Home » Rubrik » Opini » Empati Alumni Tua dan Laut Jakarta
pasang-iklan-atas

Empati Alumni Tua dan Laut Jakarta

Pembaca : 106
CartoonMe_1634353555013

Oleh : Indra Jaya Piliang

Kamis sore, tanggal 21 Juli lalu, bertempat di Kedai Kopi Goenoeang RCTC, Cakung Barat, Jakarta Timur, serombongan alumni Universitas Indonesia (UI) bersinergi. Area berdebu, macet, dan jauh dari rata-rata tempat tinggal mereka. Butuh keyakinan yang tak biasa untuk mencapai lokasi.

Dijamu ikan bakar nelayan dari Rumah Demokrasi Nelayan Kampung Marunda, tuan rumah Alip Poernomo menyambut kami dengan narasi sederhana, namun hebat, jantan, dan berisi. Alip adalah salah satu aktivis mahasiswa UI yang berkarakter. Dalam aksi Keluarga Besar UI, Alip pemegang komando lapangan. Alip pernah bergabung menjadi Komandan Batalyon Front Pembela Islam, guna kepentingan penelitian.

Bertindak sebagai pembicara: Gatot Prio Utomo, mahasiswa Ilmu Elektro Angkatan 1990. Senior, sekaligus sahabatku sejak di kampus. Gatot aktif di Kelompok Studi Mahasiswa UI Eka Prasetya, sekaligus Komisi Penalaran Senat Mahasiswa UI. Sosok lain yang berada di komisi itu adalah Syamsul Hadi, almarhum. Pun Sulistio, Sutana, dan Sad Dian Utomo. Gatot sudah menamatkan program doktoral.

Bersama Komisi Hubungan Luar Senat Mahasiswa UI, dengan sosok M Firdaus dari Ilmu Sejarah, Komisi Penalaran SMUI pertama kali membuka acara Mimbar Bebas di Pusat Kegiatan Mahasiswa UI. Oktober 1992. Mimbar Bebas itu lebih sebagai respon atas semakin meningkatnya gelombang kelompok-kelompok masyarakat yang datang ke kampus UI, bersama dengan aktivis mahasiswa UI yang bergiat bersama mereka.

Tiarom, seorang nelayan, sekaligus aktivis yang “ditemukan” Alip ketika bekerja sebagai Tim Ahli DPR RI, juga menjadi pembicara. Aku sempat “membajak” Tiarom untuk wawancara buat vlog pribadiku selama sepuluh menit, sebelum acara.

Tetapi, pada gilirannya, aku diminta bicara duluan. Padahal, aku sangat bermasalah dengan nyamuk-nyamuk yang bebas berkeliaran menggigit. Aku tahu, jangankan rumah susun, bahkan apartemen atau wisma sekalipun jarang dilakukan penyemprotan nyamuk oleh pengembang atau pemerintah. Aku lebih tertarik bicara tanaman yang bisa mengusir nyamuk, asal pengelola mau, sebetulnya.

Tetapi, baik, aku bicara soal pantai utara Jakarta. Namun, tidak dalam kapasitas sebagai “mantan” Panitia Seleksi Pejabat Eselon I dan II di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, sepanjang tahun 2015-2017. Selama satu setengah tahun, aku bekerja dari satu seleksi ke seleksi lain, guna mendapatkan pejabat yang berkelas, sembari mengikuti reformasi organisasi dan budaya yang dilakukan Madam Susi Pudji Astuti. Ketika menteri berganti, sebagian pejabat yang kuajukan itu mengundurkan diri.

Bagiku, jauh lebih baik bicara sebagai anak laut, sekaligus anak Jakarta, ketimbang birokrasi dan regulasi. Betapa makin banyak anak-anak yang tidak bisa berenang di kubangan bekas jalan berlubang, apalagi laut. Bahwa, anak-anak kampus membelakangi laut. Bahwa, tidak ada jurusan yang terkait laut di UI.

Seingatku, sejak pemberlakukan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan, kampus-kampus besar yang berada di pinggir laut, muara sungai, atau dekat dengan pasar rakyat, disingkirkan ke bagian pegunungan atau kawasan hutan. Sementara, bandingan dengan Malaysia hanya satu kampus, yakni Universiti Utara Malaysia. Mahasiswa asal kampus itu pernah datang ke UI. Aku punya sejumlah kawan korespondensi dari sana.

