Home » Rubrik » Opini » KO TEMENENO SAMBUNO APBD (Tuhan Itu Bernama Uang) – Bagian III)
pasang-iklan-atas

KO TEMENENO SAMBUNO APBD (Tuhan Itu Bernama Uang) – Bagian III)

Pembaca : 38
IMG_20210331_234722_372

“Tinjauan Kritis Atas Polemik APBD Banggai Kepulauan 2021”

Oleh : Fatharany Berkah Abdul Barry

Kondisi ini tentu mencerminkan bagaimana kepemimpinan daerah kita, baik di eksekutif maupun di legislatif, mulai dari Kepala Daerah (Bupati), Pimpinan DPRD sampai pada kepala-kepala OPD miskin gagasan (tidak visioner) dan tidak benar-benar tulus membangun negeri ini. Buktinya selama 21 tahun berdiri sebagai daerah otonom Banggai Kepulauan tanpa investor dan industri serta masih belum bisa makan sendiri dan masih harus disuapin Perintah Pusat.

Daerah ini memiliki pemimpin tapi tak terpimpin, eksekutifnya tak terpimpin dan legislatif tak terpimpin. Persis seperti yang dilakukan Jou Tando dalam anecdote yang penulis tulis diatas, Pemimpin kita krisis kapasitas (pikiran) dan moralitas (ketulusan), akibatnya terjadi kekacauan, Dodi, Longas, Mboling dan Ulaon tak terkontrol dan saling “Po Puak Beku” saat sambayang. Demikianlah gambaran analogic dari sebab terjadinya keterlambatan APBD tahun 2021, yang merupakan variabel pertama bahwa kita tidak serius menyembah (mengurusi) Tuhan APBD.

2). Variabel sikap kita terhadap Kasus BOK, MTQ, UTD dan Pembobolan Kas Daerah

APBD telat kita ramai-ramai teriak dengan alasan lapar, kita berdalih daerah dalam ancaman krisis. Sementara kasus dana BOK, MTQ, UTD dan Pembobolan Kas Daerah kita ramai-ramai diam, kita berkelit bahwa kasus itu sudah di ranah hukum, percayakan saja prosesnya kepada aparat penegak hukum.

Bagaimana mungkin sejumlah kasus itu bisa terang benderang kalo kita semua tidak mengawalnya dan memberi presure secara terus-menerus kepada aparat hukum untuk lebih serius bekerja. Misalnya saja soal posisi dan status mantan Kepala BPKAD BanggaiKep, Ahmad Thamrin yang hingga sekarang tak kunjung jelas. Bila ditanya kenapa Thamrin hingga kini belum ada khabar,? paling dijawab ya karena status Thamrin belum jadi tersangka, tapi pertanyaannya bukankah Thamrin adalah saksi kunci yang wajib untuk dicari keberadaannya oleh aparat penegak hukum ?

Gugatan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan kritis semacam itu melalui aksi demonstrasi mestinya bukan hanya mampu diajukan oleh para aktivis pergerakan, tapi harusnya mampu juga dilakukan oleh Forum ASN Bersatu, Kaum Buruh dan Masyarakat Miskin Kota kepada para pemegang kuasa, Bupati, Wakil Bupati, Sekda dan Pimpinan DPRD serta lebih khusus lagi kepada aparat Kepolisian.

Memang sejak sejumlah kasus itu (BOK, MTQ, UTD dan Pembobolan Kas Daerah) resmi ditangani aparat Kepolisian, maka tanggungjawab pertama penuntasan kasus itu ada pada aparat kepolisian yang memiliki hak penyelidikan dan penyidikan. Tapi bukan berarti tidak boleh dipertanyakan lagi oleh ASN, oleh buruh, oleh aktivis dan oleh kita semua yang merasa dan mengaku sebagai rakyat Banggai Kepulauan kepada para pemilik kuasa dan aparat penegak hukum. Artinya kita semua termasuk para ASN harus berani juga meneriaki kuping Bupati, Wabup, Sekda dan Pimpinan DPRD dengan megaphone dan bahkan memaksa mereka untuk ikut mendesak agar aparat Kepolisian bekerja cepat dan serius dalam menangani kasus BOK, MTQ, UTD dan Pembobolan Kas Daerah.

