Oleh : ALIF WE ONGGANG
Hanya ada satu seksualitas, satu libido dan itulah maskulin (Freud)
Membahas politik tiada habisnya. Baru lima menit yang berteman bisa saling bermusuhan. Bolehlah sesekali mengganti topik yang lebih ‘seksi’, dijamin tak memantik perseteruan, malah topik ini bisa mendatangkan lebih banyak pertemanan apalagi diobrolkan dari hati ke hati.
Baiklah kita awali dari Gisel.
Belum lama ini video syur artis Gisel membuat heboh publik hingga ke mancanegara. Gisel yang merekam ‘hubungan gelap di tempat terang’, ingin mendokumentasikan pengalaman ‘surga dunia’ ini untuk konsumsi sendiri, namun seorang menyebarkannya tanpa izin. Naas, Gisel menjadi tersangka, dan dinilai melanggar norma agama. Padahal ia sebenarnya merupakan korban dari sistem patriarkis yang dominan dalam struktur kekuasaan.
Yang membedakan Gisel dengan jutaan pasangan lainnya baik yang telah berstatus suami-istri, maupun yang punya PIL dan WIL, — tidak merekam hubungan intimnya. Paling banter memanfaatkan cermin, umumnya berlangsung alamiah belaka untuk kebutuhan reproduksi dan tentu berbagai hubungan cinta yang atraktif seperti Chriss Patt dengan Jennifer Lawrence dalam film Passenger (2016) atau lebih akrobatis mirip sirkus, ketimbang apa yang dirayakan Gisel.
Tak dimungkiri, di dunia maya perempuan sering jadi pihak yang dikriminalisasi melalui UU Pornografi, setelah di ruang publik kaum Hawa juga kerap mendapat tekanan secara sosial, psikologis, pelecehan seksual secara verbal hingga pemerkosaan.
Tahun 2018, Baiq Nuril, seorang guru di Lombok yang mendapat pelecehan seksual dari kepala sekolah tempatnya mengajar, justru dipenjara karena merekam godaan mesum dari sang kepala sekolah. Pada 2013 hakim Daming Sanusi berkomentar konyol: bahwa si pemerkosa dan diperkosa sama-sama merasakan kenikmatan sehingga ia tak setuju pemerkosa dihukum mati. Daming mungkin tak tahu jika yang diperkosa bisa trauma sepanjang hidup, sementara banyak penjahat kelamin dijatuhi hukuman ringan dan acapkali pengadilan dan masyarakat balik menuduh perempuan sebagai biang keladinya.
Maklum, perundangan umumnya disusun para lelaki sehingga acapkali putusannya bias gender. Penafsir-penafsir kitab suci pun didominasi oleh kaum pria, sehingga bunyi tafsirnya kental rasa maskulinnya: “Lelaki mengatur wanita, neraka lebih banyak dihuni perempuan, lelaki di surga bakal dikelilingi bidadari”, adalah penegas dari wajah maskulinitas tersebut.
Relasi kuasa yang menindas dan ditopang nilai-nilai patriarkis tak pelak merasuk dalam banyak putusan-putusan hukum, kebijakan politik, sistem budaya dan kelembagaan agama. Paling sederhana bisa dtilik pada judul film yang mengeksploitasi wanita. Gara-gara Janda Kaya, Guna-Guna Istri Muda, Godaan Siluman Perempuan, Istri Dulu Istri Sekarang, Beranak Dalam Kubur, Perempuan Malam Jahannam, — fim terbaik tahun 2020).
Apakah pernah ada film Pria Berhidung Belang atau Laki-laki Berotak Jorok? Gak ada kan?
Demikian juga pada sampul buku, iklan, konstruksi berpikir hingga pola kebahasaan. Kata janda yang bermakna netral, entah kenapa sering dikonotasikan negatif sementara duda tampak lebih keren diksinya.
Di sejumlah daerah, kekuasaan lewat perangkat hukum mengatur ‘tubuh perempuan’ di ruang publik. Perempuan tak kuasa berekspresi dengan busana yang dikenakannya, lantaran ia wajib memakai model yang dikehendaki pria, kapan dan di mana ia harus pergi, dengan siapa, dan diikat waktu pula.