Silakan cek, kampus-kampus hebat di masing-masing almamater anda. Mana yang tidak dipindahkan, keluar dari laboratorium sosial dan budaya, terasing, sekaligus berteman dengan adu buah karet.

Upaya penyingkiran itu, termasuk kampus UI dari Salemba dan Rawamangun ke Depok, sama sekali bukan ditujukan untuk membangun menara ilmu menuju menara langit. Tetapi, setahuku, adalah lebih banyak berdasarkan pertimbangan dari Komando Keamanan dan Ketertiban yang melihat persekutuan rakyat dan mahasiswa, dimulai dari kedekatan kampus dengan laut, sungai, dan perumahan penduduk dari kalangan bawah.

Tiarom mengeluhkan banyak kesulitan sebagai nelayan. Bukan saja terhadang untuk mendapatkan bahan bakar minyak, tetapi juga area penangkapan ikan yang berpindah dan makin jauh ke tengah. Pelabuhan-pelabuhan laut milik swasta begitu mudah mendapatkan tanah, bersertifikat, sementara nelayan dalam rumpun organisasinya sama sekali tak punya rumah. Padahal, Tiarom adalah generasi ketiga yang menjadi nelayan. Perjuangan Tiarom sudah masuk ke kampus UI Depok, diundang berbicara di kalangan civitas akademika UI.

Gatot, nah ini yang aku suka dari “anak daerah” yang sama senasib denganku ini, mengajukan mekanisme terobosan dalam hubungan pemberdayaan lingkungan sosial kemasyarakatan. Gatot tak pernah menemukan jalan buntu, bagi menyelesaikan masalah apapun. Jika ada sumbu-sumbu sosial yang mati tak bertenaga, arus elektromagnetik dalam relasi sosial dialirkan Gatot lewat sejumlah teori, pengalaman, dan tentu inovasi. Seingatku, Gatot jarang sekali tak bersenang hati, bersemangat. Kecuali, satu hari yang penuh air mata itu.

Gatot berasal dari Lampung, masih punya hubungan dengan Bang Alzier yang pernah menjadi Ketua DPD Partai Golkar Lampung. Aroem dan Heru, anak Bang Alzier, memanggil Gatot sebagai paman, sebagaimana aku memanggil Refrizal (PKS) dan Bobby Lukman Piliang. Di Lampung, aku dikenal sangat dekat dengan keluarga Bang Alzier.

Gatot, Mohammad Qodari, Franciscus Xaverius (Perancis 91, asal Nias), Emma Mulianta Perangin-Angin (Jerman 91, almarhumah), dan aku, menemukan diri terlebih dahulu sebagai Jong Sumatranen Bond dalam lingkup pergaulan, perkawanan, kelas sosial, pun klik, faksi atau sebut apa sajalah dalam terminologi ilmu komunikasi, politik, sosiologi, hingga psikologi sosial. Kami bukan anak Jakarta, terlalu berlogat seberang, bukan mahasiswa asal pulau Jawa. Gatot, walau berdialeg Jawa, jelas berbeda dengan Setyohadi.

Sekalipun belakangan aku lebih suka menyebut diri sebagai Pujakesuma alias Putra Jakarta Kelahiran Sumatera, hubungan persahabatan atau pengsekongkolan (termasuk dalam terminologi partner in crime) dengan mereka, jauh lebih kuat dibanding tali baja menyala milik Dr Strange. Betul. Kami berasal dari planet yang berbeda, dibanding mayoritas mahasiswa UI. Walau aku aktif dalam Ikatan Mahasiswa Minang, beranggotakan Rama Pratama dan Dicky, tetap saja mereka terlahir bukan di planet Andalas.

Jadi, kalau ada yang memetakan aku dan Gatot, misalnya, sebagai kelompok Hijau Daun atau Merah Muda, silakan saja. Ikatan lain adalah kami sama-sama berasal dari sayap UI Belok Kanan: Psikologi, FISIP, Ilmu Komputer, Sastra (kini Ilmu Budaya), Ekonomi, sampai sampai berakir di Teknik, sebelum berbelok lagi ke Politeknik, FMIPA, Fakultas Kesehatan Masyarakat, terus ke Fakultas Hukum. Tentu, barisan fakultas yang kusebut berdasar tahun kami masuk UI, awal tahun 1990an.

