Oleh : Hamadin Moh. Nurung
Tahun 2021 kita sambut Bupati baru dengan semangat baru dan harapan baru untuk Banggai Laut (Balut) yang lebih baik. Semangat baru adalah cerminan optimisme menatap masa depan dan harapan baru adalah ikhtiar mewujudkan cita-cita menuju Masyarakat Balut yang hidup layak dan sejahtera, begitu kira-kira pemahaman kedaerahan saya dalam memaknai tahun baru 2021.
Kebaruan itu dinanti bukan hanya asal mengganti sesuatu yang lama atau meciptakan sesuatu yang belum pernah ada, sehingga asal menjadi pembeda dengan rezim sebelumnya tetapi kebaruan yang dinanti adalah sesuatu yang mampu menghadirkan kesejukan bagi masyarakat Balut dimana pemimpinya menjadi payung peneduh dan mampu menjadi jembatan penghubung harapan untuk mewujudkan mimpi generasi.
Sebagai resolusi menyambut awal tahun, Kebaruan Balut yang dimaksud dalam konteks ini adalah perwujudan dari cita-cita Bupati terpilih membangun Balut dalam frame pemikiran Kearifan lokal Yang Berbudaya.
Terus terang Saya mengalami kesulitan dalam memahami akar pemikiran kearifan lokal yang berbudaya sebagimana yang dimaksud oleh Bupati terpilih Sofyan Kaepa. Rasa penasaran mendorong saya berselancar di dunia maya menulusuri berbagai akun facebook para pendukungnya dengan harapan bisa menemukan pemikiran-pemikiran beliau (Sofyan-red) atau ada penjelasan yang lebih konprehensif dari tim dan simpatisan yang dapat memahami gagasan tersebut, tapi hal itu saya tidak temukan.
Justru yang saya temukan adalah pemaknaan secara parsial yang begitu dangkal argumentasinya, bahwa seolah-olah kearifan lokal yang berbudaya itu hanya sebatas pada bagi-bagi proyek dan jabatan pada anak-anak negeri (lokal) Banggai an sich.
Saya jadi bertanya-tanya apakah yang dimaksud kearifan lokal yang berbudaya itu hanyalah sebuah pragmatisme kekuasaan belaka yang mewujud dalam visi misi atau dengan kata lain sekedar tagline yang hanya mengeksploitasi isu budaya kebanggaian sebagai komoditi politik ? Ataukah lebih dari itu, ini merupakan kecemasan dirinya terhadap sebuah realitas bahwa budaya Banggai mulai ditinggalkan, dan kita kehilangan simbol-simbol dan identitas yang dalam termiologi Kalervo Oberg disebut Culture Shock (geger budaya) yaitu adanya kecemasan individu karena kehilangan simbol-simbol dan identitas dalam suatu lingkungan dan budaya tertentu atau kita sedang mengalami keterasingan dari budaya kita sendiri dimana kepercayaan diri kita sebagai mian (orang) Banggai semakin menurun.
Oleh karena itu di awal uraian, saya menyebut bahwa tahun 2021 kita sambut pemimpin baru dengan semangat dan harapan baru. Yah…saya harus positive thingking untuk mencoba memahaminya dalam konteks sebagai sebuah cita-cita.
Cita-cita adalah keinginan atau kehendak yang selalu ada di dalam pikiran, dan hanya bisa terwujud jika diperjuangkan. Jika kearifaan lokal yang berbudaya sebagai sebuah cita-cita maka perlu ditiupkan nafas nilai-nilai kebanggaian, sehingga cita-cita tersebut bisa bernyawa dan bertenaga yang mampu mendorong perubahan sosial atau dalam Pengertian yang lebih ideal agar orang Banggai mampu berdaya saing dan berdaulat di negerinya sendiri.
Yang jadi soal adalah seberapa dalamkah pemikiran kearifan lokal yang berbudaya itu mampu diwujudkan sebagai sebuh cita-cita dan mewujud dalam bentuk visi misi? Dan seberapa besarkah pengaruhnya dalam melakukan perubahan sosial ?
Sebab, sebuah cita-cita membangun suatu daerah yang tidak memiliki basis argumentasi yang kuat akan kehilangan orientasi dan berhujung pada kegagalan seorang pemimpin Yah, tentu kita berharap hal itu tidak terjadi.
Mungkin kearifan lokal yang berbudaya sebagaimana dimaksud adalah upaya memperkuat caracter building masyarakat Balut dengan nilai-nilai kebanggaian. Memampukan masyarakat agar bisa hidup layak dan sejahtera, dengan cara mamaksimalkan segala potensi Sumber Daya Alam yang dimiliki untuk sebesar-besarnya kepentingan masyarakat Balut, dan memperkuat identitas dan simbol-simbol kebanggain sebagai upaya dari internalisasi nilai-nilai kearifan lokal Banggai.
Sekilas pemahaman tersebut nampaknya kental dengan sentimen keaderahan, karena lebih menonjolkan politik identitas. Sehingga kesannya menciptakan masyarakat Balut yang eksklusif dan intoleran, hal ini tentu mendistorsi nilai semangat Montolutusan yang sudah berlangsung lama dipraktekan dalam kehidupan bermasayarakat mian (orang) Banggai.
Tetapi pemahaman tersebut harus dilihat secara holistik bahwa masyarakat Banggai yang dimaksud bukanlah pada konteks kesukuan, tetapi semua orang yang tinggal dan menetap serta menjadi masyarakat Balut harus diperlakukan secara adil apapun latar belakang suku, agama, ras dan golongannya. Namun internalisasi nilai-nilai kebanggaian tentunya patut dilaksanakan sebagai upaya dalam merawat dan melestarikan adat dan budaya kebanggaian agar tidak tergerus.
No culture can live if it attempts to be exclusive “tidak ada budaya yang dapat hidup jika mencoba untuk menjadi eksklusif”, Mahatma Gandhi.
Penulis Adalah Wakil Pemimpin Redaksi/Redaktur ALAIMBELONG.ID