Home » Rubrik » Opini » Kearifan Lokal Yang Berbudaya (Bagian II dari II Tulisan)
pasang-iklan-atas

Kearifan Lokal Yang Berbudaya (Bagian II dari II Tulisan)

Pembaca : 12
IMG_20210709_171122_054

Oleh : Hasdin Mondika

 

Di Nusantara, kita mengenal beragam kearifan lokal. Mulai dari Sasi, Gurindam dua belas, hukum adat Amatoa di Kajang, Bulukumba. Awig-awig di Lombok Barat dan Bali. Bibie di Sumatera Selatan, Cing Cowang di Jawa Barat sampai pada Hompengan di Jambi dan seterusnya. Semua bentuk dan penerapan Kearifan lokal tersebut mempunyai corak ke khasan masing-masing yang sampai hari ini masih dipatuhi dan di jalankan oleh masyarakat ditiap-tiap daerah, terutama kelompok masyarakat adatnya.

Semua bentuk Kearifan Lokal tersebut diakui sampai hari ini dapat membantu pemerintah dan masyarakat setempat untuk mengatasi dan juga solusi dari ragam persoalan yang ada. Baik dari persoalan sosial, budaya dan keagamaan sampai pada persoalan pemerintahan. Di beberapa tempat Kearifan Lokal telah menjadi jembatan penengah dalam tata aturan bermasyarakat di Indonesia.

Jika menelusuri beberapa Kearifan Lokal yang sampai saat ini masih diterapkan di Indonesia, maka Kearifan Lokal tersebut telah menjadi titik temu dari ragam masyarakat di suatu tempat yang saat ini telah mengalami asimilasi dan pembauran akibat adanya pergerakan orang, perpindahan dan tindakan nomaden serta urbanisasi lainnya yang telah menjadi tipikal masyarakat agraris dan pesisir sejak dari dulunya.

Beberapa bentuk Kearifan Lokal yang masih diterapkan di masyarakat dan sangat terkenal sampai hari ini, misalnya Kearifan Lokal Sasi di Maluku. Dalam Jurnal makna komunikasi hukum adat Sasi (2017) Karya Caspina Yulita, Hafid Cegara dan Muhadar, dijelaskan bahwa kesatuan hukum tentang larangan memasuki, mengambil atau memasukkan sesuatu dalam kawasan tertentu dan waktu yang tertentu pula. Hukum Sasi adalah asas pelestarian dan keseimbangan alam dan ekosistem.

Dalam Hukum Sasi, masyarakat setempat dilarang menangkap ikan misalnya, atau mengambil hasil hutan ditempat-tempat yang telah disepakati dalam hukum adat setempat, dan pengambilan hasil alam baik di sungai, danau, laut atau hasil hutan nanti setelah waktu yang telah ditentukan, hal ini dipatuhi bersama oleh seluruh masyarakat dengan sukarela. Sehingga hukum Sasi benar-benar dirasakan bermanfaat.

Kearifan Lokal lain yang tak kalah hebatnya adalah penerapan tata kehidupan masyarakat Melayu yang dilandasi dari syair dan petuah-petuah Gurindam dua belas karya Raja Ali Haji yang berasal dari Pulau Penyengat, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Pulau Penyengat adalah sebuah pulau kecil yang luas perseginya hanya 2 Km. Namun mampu mewarnai tata kehidupan Kerajaan Siak pada waktu itu, dan bahkan sampai hari ini, kehidupan masyarakat Melayu dari Kepulauan Riau sampai di daratan Pekan Baru Riau menjadikan petuah-petuah Gurindam dua belas menjadi tata pijakan nilai masyarakat Melayu. Bahkan lebih jauh lagi bahasa Indonesia yang kita pakai sekarang ini tutur katanya tidak lepas dari tata nilai Gurindam dua belas.

Itulah beberapa contoh daerah yang masih kental dengan penerapan Kearifan Lokal yang masih terasa dan bahkan sangat mewarnai kehidupan masyarakatnya sampai hari ini. Mulai dari adat Sasi di Maluku, Gurindam dua belas di Riau, Adat Amatoa di Kajang Bulukumba dan seterusnya.