Ini penting dilakukan oleh kita semua, termasuk oleh para ASN, apalagi para ASN secara sadar mengakui diri mereka adalah juga merupakan rakyat BanggaiKep, yang hanya di branding oleh pakaian dinas coklat. Kesatupaduan kita, semua elemen rakyat termasuk ASN untuk berteriak menggugat dan mempertanyakan penanganan kasus-kasus itu kepada para pihak atau medesak kepada Penyelenggara Pemerintahan Daerah (Bupati dan DPRD) untuk mendesak aparat Kepolisian agar segera menuntaskan kasus dana BOK, MTQ, UTD, dan Pembobolan Kas Daerah. Apabila kita semua benar-benar tulus mencintai daerah ini dan serius menyembah Tuhan APBD.

Bila desakan itu kita semua lakukan, namun Bupati dan Pimpinan DPRD serta aparat kepolisian masih tidak bergeming. Dan sejumlah kasus Tipikor itu masih tak jelas ujungnya, maka patut diduga “ada keterlibatan elit kekuasaan daerah, terutama dalam skandal dugaan kasus Pembobolan Kas Daerah senilai kurang lebih Rp.36 milliar yang sedang berupaya dilindungi oleh aparat penegak hukum.

Keberanian kita semua terutama Forum ASN Bersatu dan elemen masyarakat lainnya untuk meneriaki Bupati dan Pimpinan DPRD agar ikut bersikap mendesak aparat Kepolisian untuk segera memperjelas dan menuntaskan penanganan kasus BOK, MTQ, UTD dan Pembobolan Kas Daerah. Harus dilakukan sebagai penegas sikap bahwa ASN dan kita semua sebagai rakyat yang berempati pada perkara keterlambatan APBD tahun 2021 bukan hadir untuk membela secara Birokratis – Politis karena sedang terjebak dan menjadi salah satu pendukung para pihak yang sedang berseteru, entah itu dukungan pada pribadi-pribadi elit kekuasaan maupun dukungan pada faksi lembaga (membela Tuan APBD) atau mempersekusi salah satu pihak saja, eksekutif atau legislatif.

Melainkan benar-benar hadir sebagai penegas sikap membela Tuhan APBD (pembelaan secara Ideologis – Birokratis). Disinilah pentingnya kenapa ASN dan kita semua sangat perlu juga meributkan kasus korupsi dana BOK, MTQ, UTD dan Pembobolan Kas Daerah. Sebab bila concern kita hanya pada soal keterlambatan APBD tahun 2021, maka motif dari keikutsertaan ASN dan kita semua meributkan soal ini tidak lebih dari sekedar motif Birokratis-Politis. Jangan sampai kita ingin masuk dan mewarnai sesuatu yang sesungguhnya objektif tetapi dengan pendekatan yang subjektif.

Ini yang penulis gambarkan sebagai komedi yang gagal kita sempurnakan ketika kita ikut nimbrung didalamnya karena tidak mampu mengisi nilai-nilainya yang kosong. Dan disinilah kemudian nampak jelasnya betapa kita tidak konsisten dan benar-benar serius menyembah dan membela Tuhan APBD (variabel kedua). Sebab kita menunjukan sikap yang paradoks, disatu sisi kita ribut soal keterlambatan APBD yang berdampak pada gaji, dan tunjangan serta ekonomi masyarakat, tapi disisi lain kita diam dan bersikap permisif pada kasus BOK, MTQ, UTD dan Pembobolan Kas Daerah yang notabene juga bersumber dari APBD.

