Home » Rubrik » Opini » Kearifan Lokal Yang Berbudaya (Bagian I dari II Tulisan)
pasang-iklan-atas

Kearifan Lokal Yang Berbudaya (Bagian I dari II Tulisan)

Pembaca : 598
IMG_20210709_171122_054

Oleh : Hasdin Mondika

 

Dilansir dari buku Manusia dan Kebudayaan Masyarakat (2015) karya Eko A. Meinarno, Bambang Widianto dan Rizka Hilda; Kearifan lokal adalah cara dan praktik yang dikembangkan oleh sekelompok masyarakat yang berasal dari pemahaman yang mendalam mereka akan lingkungan setempat yang terbentuk dari tinggal ditempat tersebut secara turun menurun.

Dalam kehidupan masyarakat di Nusantara yang terdiri dari beragam suku bangsa, dengan untain ribuan pulau dengan karakter dan pengalaman kehidupan yang berbeda, maka dapat ditemukan pula beragam bentuk dan penerapan Kearifan lokal ditiap-tiap pulau atau suku bangsa yang ada. Bentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat Nusantara atau masyarakat Indonesia bisa berupa nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, hukum adat dan aturan-aturan khusus.

Sebelum membahas lebih jauh tentang kearifan lokal yang berbudaya, dan terutama lokus dari tulisan tentang Kearifan Lokal Yang Berbudaya lebih mengarah ke salah satu Kabupaten di Sulawesi Tengah yaitu Banggai Laut, Karena di sana sedang ramai di perbincangkan Tentang Slogan Kearifan Lokal Yang Berbudaya, yang pernah terpampang dalam spanduk kampanye salah satu kontestan Pilkada tahun 2020, yang hari ini terpilih sebagai Bupati Banggai Laut, maupun ditingkat masyarakat, namun sampai hari ini menurut pengamatan penulis, belum ada satu arah kebijakan mulai dari Kepala daerah, DPRD dan OPD terkait yang duduk bersama membicarakan tentang “makhluk” seperti apakah Kearifan Lokal Yang Berbudaya, terutama jika ditarapkan di Kabupaten Banggai Laut (salah satu Penggalan dari Banggai) yang memang punya modal sejarah sebagai eks Kerajaan Banggai yang mana nilai-nilai dan kearifan lokal bisa bertumbuh.

Dalam kehidupan masyarakat Banggai Laut sejak dari zaman kerajaan bentuk kearifan lokal yang berupa nilai, norma dan hukum adat sudah ada, Seperti yang pernah ditulis oleh Dr. Dormeier dalam Desertasi Doktoralnya tentang Hukum Adat Banggai. Namun untuk saat ini ketika Kerajaan Banggai runtuh dan yang tersisa tinggalah beberapa kabupaten dengan sisa-sisa peradaban Banggai, maka harus ada upaya keras dan sungguh-sungguh terutama bagi masyarakat dan Pemerintah Daerah Banggai Laut. Jika ingin mengangkat Kearifan Lokal Banggai atau Banggai Laut untuk menjadi Kearifan Lokal di Nusantara, sehingga Kearifan Lokal tersebut tidak lagi menjadi sebatas slogan, tapi telah mewujud menjadi sesuatu yang bisa diterapkan dalam masyarakat Banggai Laut saat ini, atau juga Kabupaten Banggai yang lain.

Sebuah Kearifan Lokal untuk dapat diterima secara umum sebagai sebuah Kearifan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
– Sanggup bertahan terhadap budaya luar.
– Mempunyai kemampuan mengakomodir unsur- unsur budaya luar.
– Memiliki kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli.
– Memiliki kemampuan mengendalikan.
– Sanggup memberi petunjuk pada perkembangan budaya.

Jika kita mengamati Kearifan Lokal yang ada di Banggai, atau lokus Banggai Laut maka ada beberapa yang harus dipilah sehingga itu bisa menjadi sebuah Kearifan Lokal yang bisa diterima umum jika dikaitkan dengan ciri-ciri Kearifan Lokal. Kawasan tiga Kabupaten Banggai atau sebutlah dengan eks Kerajaan Banggai diketahui mempunyai ciri tradisi pesisir yang sangat kental, dengan banyaknya orang, suku budaya dan bangsa yang berseliweran di Banggai bahkan sejak zaman kerajaan pun, sejarah pernah menyodorkan Bahwa Banggai pernah di jajah oleh Kerajaan Gowa dan Ternate.