Yang asyik, di negara-negara maju yang frekuensi hubungan seks suami istri menurun, mengundang kekuasaan negara ikut campur dan mendorong warganya untuk segera menikah dan membikin turunan. Di Changwong, Korea Selatan, bagi keluarga yang memiliki tiga anak disubsidi Rp 1,4 miliar. Banyak anak banyak rejeki.
Hegemoni Pria
Suka tidak suka, pria menjadi istimewa karena memiliki otoritas moral dan merasa memiliki hak untuk ‘mengolah’ perempuan.
Hegemoni pria atas wanita, menyebabkan lahir putusan-putusan yang sering diskriminatif terhadap perempuan. Belum pernah misalnya terbit aturan buat pria bermata keranjang atau yang memiliki kadar libido di atas rata-rata wajib dikawal Satpol PP agar tidak mengumbar hasrat seksualnya di sembarang tempat.
Maka baiknya dipikirkan pengaturan seksualitas lelaki di ranah publik. Sebab seks bagi kaum Adam, selama masih bernafas birahinya masih mendidih. Jika tidak dikontrol, kasus pemerkosaan terus meningkat. Bukan saja pada wanita tapi juga pada anak-anak. Kejahatan seksual pada anak selama tahun 2020 mencapai 5.640 kasus. Komnas Perempuan mencatat sebanyak 46.698 kasus kekerasan seksual pada perempuan selama 2011-2019.
Perempuan di ruang publik memang selalu menarik perhatian pria, tak hirau sang wanita adalah seorang nenek, telah bersuami, janda dan lebih-lebih jika ia seorang perawan. Wanita bersuami berpikir sebaliknya. Ia mirip seekor angsa yang setia meski pasangannya sudah meninggal, dan tak ingin meninggalkannya.
Birahi lebih perkasa dibanding kekuasaan. Tapi kekuasaan bisa tersungkur jika syahwat tidak dapat dikendalikan.
Setiap hari pria bisa memikirkan seks sebanyak 50-70 kali. Wanita kadang hanya sekali bahkan tidak sama sekali selama seminggu. Ia dibatasi kodratnya. Libido lelaki bisa membuncah di ubun-ubunnya meski ia sekadar membaca roman picisan, menonton TV, melihat jempol penjual jamu di angkot, atau berimajinasi adegan Gisel sejam penuh. Kalau kanal lekaki mampat, ia bisa mengamuk seperti gajah yang memorakporandakan satu kebun binatang.
Bahayanya, seksualitas bagi sebagian lelaki sering jatuh sebagai gejala kejiwaan. Begitu banyak orientasi seks yang absurd, menyimpang, abnormal, aneh bin ganjil yang pernah mereka lakukan.
Banyak pria yang klimaks jika hanya menjadi pedofil, tidak sedikit lelaki yang bergairah bila berkencan dengan mayat (nekrophilia), tak kehitung lelaki dewasa doyan ngeseks dengan lembu, kambing atau sapi (zoophilia), menjalin hubungan sedarah (incest) dan di kereta komuter Jabodetabek kasus pria yang menembakkan ‘pistolnya’ ke salah satu bagian tubuh wanita (frotteurisme) kian tinggi. Yang ringan cuma penyakit suka mengintip (voyeurisme).
Magma Seksualitas
Dari waktu ke waktu kehidupan seksual manusia menyimpan berbagai kisah dan sejarah. Pada masa pra-Islam, lazim budak dijual jadi pelacur. Raja-raja di Jawa dulu banyak yang memelihara selir, pada era kolonial banyak tuan tanah yang punya gundik. Zaman pendudukan militer Jepang di China, Korea, Taiwan, Philipina dan Indonesia mengoleksi budak nafsu puluhan ribu jumlahnya demi memuaskan nafsu bejat tentara Jepang.
Tatkala krisis ekonomi 1998 dan setelahnya, kawasan Puncak Bogor, sempat menjadi prostitusi terselubung dengan modus kawin kontrak.
