Oleh : Hamadin Moh. Nurung
Beberapa hari lalu kita dibuat kagum dan bangga oleh Awanthy Pangas, seorang bidan dari Desa Lantibung Kecamatan Bangkurung dengan aksi heroiknya, memberi pertolongan persalinan kepada seorang ibu di atas perahu kecil di tengah hempasan gelombang ketika hendak menyebrang lautan menuju ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banggai. Aksi heroik bidan Awanthy kemudian diabadikan temannya lewat rekaman video ponsel, lalu diposting di sosial media sehingga menjadi viral. Seketika itu nama Kabupaten Banggai Laut (Balut) ikut menjadi wangi.
Namun baru saja kita tersenyum bangga menyaksikan pelangi indah terpancar dari Kepulauan Bangkurung, dan baru saja kita ikut larut dalam resonansi kebatinan yang mendalam akan sebuah makna kepedulian sosial, kini malah kita kembali dikejutkan dengan naiknya angka penularan Covid 19 dengan grafik orang yang terinfeksi lebih tinggi setiap harinya dibandingkan dengan orang yang sembuh. Alhasil hal ini telah menempatkan Banggai Laut masuk dalam kategori zona merah dengan angka resiko terinfeksi paling tinggi. Sesuatu yang kita tidak inginkan namun faktanya itulah yang kita hadapi.
Jika merujuk data dari laporan harian Satuan Gugus Tugas (Satgas) Kabupaten Banggai Laut yang dipublish pada website resminya, pertanggal 29 Juli 2021, sudah ada 100 orang yang terkonfirmasi positif, dan 7 orang meninggal dunia, dan yang lebih mengejutkan lagi dari data RSUD Banggai, terungkap lebih 20 orang pegawainya yang terdiri dari Tenaga Kesehatan dan Non Tenaga Kesehatan ikut terpapar Covid 19, sehingga memaksa manajemen RSUD Banggai harus merubah sistem pelayanannya.
Bagi saya, keadaan ini sangat mengkhawatirkan sekaligus menyeramkan. Mengkhawatirkan karena angka orang terinfeksi semakin meningkat setiap harinya, dibanding orang yang sembuh dan belum menunjukan tanda tanda penurunan. Menyeramkan karena dampak luas yang kemungkinan bakal terjadi dihari-hari kedepan, jika situasi semacam ini tidak bisa dikendalikan.
Lalu sudah siapkah kita,? bagaimana dengan daya tampung fasilitas kesehatan jika terjadi overload pasien,? bagaimana dengan ketersediaan obat dan oksigen,?bagaimana dengan Sumberdaya Tenaga Medis, sanggupkah mereka bertahan jika gempuran Covid 19 semakin menggila?. Jangankan di RSUD Banggai, Rumah Sakit tipe A yang merupakan Top Referral Hospital masih saja kekurangan tenaga kesehatan, sehingga memaksa Kementerian Kesehatan untuk membuka opsi recrutmen relawan Tenaga Kesehatan.
Dari data World Bank 2017, sebagaimana dikutip dari website www.katadata.co.id, rasio dokter di Indonesia terendah di Asia Tenggara, yaitu sebesar 0,4 dokter per 1.000 penduduk. Artinya, Indonesia hanya memiliki 4 dokter yang melayani 10.000 penduduknya. Jumlah ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Singapura yang memiliki 2 dokter per 1.000 penduduknya. Selain dokter, ketersediaan perawat dan bidan Indonesia juga memiliki posisi terburuk di antara negara lainnya. Rasio perawat per 1.000 penduduk sebesar 2,1 yang artinya dua orang melayani 1.000 penduduk di Indonesia.
Sementara itu, secara nasional banyak tenaga kesehatan kita berguguran, Dr M. Adib Khumaidi SpOT, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), melaporkan total dokter yang meninggal akibat Covid-19 mencapai 401 orang. Peningkatan yang cukup tinggi terjadi pada bulan Juni 2021. Karena terhitung perbulan Juni 2021, ada sekitar 26 atau 27 dokter yang meninggal setelah berjuang melawan virus Corona.
“Kemudian dari data perawat yang kita koordinasikan dengan teman-teman Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), ada 315 perawat yang meninggal, tenaga laboratorium 25, dokter gigi 43, apoteker 15, dan bidan 150,” kata Adib dalam konferensi pers IDI, Jumat, 25 Juni 2021, dikutib dari merdeka.com Kamis, (28/7/2021).
Belum lagi mereka (Nakes) yang hari ini terkonfirmasi positif tentu akan berpotensi terjadinya penambahan, hal ini membuat dada kita semakin bertambah sesak.
Lalu bagimana dengan dampak lain yang ditimbulkan jika kondisi penularan ini semakin menggila.? Bagaimana dengan pendidikan kita, bagimana dengan ekonomi kita, bagimana dengan ketahanan pangan kita?
Dalam keadaan seperti ini, Kita boleh saja pasrah, tapi jangan menyerah, ikhtiar tetap harus dilakukan, paling tidak kita memulai dari diri kita sendiri dan keluarga terdekat untuk tetap waspada, jangan biarkan air mata para tenaga kesehatan tumpah, jangan biarkan mereka mengangkat bendera putih tanda menyerah, sehingga membuat perang melawan pandemi semakin melemah. Patuhi protokol kesehatan jaga sistem imun dan tak kalah pentingnya adalah mempertebal iman, wallahu a’lam bishawab. (**)
Lokotoy, 29 Juli 2021
Penulis adalah Wakil Pemimpin Redaksi/Redaktur ALAIMBELONG.ID