E. Lantas Mengapa demikian ?

Jawaban atas pertanyaan dari sub bahasan ini, merupakan inti dari permasalahkan kita yang sesungguhnya dan paling prinsip. Sebab apa yang sudah penulis uraikan panjang lebar soal APBD dan sikap kita terhadapnya, mulai dari awal bagaimana kemudian kita sangat tergantung pada keberkahannya, sampai kemudian kita mendeklairkannya menjadi Tuhan, kita memperebutkan keberkahannya, sampai-sampai kita marah ketika dia (APBD) digantung, tapi disatu sisi kita lalai dalam proses penyembahan baik dari segi ketepatan waktu maupun dari segi kekhyusukan saat beribadah menyembahnya. Sebab utamanya yang paling esensial adalah soal “Mental (mens) kita dalam berdaerah yang sedang mengalami gangguan (neurosis).

Bila pada ulasan diatas penulis membuat sebuah hipotesa bahwa polemik APBD 2021 atau carut-marutnya kehidupan berdaerah kita di Banggai Kepulauan ini karena lemahnya kapasitas dan moral kepemimpinan daerah, baik eksekutif maupun legislatif. Namun soalan kemudian bukan hanya pada elit daerah yang bermasalah secara mental tapi kita semua rakyat, ASN, aktivis, buruh, dan semua elemen rakyat yang tidak konsisten dalam bersikap juga sedang mengidap neurosis.

Hal ini cukup beralasan, jika birokratisasi di eksekutif dan legislatif tak terpimpin lalu kemudian berimpact pada kekacauan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang tidak efektif dan efisien, karena lemahnya kapasitas dan moral kepemimpinan seperti yang penulis analogikan pada anecdote tentang ritual Sholat yang kacau balau yang di imami (pimpin) oleh Jou Tando dan makmumin oleh Dodi, Longas, Mboling dan Ulaon, karena saling “Po Taap Beku tukon Po Tudang” (saling memegang biji zakar lalu saling menginjak) sebagai gambaran sakitnya mental ditingkat penyelenggara pemerintahan daerah.

Maka inkonstensi sikap kita semua, khususnya Forum ASN Bersatu , aktivis, buruh dan masyarakat miskin kota dalam menyoal APBD (hanya berani meributkan keterlambatan APBD tapi takut meributkan dana BOK, MTQ, UTD dan Pembobolan Kas Daerah Rp. 36 Miliar) juga menggambarkan bahwa mental kita sedang tidak sehat. Karena kita tidak mampu melihat persoalan APBD secara esensial, objektif dan menyeluruh (ideologis-birokratis), tapi kita hanya mempu melihatnya secara eksistensial, subjektif dan parsial (birokratis-politis).

Secara teoritis masalah kejiwaan atau lebih khusus mental kita ini dalam berdaerah, bagi penulis mungkin dapat kita analisis dengan menggunakan Teori Psikoanalisis Sigmund Freud tentang Struktur Kepribadian, untuk melihat pada level mana perkembangan mentalitas kita sesungguhnya. Oke..? mari kita berteori sejenak, anggap saja kita semua adalah pasien gangguan mental yang sedang didiagnosa oleh Freud dengan instrumennya.

Untuk keperluan praktis ini agar mudah dipahami penulis buatkan review teorinya sebagaimana diterjemahkan Kees Bertens dalam Buku Psikoanalisis Sigmund Freud (2006). Menurut Teori Psikoanalisis Freud, ada 3 (tiga) komponen sifat (kepribadian) manusia yaitu Id (Das Es), Ego (Das Ich) dan Superego (Das Ueber Ich). Ketiga aspek ini berpadu membentuk karakter seseorang.

Id atau Das Es (aspek biologis) adalah komponen kepribadian yang paling dasar dari sifat manusia yang telah ada sejak baru lahir ke dunia. Berisi impuls agresif dan libinal berupa nafsu, keinginan, serta kebutuhan. Cara kerjanya berorientasi pada pemuasan nafsu dan kesenangan pribadi semata (pleasure principle).

Sementara Ego atau Das Ich (aspek rasional) adalah komponen kepribadian yang bertugas sebagai pelaksana untuk memenuhi nafsu, keinginan serta kebutuhan lewat cara yang bisa diterima di dunia nyata. Cara kerjanya logis karena mengatur dorongan-dorongan id agar tidak melanggar nilai-nilai superego.