Tak kurang keputusan politik yang hipokrit senantiasa mengutuk prostitusi, akan tetapi para pengutuknya diam-diam tetap menikmati adegan hot itu di gawainya tanpa sepengetahuan istri. Kenapa tidak sekalian menutup situs-situs porno seperti yang China lakukan dengan memblokir semua konten pornografi demi menjaga anak-anaknya dari paparan virus cabul? Ironisnya lagi, hingga saat ini RUU Penghapusan Kekerasan Seksual belum disyahkan.
Penyair Rendra lewat sajak Bersatulah Pelacur Pelacur Jakarta, melukiskan betapa pelacuran dijadikan komoditas politik bagi kaum elite.
Begini sebagian kutipannya:
“…Mulut-mulut yang latah bahkan seks mereka politikkan/Saudari saudariku/Membubarkan kalian/Tidak semudah membubarkan partai politik…”
“…Kalian bisa telanjangi kaum palsu/Naikkan tarifmu dua kali/Dan mereka akan klabakan/Mogoklah satu bulan/Dan mereka akan puyeng/Lalu mereka akan berzina dengan…”
Kesetaraan Seksual
Pada kehidupan kini, masalah seksualitas di publik lebih terbuka dan permisif. Yang pasti, hak untuk mendapatkan kenikmatan sesaat itu bukan soal yang tabu. Gisel telah menunjukkan bahwa ia adalah subyek seksual dari pasangan. Ini berbeda dengan video sepasang pesohor yang viral pada 2010 lalu, di mana sang wanita menjadi obyek intimidasi seksual dari sang musisi.
Tahun 2019, seorang kakek di Bone berusia 80 menggorok istrinya hingga tewas karena menolak ajakannya bercinta. Di India, istri membunuh suaminya dengan alasan si lelaki emoh memberi nafkah batin untuknya. Di Sidrap seorang nenek berusia 65 menikah dengan berondong berusia 20. Tak kebayang seorang nenek yang telah menopause mengimbangi luapan energi anak muda yang meletup seperti magma.
Adakalanya syahwat manusia lebih dahsyat daripada gunung yang hendak erupsi. Ada yang hiper, masokis, maniak, oedipus compleks. Bandingkan perilaku binatang yang melakoni seks secara musiman dan instingtif, — manusia tak kenal ruang dan waktu. Siang bolong, tengah malam; di dalam mobil, di semak-semak, hingga di atas atap.
Pun, perilaku seks manusia dan hewan banyak kemiripan satu sama lain. Pada hewan tertentu ada yang LGBT, melakukan hubungan sejenis (homoseksual), ada yang masturbasi dan ada pula hewan yang gemar seks oral. Tak sedikit hewan yang berselingkuh kecuali merpati dan angsa yang tetap setia sampai akhir hayat pada pasangannya. Tapi beberapa kasus burung perkutut juga mulai bermain mata dan menghianati pasangannya. Mungkin ia meniru tabiat majikannya yang suka berganti-ganti pasangan.
Bukankah hewan juga peniru perilaku manusia yang baik?
Akhirul kalam, manusia niscaya memerlukan seks sebagai ritual yang sakral, keintiman dan kesetaraan. Ia tidak boleh jadi obyek dari salah satunya. Masing masing adalah subyek satu sama lain.
Lebih utama, hubungan asyik masyuk (legal) pada hakikatnya adalah rekreasi mendasar dan merupakan relasi paling purba setiap insan. Betapapun seks berguna untuk menurunkan tensi dan menghindari risiko serangan jantung, menjaga sistem kekebalan tubuh dan merawat daya ingat.
Tinggal bagaimana pasangan suami istri mengikuti saran Kitab Kamasutra (India) yang memandu bercinta secara artistik, Lontara Assikalaibineng — kitab erotis orang Bugis yang menganjurkan hubugan asmara bernilai religius.
Sebab sudah takdirnya perempuan dan pria saling berkolaborasi untuk melahirkan sebuah kehidupan yang beradab dengan landasan sakinah, mawaddah dan warahmah. Hubungan ini ibarat kain dalam benangnya. Kain tak ingin benangnya putus dan sebaliknya benang tak mau kainnya terkoyak.
Begitu kira-kira. (*)
Penulis adalah Kolomnis asal Makassar tinggal di Depok – Jawa Barat