakat pedesaan, seperti Mahatma Gandhi dengan gagasan Swadesinya yang mampu membebaskan bangsa India dari belenggu kolonial Inggris dan menciptakan perubahan besar. Hal mana, Gandhi mendorong kemandirian ekonomi yang dimulai dari Desa dan faktanya berhasil menjungkir balikan konsep produksi kolonial Inggris yang memperbudak “kaum papa (rakyat jelata di desa)” semasa itu.

Artinya, menurut saya sejatinya misi suci UU Desa adalah “Misi Pembebasan terhadap ketidakberdayaan Desa oleh hegemoni negara yang hanya menempatkan Desa sebagai objek pembangunan dan menjadikan Desa sebagai residu dari kebijakan Pembangunan Daerah Kabupaten, sehingga Desa tidak berdaya dan otonom dalam mengelola potensi yang dimiliknya. Ketidakberdayaan desa dan warganya memunculkan berbagai varian permasalahan pembangunan, ketimpangan, ketertinggalan, dan kemiskinan yang kemudian menjadi ruang-ruang gelap kegagalan pembangunan.”

Oleh karena itu, kehadiran UU Desa diharapkan dapat memberi tenaga kepada Desa agar mampu berdaulat, mandiri dan berdaya sebagaimana yang tercermin dalan tujuan dan azas pengaturan UU Desa yang terakum dalam catur sakti desa, yakni : desa bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya.

Substansi dari makna Catur Sakti Desa ini, sesungguhnya adalah menjadikan desa benar-benar sakti dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya, karena ujung dari pencapain UU Desa adalah kemakmuran Masyarakat Pedesaan.

Celakanya, cita-cita dan misi suci dari UU Desa seringkali dinodai, kewenangannya dikebiri, otonominya diintervensi, keadaulatanya dibajak, bahkan anggarannya juga ikut dirampok. Perselingkuhan antara oknum penyelengara pemerintahan Desa dan Kabupaten/Kota acap kali membuat warga Desa tak berdaya karena sengaja diperdayai. Kepala Desa tampil sebagai raja-raja kecil, merasa besar kepala, arogan dan bahkan kerapkali berseteru dengan mitranya Badan Permusyawaratan Desa (BPD) karena seolah merasa dialah penguasa tunggal di Desa, pemegang otoritas penuh yang posisinya begitu kuat di hadapan Pemerintah Daerah.

Ketidakberdayaan Warga Desa dalam menghadapi gaya kepemimpinan Kepala Desa yang arogan dan rakus dalam upayanya memperkaya diri sendiri, serta ketidakberdayaan Desa dalam menghadapi intervensi pejabat di tingkat daerah adalah ironi dari pelaksaanaan UU Desa yang sekaligus mengafirmasi bahwa Catur Sakti Desa belum sepenuhnya sakti menjadikan desa mandiri dan berdaya.

Harapannya,dimomentum tujuh tahun lahirnya UU Desa, kita sambut dengan penuh optimisme bahwa gerakan desa membagun akan bertumbuh secara optimal sehingga warganya bisa berdaya saing, dan Indonesia semakin maju, selayaknya optimisme Bung Hatta bahwa “…Indonesia bisa bercahaya bukan karena obor besar di Jakarta tapi Indonesia baru akan bercahaya karena lilin-lilin kecil di Desa.”

Kini lilin-lilin kecil itu telah dinyalahkan, cahayanya diharapkan mampu menerangi ruang-ruang gelap di pelosok-pelosok desa, ruang-ruang gelap ketimpangan pembangunan antara kota dan desa, ruang-ruang gelap kemiskinan, ketertinggalan pembangunan ekonomi pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

Itulah mengapa, kita lilin-lilin kecil itu akan terus menyala sehingga cahaya dapat memberi penerang kemakmuran desa dan menjadikan Indonesia berbinar, bukan justru membakar dan membumihanguskan cita-cita dan harapan kita semua. Waullahu alam bissawab.

Penulis adalah Wakil Pemimpin Redaksi /Redaktur ALAIMBELONG.ID dan seorang Pegiat Desa.

Berita Terkait