Sedangkan Superego atau Das Ueber Ich  (aspek sosial atau moral) adalah bagian moral dari kepribadian manusia, cara kerjanya sebagai filter dari sensor baik-buruk, salah-benar, boleh-tidak dari keinginan Id yang dilakukan oleh dorongan ego. Adanya superego ini membuat perilaku manusia menjadi lebih terpelajar dan sempurna, superego menjadi dasar seseorang membuat keputusan. 

Perilaku elit kekuasaan kita dalam proses APBD yang saling intai dan jual beli intrik karena berebut keuntungan-untungan capital secara personal, gemar mencari fee project dan mengejar SPPD sebagai penghasilan tambahan, padahal hanya sekedar memuaskan sahwat untuk shopping dan jalan-jalan cuci mata ke luar daerah, puluhan kali Bimtek tapi peningkatan kinerja minim, perbanyak beli mobil dinas hanya untuk memenuhi kesenangan dan citra kemewahan seorang pejabat daerah. PAD stagnan tak pernah meningkat dari tahun ke tahun, ekonomi masyarakat lesu, Kas Daerah dirampok puluhan miliar rupiah dengan berbagai modus kasus korupsi, daerah terancam kolaps dan difusi dengan daerah induknya, namun semua itu seolah tak dipusingkan. Mereka tetap santai menikmati kenikmatannya sendiri, untuk dirinya sendiri, keluarganya dan kelompoknya.

Sikap para elit penyelenggara pemerintahan daerah kita di eksekutif dan legislatif semacam itu, yang lebih mengedepankan politics of interest antar individu maupun kelompok (faksi) ketimbang kepentingan daerah secara umum. Mencerminkan bagaimana dominannya komponen id dan ego dalam diri para pejabat kita.

Demikian pula dengan perilaku kita semua sebagai ASN (pegawai non elit), aktivis, buruh, masyarakat miskin kota dll yang hanya mau ribut bila tak terima gaji, menuntut TPP, Tamsil dan jenis tunjangan lainnya. Terjebak pada konflik antar elit dan faksi, lalu kemudian ikut membela atau memusuhi berdasarkan suka tidak suka, berdasarkan relasi bos dan bawahan, kedekatan pertemanan, senior-junior dst. Sementara perilaku kita sendiri yang pragmatis, dan hanya ribut untuk sekedar sensasi dan citra diri, membela bos, kawan, senior dan sanak family.

Kita kemudian luput melihat dan mengkritisi fungsi elit secara objektif, dimana secara makro baik buruknya kehidupan berdaerah kita sangat ditentukan oleh seberapa efektif elit melaksanakan fungsi dan tanggungjawabnya.

Sikap kita yang sedemikian rupa hanya mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok kita, seperti halnya yang dilakukan oleh para elit, serta ketidakkonsistenan kita semua dalam mengkritisi fungsi elit (terjebak menjadi pembela salah satu elit disatu sisi dan musuh elit lainnya disisi lain) lalu kemudian kita jadi tidak konsisten meributkan masalah APBD secara esensial, mulai dari kasus dana BOK, MTQ, UTD, Pembobolan Kas Daerah Rp.36 miliar tahun 2020 sampai pada keterlambatan APBD 2021, juga turun mengkonfirmasi bahwa kita juga bermasalah secara mental, tidak seimbang antara Id, ego dan super ego.

Artinya perilaku kita semua dalam berdaerah, mulai dari elit kekuasaan, ASN, aktivis, buruh, masyarakat miskin kota dan komponen lainnya hanya berkutat pada prinsip kepuasan nafsu (id) dan prinsip realistik pemenuhan nafsu (ego). Perilaku kita dalam berdaerah tidak beroperasi memakai prinsip idealistik (edialistic principle) dari kekuatan moral dan etika. Kita merasa lapar (id) lalu memutuskan untuk mencari dan mendapatkan makanan dengan cara kerja (ego). Namun karena kita tidak memiliki batasan moral dan etika (super ego) maka dalam memenuhi kebutuhan makan, karena dorongan lapar, kita mencuri makanan orang lain untuk kita makan atau kita bekerja apa saja tak pandang halal atau haram yang penting bisa makan, kenyang, kaya, puas dan untung.