Gatot tentu memiliki sejumlah gagasan bernas, begitu juga dengan alumni-alumni yang datang. Aku sampai bingung dengan keahlian bicara alumni-alumni Fakultas Teknik dan FMIPA. Entah dimana mereka belajar. Demokrasi ultra liberal telah membuat mahasiswa-mahasiswa yang lebih suka berkegiatan dan – bahkan – berkelahi itu pada posisi pembicara yang hebat-hebat.

Bagaimanapun, aku merasa senang, tenang, dan ingin sekali mengajak mereka berenang menyeberang ke sejumlah pulau di Kepulauan Seribu. Aku pernah terinjak ikan Lepu di Pulau Tidung, yakni makhluk paling berbisa nomor dua setelah ular laut. Sembilan jam menangis dengan Emak dan Ayah di ujung telepon, kakiku terkelupas hingga ke betis dua bulan kemudian.

Tapi, uuups, apa yang kualami itu bertahun lalu, termasuk berenang di Pulau Onrust ketika mahasiswa. Ketika aku masih muda. Aku masih perenang yang baik di laut, tetapi bagaimana dengan status dan usia yang tak mungkin berdusta. Kesukaanku, berenang di laut manapun. Jayapura, Ternate, Tidore, Seram, Pulau Samalona di Makassar, Sorong, hingga Labuan Bajo. Di kota manapun aku datang, hingga seluruh Indonesia kujamah, tentu yang pertama kutuju adalah pelabuhannya. Dan mencoba berenang di lautnya.

Tak semua perenang ulung sepertiku. Selat Pagai, Kepulauan Mentawai, sejak kecil menjadi area permainanku. Kawan-kawanku ini, bukan hanya satu dari lelaki tua dan laut, sebagaimana dinukil Hemingway, tetapi sejumlah alumni tua dan laut Jakarta. Bisa jadi jumlah kami yang hadir tidak banyak, tetapi aku bisa pastikan, mereka adalah simpul-simpul dari kelompok masing-masing. Sebut saja Marbawi A Katon, seseorang yang sangat bangga diakui sebagai suku asli Bangka. Marbawi adalah pusat seranganku, kalau berbicara tentang DN Aidit. Aku tentu kenal dengan Sobron Aidit dan berkomunikasi via email, tetapi “wajah mitologis” DN Aidit masih sulit dijelskan, terkecuali oleh suku-suku asli Bangka dan Belitong.

Yang jelas, aku berada di barisan alumni tua ini. Dengan semangat sangat menyala. Tak bisa berenang dengan gagah lagi, bisa jadi kami senang tirakatan di area laut. Salawatan. Semedi. Yang jelas, bukan lagi menyanyikan lagu “Kemesraan” Iwan Fals. Setiap kali menginap di Putri Duyung, aku bakal menjadi lumba-lumba, berenang di pantai depan kamar. Aku bahkan menyeburkan anakku ke sana.

Bagi yang masih senang uji nyali, barangkali kami bakal berenang ke salah satu pulau di Kepulauan Seribu. Bisa jadi, bagian yang kami nikmati adalah menghitung meteor-meteor yang jatuh ke buih dan ombak, beserta mahkluk-makhluk tak kasat mata yang mengendarai meteor-meteor itu dari galaksi jutaan cahaya di dunia sana.

Bagiku, kami yang tua-tua ini menyatukan energi tak lagi membelakangi laut. Biar saja, seniorku Rachmat Indra yang berdosa, sehingga banyak bicara malam itu. Walau, Bang Togap Marpaung (Fisika 80) yang bekerja di BATAN, sedang menyalakan satu sel inti bom nuklir di pangkal lidahnya. Sungguh, demi membagi energi positif itu, aku menuliskan ini dengan cepat. Seakan menyesali, kami tak sedang berburu embun di pagi hari, dengan kaki disapu gelombang.(**)

Markas Gerilyawan, Wisma Griya Kemayoran, 28 Juli 2022.

Penulis adalah Sarjana Ilmu Sejarah dan Magister Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia.

Print Friendly, PDF & Email
Berita Terkait