Home » Rubrik » Opini » KO TEMENENO SAMBUNO APBD (Tuhan Itu Bernama Uang) – Bagian II)
pasang-iklan-atas

KO TEMENENO SAMBUNO APBD (Tuhan Itu Bernama Uang) – Bagian II)

Pembaca : 20
IMG_20210331_234722_372

Tinjauan Kritis Atas Polemik APBD Banggai Kepulauan 2021″

Oleh : Fatharany Berkah Abdul Barry

C. Marah Karena Tuhan APBD Digantung

Silang sengkarut APBD TA. 2021 menyebabkan ratusan ASN “marah” dan bersatu melakukan aksi unjuk rasa di kantor DPRD BanggaiKep pada hari Senin 29 Maret 2021, karena mereka menilai dan merasakan bahwa keterlambatan pelaksanaan APBD tahun ini telah memberikan dampak yang luas terhadap ekonomi masyarakat, khususnya gaji dan tunjangan mereka sebagai ASN.

Mereka marah karena Tuhan APBDnya digantung. Diksi gantung penulis gunakan menjadi sub-bahasan pada bagian ini, sebagai apresiasi atas pilihan diksi Wakil Bupati (Wabup) Salim Tanasa, kala memberi garansi penuntasan problematika Tuhan APBD. Meskipun konteksnya berbeda, Kata Gantung versi Wabup ditujukan kepada oknum ASN yang banyak tanya, sebagai sanksi Tuan (bos) kepada pembantunya. Sementara “Gantung” versi tulisan ini adalah ketidakpastian, menunjuk sikap para “Tuan dan Pembantu (hamba)” kepada Tuhan APBD. Sikap dimaksud dapat kita lihat indikasinya Mulai dari lambatnya pemasukan KUA-PPAS dan APBD dari TAPD ke DPRD, lalu kemudian seolah diperlambat prosesnya di DPRD, sehingga menyebabkan keterlambatan yang disengaja (digantung).

Marahnya ASN dan berbagai pihak yang berkepentingan sebagai akibat dari digantungnya Tuhan APBD. Menurut penulis kemungkinan motifnya hanya dua, yaitu membela Tuhan APBD, dan atau membela Tuan APBD (bos). Perbedaannya, membela Tuhan APBD bersifat Ideologis-Birokratis, sementara membela Tuan APBD (bos) bersifat Birokratis-Politis. Marah sebagai bentuk sikap membela Tuhan APBD karena kita sangat mencintainya dan mengharapkan curahan berkahnya, ketika kita merasa Tuhan kita yang bernama APBD dilecehkan, maka itu adalah sikap marah kepada para pelaku pelecehan yang telah menggantung dan menghinakan Tuhan APBD dalam bentuk pembelaan yang bersifat Ideologis-Birokratis (objektif). Sementara marah yang motifnya sebagai reaksi untuk membela Tuan APBD(bos/atasan) dalam perseteruan antar personal dan institusi terkait perebutan berkah Tuhan APBD, maka itu merupakan pembelaan yang bersifat Birokratis-Politis (subjektif).

Menakar dan menganalisis motif dari kemarahan ASN atau para pihak lain yang memberikan perhatian pada polemik keterlambatan APBD, apakah motif kemarahan itu benar-benar karena membela Tuhan APBD yang digantung dan dipermainkan oleh para elit kekuasaan ? ataukah sekedar marah karena membela Tuan APBD (bos/atasan) sebagai supporter penegas siapa yang salah siapa yang benar, eksekutifkah (Bupati, Wabup, TAPD) atau legislatifkah (Pimpinan DPRD, Banggar),? dapat kita liat dari konsistensi nilai (substansi) yang diperjuangkan.

Forum ASN Bersatu bisa saja berkelit bahwa kehadiran mereka dalam melakukan aksi protes di DPRD murni karena terdorong oleh motif ideologis-birokratis (membela Tuhan APBD), bukan karena motif birokratis-politis (membela Tuan APBD/bos). Tapi ketika keberanian untuk berteriak kritis itu hanya berani dilakukan pada soal polemik keterlambatan APBD, namun tidak berani melakukan hal yang sama pada kasus BOK, MTQ, UTD dan Pembobolan Kas Daerah yang diduga senilai Rp.36 miliar. Maka sulit untuk mengatakan bahwa aksi demonstrasi Forum ASN Bersatu itu bukan atau tidak termasuk dalam rangka membela Tuan APBD (bos). Sebab ada inkonsistensi perjuangan nilai dalam membela Tuhan APBD secara esensial bukan sekedar secara eksistensial. Kenapa demikian ? karena BOK, MTQ, UTD dan Pembobolan Kas Daerah yang diduga senilai Rp.36 miliar, juga merupakah Uang yang bersumber pada APBD, artinya deretan kasus Tipikor tersebut merupakan bagian dari substansi Tuhan APBD.

Tidak berani meributkan kasus BOK, MTQ, UTD dan Pembobolan Kas Daerah yang diduga senilai Rp. 36 miliar,j atau sengaja mengabaikannya, menunjukan bahwa sikap para ASN dan kita semua tidak konsisten membela dan mencintai Tuhan APBD, atau kalo bukan, kita memang benar mencitai Tuhan APBD, tapi tidak utuh (sepenuhnya), kita tidak betul-betul serius mencintai Tuhan APBD.