Nah sekarang bagaimana dengan Kearifan Lokal yang ada di Banggai atau fokus ke Banggai Laut, Karna khusus di Balut ada tambahan kata dari Kearifan lokal dengan kata “Yang Berbudaya”. Ada beberapa hal yang perlu di cermati disini.

Yang pertama, Pemda dan semua stakeholder terkait yang akan menerapkan Kearifan Lokal yang berbudaya ini, harus menelusuri dan merinci apa-apa saja Kearifan Lokal yang ada di Tanah Banggai. Mulai dari Totuukan Sangkap, Falsafah Tu- Tuu, Tradisi Mian Tuu. Mabangun Tunggul, Kearifan Boki Sea di Osan, sampai pada sepak terjang Tampoyok Budul yang dulunya berfungsi sebagai Negosiator raja lalu menyalahgunakan jabatannya sehingga menjadi orang yang tercela.

Namun anehnya, sampai hari ini walaupun jabatan Tampoyok Budul sudah tidak ada lagi di Tanah Banggai seiring dengan runtuhnya Kerajaan Banggai, namun tabiat dan praktek Tampoyok Budul masih banyak ditarapkan hari ini.

Yang kedua, harus di pilah mana Kearifan Lokal tanah Banggai yang bisa hanya di terapkan di Kabupaten Banggai Laut saja. Namun jika Kearifan Lokal tersebut tetap terkait dengan Banggai yang lain seperti BanggaiKep dan Banggai Daratan, maka tetap Kearifan Lokal tersebut tetap menjadi tata nilai tiga Banggai bersaudara.

Kemudian dari sisi lain, kita juga harus hati-hati dengan diksi bahasa. Karena kalau bicara “Kearifan Lokal Yang Berbudaya”. Berarti ada “Kearifan Lokal Yang tidak Berbudaya” harus bisa ditunjukkan hari ini, mana kearifan lokal Banggai yang tidak berbudaya. Apakah tradisi Tampoyok Budul, yang hari ini dikenal dengan budaya budul-budul dan seterusnya.

Sebuah daerah yang menerapkan Kearifan Lokal, itu bisa nyata dalam kehidupan masyarakatnya, apa itu dalam bentuk tradisi, nilai dan lain-lain. Seperti di Jepara, ujung Jawa Tengah yang terkenal dengan tradisi ukirnya yang turun menurun, maka jika memasuki daerah Jepara, maka nuansa ukir akan mewarnai sepanjang kota sampai ke desa masyarakat Jepara. Selanjutnya yang paling penting dari itu adalah seluruh masyarakat Jepara sangat menjiwai dan bahkan menjadi kebanggaan bahwa Jepara adalah kota ukir.

Karena itu, jika kita ingin menerapkan Kearifan Lokal yang berbudaya di Kabupaten Banggai Laut, maka harus di pilah dari sekian banyak Kearifan Lokal yang ada di Tanah Banggai, kemudian dirumuskan bersama.

Penerapan Kearifan Lokal yang berbudaya di Banggai Laut harus melihat Kearifan mana yang sampai hari ini masih sering di praktekan, namun hal itu belum terlembagakan dalam bentuk hukum adat dan seterusnya sehingga tidak terasa faktor penerapannya.

Seperti contoh penerapan tradisi ukir di Jepara misalnya, maka penerapan Kearifan lokal yang ada Banggai laut juga seperti itu. Keliatan corak fisiknya mulai dari kota Banggai sampai pelosok. Kemudian ada penjiwaan tentang Kearifan Lokal yang ditarapkan. Saat ini sudah mulai ada kemajuan di Banggai laut misalnya mulai dari nama jalan, nama Bangunan dan mungkin pada hari-hari tertentu di sarankan untuk menggunakan bahasa lokal Banggai. Namun sekali lagi itu bukanlah Kearifan lokal. Sekali lagi Kearifan lokal ada penerapan tata nilai yang di akui dan di dijiwai oleh seluruh masyarakat..nah Kearifan lokal yang berbudaya seperti apa yang bisa ditarapkan di Banggai laut seiring dengan Slogan yang sudah terlanjur ramai jadi perbincangan masyarakat..?..itu PR kita bersama untuk merumuskan dan menemukan Kearifan lokal Yang Berbudaya tersebut.Semoga.

Penulis, adalah Pimpinan Yayasan Noa Moloyos.

Berita Terkait