Terlalu ekstrim mungkin bila penulis menyebut bahwa perilaku kita semua sebagaimana diurai diatas, dalam berdaerah masih berada pada level kepribadian yang paling primitif yaitu id (nafsu), karena pada realitasnya, kita masih belum mampu memfungsikan komponen ego (akal) sebagai pelaksana id dengan baik. Indikatornya, Pertama, kita belum efektif memilih kebutuhan daerah (stimulasi mana) yang hendak direspon dan atau gagasan (insting) mana yang akan dilaksanakan (dipuaskan) sesuai dengan prioritas kebutuhan. Kedua, kita masih bingung menentukan kapan dan bagaimana kebutuhan itu dipuaskan sesuai dengan tersedianya peluang yang resikonya minimal. Inilah yang penulis sebut rendahnya kapasitas (konsepsi) pemimpin, serta moral kepemimpinan yaitu komponen superego (hati nurani).

Bila ditinjau pada tataran tingkat kehidupan mental, menurut Freud, maka sesungguhnya tingkat kehidupan mental kita dalam berdaerah masih berada level Taksadar (Unconscious) atau dalam istilah Banggai disebut “Olumon”, kalaupun naik sedikit tingkatannya maka baru berada pada level Prasadar (Preconscious) atau “Mbuol-Mbuol”. Masih jauh dari level Sadar (Conscious) atau “Toong”

Hehehehe….lucu kan ? Sekarang kita kembali ke analogi anecdote tentang ritual Sholat untuk penyembahan Tuhan APBD yang berantakan yang di imami (pimpin) oleh Jou Tando dan makmumin oleh Dodi, Longas, Mboling dan Ulaon, karena saling “Po Taap Beku tukon Po Tudang” (saling memegang biji zakar lalu saling menginjak), sebagai analogi yang penulis pilih untuk menggambarkan bagaimana lemahnya kapasitas (ego) dan rontoknya moral kepemimpinan (superego) dalam kehidupan berdaerah kita di Banggai Kepulauan ini.

Mereka semua, Jou Tando, Dodi, Longas, Mboling dan Ulaon, terutama Jou Tando dan Dodi (sebagai orang yang sudah dewasa) mengalami krisis ego dan superego. Mereka hanya mengikuti insting primitifnya untuk menyembah Tuhan (sholat), tapi mereka mereka tidak tau menempatkan mana saat serius dan berncanda (ego), sehingga mereka bercanda, Jou Tando sebagai imam Sholat tidak memberi briefing soal pentingnya ketertiban saat sholat. Artinya mereka semua termasuk Jou Tando mengabaikan pentingnya komponen moral dan etika (superego) dalam ritual Sholat. Bercanda dan dan tidak tertib dalam beribadah bukan hanya mengurangi sakralitas Sholat tetapi juga merupakan perilaku yang berakibat dosa, karena sama dengan melecehkan sekaligus menghina Tuhan.

Demikianlah gambaran kehidupan berdaerah yang sedang kita lakoni, dari semua dialektika dan problematikanya yang timbul hari-hari ini, mulai kasus Dana BOK, MTQ, UTD, Pembolan Kas Daerah Rp.36 miliar sampai polemik keterlambatan APBD tahun 2021, masalahnya yang paling inti adalah mentalitas kita yang tidak sehat. Kerakusan nafsu (id) lebih merajai ketimbang kemampuan berfikir rasional (ego) dan lossnya moral dan etika (superego). Akibatnya kita memiliki sumberdaya tapi kita tak berdaya, kita memiliki peradaban tapi kita tak beradab bahkan biadab. (***)

Penulis adalah Pemimpin Redaksi ALAIMBELONG.ID dan Dosen di FISIPOL Universitas Tompotika Luwuk

Berita Terkait