Oleh : Sari Wahyuni Labuna
Aktivis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dimaknai seseorang yang menggerakkan. Sementara dikalangan umum masyarakat aktivis selalu kategorisasikan sebagai seorang demonstran. Padahal mereka yang selalu berjuang demi kepentingan orang banyak-pun layak dikatakan aktivis.
Mengapa begitu? Lihatlah disekitar kita, ada berapa banyak orang yang rela mewakafkan diri hanya demi kepentingan orang lain, entah itu dalam skala yang besar atau skala terkecil sekalipun. Tak peduli seberapa banyak hujatan dari orang sekitar karena dirinya bahkan dianggap tidak punya pekerjaan, mondar-mandir sana sini, tak jelas profesi dan penghasilannya. Tapi apakah sebenarnya kita tahu, apa yang sebetulnya ada dalam pikiran orang-orang seperti demikian.?
Tidak, nyatanya saat ini kita semua teramat pandai untuk menilai dan bahkan mengukur seseorang dari sisi luarnya saja, tanpa bertanya pada pribadi yang bersangkutan, kita sibuk bergunjing tak karuan dengan subjektifasi penilaian kita sendiri. Padahal bisa jadi yang sedang dilakukan oleh orang-orang semacam itu adalah proses sosial dan pengkaderan misalnya, ia hanya melakukan dengan gaya dan caranya sendiri, non formal, tanpa papan tulis putih dan tinta, hanya bermodalkan semangat dan keyakinannya yang utuh akan adanya perubahan suatu hari nanti atas usahanya tersebut. Bahkan tanpa dibayar tak mengharap pula balasan, hanya jiwa yang bebas itu menginginkan kesadaran sosial untuk setiap generasi muda yang ditemuinya, sehingga tak henti-hentinya ia memberikan wejangan kepada siapapun yang ditemui.
Merekalah pejuang sejati, tidak pernah memegang mikrofon di tengah jalan tetapi sibuk melakukan sosialisasi penyadaran dari yang paling kecil namun sangat sulit dilakukan “buanglah, sampah pada tempatnya, jangan buang sampah ke laut”. Begitulah seumpama seruan-seruan kritis yang mereka lakukan untuk menumbuhkan dan menggerakan kesadaran rakyat dan pemerintah untuk melakukan perubahan positif dalam konteks kehidupan kebangsaan.
Dalam sebuah Seminar Internasional bertajuk AISSF Talk di UNAIR medio 4 Oktober 2021 silam, dengan tema “How to Become an Impactful Acitivist With Roles.” Direktur eksekutif Lingkar Demokrasi Institute, Syaf Lessy menyebutkan bahwa gelar aktivis bisa disematkan kepada siapa saja. Aktivis bisa berarti mahasiswa, partai politik, civil society dan lainnya. Hal terpenting dari aktivis adalah kemampuan untuk peka terhadap realitas yang terjadi pada masyarakat serta menguatkan niat dan tujuan. karena predikat aktivis akan disematkan ketika ada kesadaran yang terbentuk untuk melihat fakta-fakta sosial. Misalnya, isu diskriminasi, rasisme, ketimpangan hukum, dan sebagainya.
Karenanya, kemampuan menumbuhkan kepekaan dan menerjemahkan persoalan sosial menjadi sangat penting untuk dimiliki seorang aktivis, sebab aksi aktivis tidak hanya sekedar turun ke jalan dan melakukan boikot atau semacamnya, tapi lebih dari itu yaitu mendidik, merubah paradigma dan mengerakan terjadinya perubahan sosial yang dalam istilah Antonio Gramsci disebut intelektual organik.
Artinya, semua orang yang memiliki kesadaran kritis dan kemampuan menumbuhkan kepekaan sosial serta menerjemahkan berbagai problematika sosial berpotensi atau bisa bisa jadi aktivis. Jika tidak untuk orang lain setidaknya untuk diri sendiri, suatu saat berkembang pada keluargamu, masyarakat di sekelilingmu, hingga daerahmu, dan untuk negara kita tercinta Indonesia.
Beraktivislah dimanapun rananya, jangan sampai bonus demografi kita tidak bending lurus dengan kesadaran dan kemampuan warganya untuk membangun tatanan bernegara yang lebih baik lagi. Kesadaran kolektif harus kita tumbuhkan bersama, mulai dan teruslah belajar, tidak alergi politik, hingga kita bisa jadi generasi emas yang sejati untuk bangsa ini. (**)
Penulis adalah Inisiator Camping Montolutusan, Pendiri Komunitas LIPU NGGITA