Jadi, dari sekian banyak Kearifan Lokal yang ada di tanah Banggai seperti Malabot Tumbe, Mabangun Tunggul. Tradisi Mian Tuu, sampai pada Falsafah Tuu-Tu. Jika dikaitkan dengan ciri-ciri kearifan lokal seperti yang disebutkan di atas, maka harus diambil satu atau dua Kearifan lokal yang walaupun sudah ada pembauran dengan tradisi lain seperti Jawa, Ternate, Gowa dan seterusnya, tapi Kearifan lokal tersebut mampu mengintegrasikan ke dalam budaya asli dan dapat mengendalikan.

Saat ini dari sekian banyak Kearifan Lokal Tanah Banggai, keliatanya dapat mengintegrasikan dengan budaya-budaya dari luar tapi tidak dapat mengendalikan. Dalam hal penyebutan dan jabatan-jabatan adat misalnya, tradisi Banggai banyak di pengaruhi oleh sebutan dan nama-nama jabatan dari Ternate seperti Jogugu, Kapitan dan seterusnya. Begitu pun tradisi, kita masih banyak di pengaruhi oleh budaya luar yang seakan-akan menghilangkan tradisi asli dari Tanah Banggai.

Kesulitan yang kedua, bagi Pemerintah Banggai dan masyarakat Banggai Laut adalah ketika merumuskan dan mengklaim bahwa Kearifan Lokal tersebut adalah Kearifan Lokal Banggai Laut, ternyata juga menyangkut kearifan lokal Kabupaten Banggai yang lain. Mulai dari Malabot Tumbe, Falsafah Tuu-Tu, sampai tradisi Mian Tuu. Kesemuanya itu melibatkan tiga kabupaten Banggai yang ada sebagai satu kesatuan dari kearifan lokal tersebut. Hanya tradisi Mabangun tunggulah yang murni dilaksanakan di Kabupaten Banggai Laut, yang hal itu disinyalir oleh sebagian kalangan bahwa tradisi Mabangun Tunggul adalah upaya mempertahankan hegemoni yang dilakukan di Banggai Laut sebagai pusat eks Kerajaan Banggai.

Karena itu, untuk merumuskan bahwa kearifan lokal yang benar-benar ada, masih bertahan dan orisinil menjadi ciri dan corak hidup masyarakat Banggai Laut dari dulunya dan telah diwariskan turun temurun tidaklah mudah, memang saat ini mulai ada upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Banggai Laut maupun para peneliti dan penulis yang mulai menelusuri sejarah dan tradisi masyarakat Banggai dari dulunya, ini sebuah langkah maju. Menurut hemat penulis, penelusuran tentang kearifan lokal Banggai baru sampai disini, yaitu penelitian dan penulisan.

Selanjutnya langkah kedua, yang harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan Masyarakat Balut, baik Pemda maupun peneliti dan cerdik Pandainya adalah merumuskan tentang apa-apa saja yang menjadi ciri dari kearifan lokal Banggai dan selanjutnya hal tersebut ditindaklanjuti oleh pemerintah setempat agar Kearifan Lokal Banggai yang telah dirumuskan tersebut dapat menjadi tata aturan atau norma yang bisa menjadi Perda adat atau hukum adat atau capaian minimalis Kearifan Lokal Banggai atau Banggai Laut telah menjadi nilai-nilai yang telah dimengerti atau disepakati dan menjadi hukum yang tidak tertulis bagi masyarakat Banggai Laut.

Slogan tentang Kearifan Lokal yang Berbudaya ini adalah sebuah langkah maju oleh Kepala Daerah terpilih saat ini. Memang hal ini kelihatannya masih sebatas Slogan dan kegiatan-sporadis yang mengarah pada Kearifan Lokal Yang Berbudaya. Namun seiring berjalannya waktu, harapan penulis bahwa Slogan ini dapat dirumuskan dan ditarapkan dengan perhatian, kerja keras dan sungguh-sungguh, baik dari pamerintah daerah, para cerdik pandai dan masyarakat luas di Banggai Laut atau Banggai pada umumnya. (Bersambung)

Penulis adalah : Pimpinan Yayasan Noa Moloyos.

Print Friendly, PDF & Email
Berita Terkait