Oleh : Hamadin Moh.Nurung
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Banggai Laut (Balut) tahun 2020 lalu, ternyata masih memiliki resonansi yang begitu besar, karena efek getarannya menciptakan polarisasi dan gejolak di tubuh pemerintahan, sehingga berdampak pada diabaikanya kepentingan publik, anehnya itu dipicu oleh pejabat di tingkat eksekutif bukan di level masyarakat biasa. Hal itulah yang dapat saya baca dalam isi rekomendasi hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang dikirim oleh seorang kawan melalui pesan singkat WhatsApp saya beberapa hari yang lalu.
Salah satu bunyi poin rekomendasi tersebut adalah : Meminta kepada Pemeritah Daerah untuk melakukan Konsolidasi, Rekonsiliasi di Internal Eksekutif, karena sangat terasa di luar bahwa ada persoalan-persoalan perebutan posisi sejak Wenny Bukamo tidak menjabat lagi sebagai Bupati. Adanya manuver politik pejabat di lingkungan eksekutif, yang kemudian berdampak pada terabaikannya kewajiban pemerintah daerah untuk mengurus kepentingan publik. Misalnya, gaji pegawai yang tertunda, Dokumen Pelaksana Anggaran (DPA) 2021 yang belum jalan, sehingga berpotensi dapat merugikan kepentingan publik.
Secara normatif rekomendasi tersebut adalah sesuatu yang biasa dilakukan oleh DPRD kepada Eksekutif, karena sebagai mitra strategis sudah seharusnya saling menasehati dan memperingati dalam hal kebaikan kita berdaerah, tetapi secara politis rekomendasi tersebut mengundang berbagai macam pertanyaan dan spekulasi, sehingga perlu adanya penjelasan lebih lanjut dan terang benderang, apalagi rekomendasi itu muncul sebagai respon dari tuntutan massa aksi yang menyorot kinerja Idamsyah Tompo sebagai kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) dan di tengah upaya Inspektorat melakukan audit di kantor BPKAD.
Sejumlah pertanyaan politis yang dapat diajukan atas rekomendasi tersebut adalah, Apakah benar ada terjadi resistensi ditubuh eksekutif,? Pejabat siapa yang melakukan manuver,? Manuver Kepada siapa,? Apakah manuvernya kepada Plt.Bupati ataukah kepada Bupati terpilih,? Apa motif dan tujuannya,? Apakah hanya sekedar cari jabatan, atau meminta suaka politik, dan bla bla bla.
Tetapi dari rekomendasi tersebut paling tidak ada dua hal yang menjadi fokus masalah yang menarik untuk dapat diselami lebih dalam, guna menemukan simpul-simpul Pesan di balik rekomendasi tersebut.
Pertama, meminta kepada Pemda untuk melakukan Konsolidasi dan Rekonsialisasi di Internal Eksekutif. Ini menciptakan kesan bahwa seolah-olah ada faksi-faksi di internal eksekutif yang saling berhadap-hadapan, sehingga terjadi polarisasi dan resistensi ditubuh pemerintahan, entah siapa yang menciptakan faksi tersebut.?
Kedua, adanya perebutan posisi jabatan pasca lengsernya Wenny Bukamo, dan adanya manuver-manuver pejabat di lingkungan eksekutif yang berhujung pada diabaikanya kepentingan publik, tentu ini adalah sebuah sikap yang tidak elok dan melukai perasaan publik.
Kedua hal tersebut tentu sangat kontras dengan suasana kebatinan publik (masyarakat-red) biasa yang nampak euforia usai mengikuti pesta demokrasi serta menyambut dengan suka cita lahirnya Bupati baru terpilih, dan juga sikap keakraban yang ditunjukan Bupati terpilih Sofyan Kaepa dan Plt. Bupati Tuty Hamid pada saat Rapat Pleno Terbuka penetapan Bupati terpilih hasil Pilkada serentak, sebagaimana yang telah saya ulas dalam tulisan saya sebelumnya yang bertajuk Pilkada Selesai Rekonsiliasi Dimulai, Sebuah Pesan Moral Dari Sikap Sofyan Kaepa dan Tuty Hamid.
Sikap pejabat eksekutif yang selalu menunjukan ambisinya mengejar jabatan dengan cara-cara kurang elok, ketimbang menunjukan prestasi kerjanya cenderung melahirkan pejabat-pejabat yang tidak berprestasi, yang hanya bisa makan puji dan suka memuji yang penting asal bapak senang semua beres. Itu sangat berbahaya dalam kerberlangsungan pemerintahan dan berpotensi pada kegagalan sebuah rezim.
Berdasarkan studi yang dipublikasikan oleh Journal of Applied Psychology, sebagiamana yang diberitakan di Beritatagar.id. bahwa mereka yang menghabiskan waktu cari muka dengan atasan biasanya memiliki sifat dan sikap yang buruk dibandingkan karyawan lain yang tidak melakukan hal tersebut.
Karena bersikap terlalu manis setiap saat di lingkungan kerja hanya untuk mengambil hati atasan bisa menyebabkan kelelahan fisik yang luar biasa. Mungkin itu yang dimaksud oleh Anthony Klotz, seorang asisten Profesor di Oregon State University, yang juga penulis studi bahwa “Ada harga yang harus dibayar untuk mencari muka dengan sikap manis berlebihan kepada bos Anda,” (*)
Penulis adalah Wakil Pemimpin Redaksi/Redaktur ALAIMBELONG.ID