Karena faktanya, kita hanya mencemaskan masalah-masalah domestik yang berkaitan langsung dengan kepentingan kelompok dan kebutuhan personal (perut) kita, berupa gaji dan tunjangan, serta proyek dan fee project.

Kemarahan ratusan ASN yang diekspesikan melalui aksi demonstrasi ikut menuai pro dan kontra dikalangan aktivis pegiat media sosial (netizen). Terbagi dalam dua faksi yang saling membela dan menyalahkan, faksi pertama membela eksekutif, menyerang dan menyalahkan DPRD bahkan tak segan menunjuk pada oknum pimpinan dan anggota sebagai aktor dibalik terlambatnya APBD. Faksi kedua, membela legislatif, lalu menyerang dan menyudutkan eksekutif, bahkan belakangan bermunculan akun-akun anonim.

Terbelahnya kelompok aktivis pegiat media sosial dalam kegiatan bela-membela dan serang-menyerang atau dalam merespon aksi protes ratusan ASN itu, bagi penulis seperti menyaksikan sebuah pentas komedi yang begitu kuat subjektifasinya, lucu namun tak cukup menghibur, karena komediannya kurang tampil sempurna. Terlalu kental suka tidak sukanya pada oknum eksekutif maupun legislatif. Akibatnya dibalik apiknya argumen yang disusun malah terlihat pula sentimen yang bagun.

Artinya para aktivis dan kelompok pegiat sosial media justru hadir tidak sebagai pihak penyeimbang yang mencerahkan, mereka malah terjebak pada intrik elit siapa benar siapa salah, siapa suci siapa berdosa. Padahal pentas komedi yang mereka tonton dan bahkan ikut bermain sebagai pelakon penggembira harus diisi nilai-nilainya yang kosong agar drama komedi ini lebih berkualitas untuk ditonton.

D. Paradoks: Kita MemperTUHANkan APBD Tapi Tidak Serius Menyembahnya

Pengantar sub bahasan ini, tentang ketidakseriusan kita dalam berTuhan sudah penulis gambarkan kisi-kisinya pada ulasan diatas. Untuk lebih konkrit dalam memahami maksud dari sub bahasan ini, penulis akan menguraikan dua variabel bagaimna tidak seriusnya kita berTuhan APBD, yaitu pertama terkait polemik keterlambatan APBD 2021 dan kedua, terkait sikap kita terhadap BOK, MTQ, UTD dan Pembobolan Kas Daerah yang tak seagresif dan seberani dengan sikap kita terhadap keterlambatan APBD.

1). Variabel Terkait Keterlambatan APBD 2021

Ketidakseriusan kita dalam menyembah Tuhan APBD yang pertama dapat kita lihat dari kronologis dan dinamika proses penyusunan dan pembahasan APBD tahun 2021 yang berbelit-belit dan penuh dengan intrik, mulai dari ketidakdisiplinan waktu dalam penyerahan dokumen KUA PPAS dan RAPBD sampai pada berebut dan tarik menarik kepentingan selama proses pembahasan, penetapan hingga penyempurnaan.

Bagi penulis, polemik keterlambatan APBD Tahun Anggaran 2021 disebabkan karena lemahnya kapasitas dan moral kepemimpinan (leadership) penyelenggara pemerintahan daerah kita, baik di eksekutif (Bupati, Wabup, Sekda) maupun di legislatif (Pimpinan DPRD). Indikator dari masalah kepemimpinan ini dapat berupa rendahnya disiplin pegawai (bawahan) dan tidak adanya ketegasan sikap/arahan yang jelas dari pemimpin kepada institusi dibawahnya. Akibatnya segala proses APBD tidak berjalan secara tertib. sehingga dalam tulisan ini yang penulis sebut ritualitas penyembahan kepada Tuhan APBD (mulai dari penyusunan, pembahasan dan penyempurnaan) tidak berlangsung secara khidmat.

Begini, karena pada bahasan diatas penulis telah menganalogikan polemik keterlambatan APBD itu semacam komedi, yang sayangnya para aktivis dan kelompok pegiat sosial media yang menonton dan bahkan ikut bermain sebagai pelakon penggembira gagal mengisi nilai-nilai komedinya yang kosong agar lebih berkualitas untuk ditonton atau didengar. Disini penulis akan coba untuk menyuguhkan sebuah anecdote sebagai satire dalam menggabarkan kekacauan proses APBD 2021. Berikut kisahnya.

“Alkisah, dano ko mian meng kosambuno Dodi, sodo nalapa basahadat usok isilam, inusokon ko Jou (pengajar-red) meng kosambuno Jou Tando, tumbeno Dodi akio kona agama.

Lapamo usok isilam, Dodi masadai tukon manggabi otungul doi Jou Tando, kalu mola na otungguliyo loluk iyana bula ko sambayangan na kinabaian.

Bai kona Jou do akina otungguliyo yana, Jou do tongo bantile “Nyaimo, iko babasalo iko Toiyomo ko Ndondok, mau na-aki mu inotungguli napa iko toiyomo ko sambayangan kaliangano. Naapa pokoknya mu malaingo sambayang, Nje komo kinabai doi sambayangano, doiyamo komu niloloi.

Singkat cerita, polong kowaktu sambayangan Lohor, Jou Tando ko teali imam, Dodi malaingo lakon sambayang, kokondong po-pason doi Jou Tando tonggulungo (saf pertama), saf koluano doi Dodi tonggulungo badang ko Labuk ila mo po-nokoli mo-malaing sambayang, dano i Longas, Mboling tukoni Ulaon.

Saisala sambayango komian, po-pason ko sujutan, labuko komeng pai po-sundekimo, po-po-taap (maaf) Beku/Tabu. Ulaon Taape i Mboling bekuno, Mboling taape i Longas bekuno. Ko Longas lakon kai taap i Dodi bekuno.

Dodi ngingging mo-Tinaap ko Bekuno, po-laing lakon Taape kona Jou bekuno, (na pikilkene ooh niamo lau i Jou na binantil, ko sambayangan limango). Jou Tando mosikit mo-tinaap ko bekuno, lakon Liit tudakiyomo i Dodi oluno, Dodi lakon loloiyomo kona ininomi na tudange lakon i Longas oluno, pokoknya pai po taapo beku tukon po tudang-tudango. Ko bunduno gamuto (kacau) ko sambayangan, ko limang sambayangan tealimo po-piadaan tukon poakatean..hahahaha”

Demikianlah kisah lucu dari kacaunya suatu ritual penyembahan kepada Tuhan, yang disebabkan karena lemahnya kapasitas dan moral kepempinan sehingga berujung pada kekacauan ritualisasi. Dimana kekacauan Sholat tersebut bukan hanya karena semata-mata disebabkan kenakalan bocah-bocah nakal (Longas, Mboling dan Ulaon) tapi juga disebabkan karena gagalnya “Jou Tando” yang memerankan diri sebagai guru, pemimpin sekaligus imam Sholat, dalam mendidik dan memimpin jama’ahnya.

Artinya keengganan Jou Tando dalam memberikan arahan kepada Dodi secara khusus dan kepada Longas, Mboling dan Ulaon telah mengakibatkan tidak tertibnya prosesi ritual penyembahan. Dodi, Longas, Mboling dan Ulaon yang tanpa briefing akhirnya berulah dan membuat improvisasi-improvisasi sendiri yang pada akhirnya merusak suasana khidmat peribadatan.

Kisah fiktif dari anecdote itu, bila kita coba tarik relevansinya dengan APBD BanggaiKep, bila sembahyang yang kacau itu kita analogikan sebagai prosesi ritual, maka proses perencanaan dan penganggaran APBD merupakan bagian dari ritual kita dalam penyembahan kepada Tuhan APBD.

Prosesi itu kemudian kehilangan kualitas dan marwah karena tidak dilakukan secara khusyuk. Artinya bila kita mendengar ucapan Ketua DPRD Rusdin Sinaling yang mengutip keterangan Ketua TAPD bahwa penyebab terlambatnya penyerahan dokumen KUA PPAS dan RAPBD ke DPRD secara tepat waktu, karena masih adanya Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang belum atau terlambat menginput Renja OPDnya.

Pertanyaannya kemudian lantas kemana para pegawai ASN, apa yang mereka kerjakan ? Jangan-jangan benar apa yang dikatakan oleh salah seorang netizen Abizar Faizan yang menanggapi positif pernyataan Wabup Salim Tanasa untuk menggantung ASN, sebab selama ini menurutnya pegawai ASN malas dan rendah etos kerjanya. Faktanya 75% yang mengerjakan pekerjaan administrasi di kantor dan lembur siang malam itu adalah pegawai kontrak (honorer). Jika hal itu benar tentu sangat memprihatinkan dan memalukan sesungguhnya, para pegawai ASN itu hanya bisa berteriak menuntut haknya tetapi terkadang lalai dalam melaksanakan kewajibannya.

Sehingga wajar, bila kita mencermati dengan baik program dan kegiatan dari masing-masing OPD yang terhimpun RKPD , KUA PPAS maupun RAPBD kita sesungguhnya masih jauh dari kata berkualitas. Terkesan copy paste dari tahun ke tahun, tidak mampu melahirkan inovasi dan terobosan baru. Lihat saja bagaimana PAD Kabupaten BanggaiKep yang dari tahun selalu tidak mencapai target dari yang direncanakan, tidak pernah meningkat. Wajar pula kalau Kabupaten Banggai Kepulauan merupakan salah satu kabupaten yang 85,5% menggantungkan hidupnya pada Dana Transfer Pusat (DAU, DAK fisik dan non fisik) sebagai Sumber Pendapatan Daerah, sementara PAD kita hanya mampu menyumbang 5,4% dari Dana Retribusi dan Pajak Daerah. (Bersambung)

Penulis adalah Pemimpin Redaksi ALAIMBELONG.ID dan Dosen di FISIPOL Universitas Tompotika Luwuk

Berita Terkait