Home » Rubrik » Opini » Komprehensifitas KaMIMo Banggai: Catatan Penegas TOT Ke -18 Tahun
pasang-iklan-atas

Komprehensifitas KaMIMo Banggai: Catatan Penegas TOT Ke -18 Tahun

Pembaca : 39
IMG_20210427_043548_053

Oleh: Sartun T. Landengo, SH

Catatan ringkas ini sesungguhnya adalah coretan lama yang di share ke group WhatsApp para Piot (adinda-red) KaMIMo Banggai. Maksudnya sekedar memberikan pencerahan sekaligus penguatan terkait klaim kebenaran dari percakapan seputar konsepsi berpaguyuban Banggai.

Ulasan ini dianggap perlu sebagai jawaban kenapa anggapan konsepsi KaMIMo Banggai lebih komprehensif dari pada konsepsi kelompok gerakan kebudayaan lain di luar KaMIMo Banggai. Semisal kelompok yang mengatasnamakan ini dan itu, yang ada di Balut, padahal dalamannya hanya soal mengeksistensikan Balutisme begitupun yang di Peling ujungnya Bangkepisme, Bulagi Bersaudara ujung-ujungnya Sea-seaisme yang menolak kehendak sejarah Sea-sea dan asimilasinya. Di daratan jazirah darat Kerajaan Benggawi tidak usah bilang.

Klaim komprehensifitas konsepsi itu dapat kita rujuk dalam buku KAMIMO BANGGAI: Ikhtiar & Konsepsi (2016) karya Langgong Fathan, sebuah buku pedoman yang wajib dibaca dan dikuasai oleh setiap kader ideologis KaMIMo Banggai bila ingin tuntas memaknai konsepsi Kamimo Banggai. Namun catatan ini tidak akan membahas tentang isi buku tersebut secara detil, melainkan hanya mengambil substansinya yang relevan tema dan tujuan tulisan ini. Ringkasnya sebagai berikut :

“Kebangkitan Banggai melalui Gerakan Revolusi Banggapi adalah Cita-cita kita, KaMIMo Banggai adalah instrumen untuk mencapai cita-cita. Bertahan adalah tugas awal kita”

Aktivitas KaMIMo Banggai serta ilmu di dalamnya sebagai bahan propaganda/kampanye yang memanggil kesadaran bersama tentang arti penting makna Montolutusan untuk dijiwai dan segera di praktekan kembali.

Revolusi Banggapi merujuk pada suatu ikhtiar dan kosepsi yang berdiri kokoh pada nilai keluhuran/kebaikan masa lampau Mian Banggai yang digali pada perilaku individu maupun kelompok manusia pada zaman itu (Lobo-Sea-sea). Ikhtiar kita menuju pada kemoderenan perilaku sesuai tuntutan zaman serta keadaan yang disebut berdaulat serta sejahtera namun tidak kehilangan identitas keBanggaian kita.

Bentuk kongkrit dari ikhtiar ini iyalah, menjadi suatu entitas suku bangsa yang beragam namun terpola pada satu kesepahaman bahwa kita adalah suku bangsa modern, berdaulat, dan sejahtera, yang Bertaqwa kepada Tuhan yang Esa (Moloyos doi Temeneno), artinya kita bukan suku bangsa animis dan atheis.

Dekat dan akrab kepada sesama, artinya kita bukan suku bangsa individualis yang tak mau tahu serta tidak peduli dengan keadaan sekitar (Monikil doi Utus). Kita adalah suku bangsa yang menjujung tinggi suasana perasatuan dan kesatuan juga keakraban dalam keberagaman.

Baik dalam perilaku juga perbuatan (Moliyos doi Kakabai), artinya kita adalah suku bangsa yang menjunjung tinggi suasana keadaban dalam interaksi sosial kita baik personal maupun kelompok, serta menjadi suku bangsa yang terdepan mengecam perbuatan buruk, merugikan orang secara pribadi maupun kelompok.

Dari soal keberTuhanan, Kemanusian, serta perilaku beradab menjadi standarisasi kita untuk mencapai tatanan sosial suku bangsa yang baik (Banggai yang Banggapi/humanis) sehingga memberikan maslahat untuk semuanya dalam berbagai aspek (Mondok doi Bundu).

Intisari dari resume filosofi Totuukon Sangkap (4 Prinsip Kebenaran) tersebut, menurut saya adalah penataan sistem nilai untuk diinternalisasi kembali, sehingga jiwa keBanggaian kita yang kosong, moral Tuu-Tu kita yang lekang serta semangat Montolutusan kita omong-kosong (kontras antara ucapan dan praktek) dapat kita isi dan beri makna, sebagai tempat tumbuhnya kesadaran akan pentingnya kesatuan dan persatuan Banggai yang kokoh menuju kebangkitan.

Artinya, kita tidak perlu menjadi purba dan primitif. Kembali ke masa lalu yang klasik dengan menegasi dan menggugat identitas masa kini. Sea-sea serta asimilasinya adalah kehendak perjalanan manusia di muka bumi yang diperjumpakan atas nama kebutuhan dan keinganan manusia di muka bumi ini. Tugas kita bukan membangun gerakan-gerakan yang parsial yang seolah-seolah melawan kehendak ini.

Tugas kita adalah bertahan, bertahan dari kebengisan sistem yang memuat nilai-nilai kapitalisme dan ini telah masuk merambah di dalam tatanan keBanggaian kita.

Menampakan Montolutusan yang tidak lagi menjadi mesin perekat kebersamaan dalam senasib, seharapan, dan seperjuangan, serta berkecendurungan kita menjadi manusia individualis adalah bukti ketidaksiapan kita dalam bertahan akan serangan sistem yang bengis ini.

Saya merekamnya penyebab berbagai macam kebudayaan Indonesia termasuk kebudayaan Banggai yang tergerus itu disebabkan oleh kekasih gelap demokrasi itu sendiri yakni kapitalisme. Kapitalisme akan menghabisi terlebih dahulu kebudayaan, karena hanya kebudayaan dan agam yang mengajarkan manusia untuk bersatu tanpa syarat tukar tambah berbagai macam kepentingan.

Disinilah pentingnya membangun persatuan dan kesatuan pikiran dan tindakan, karena bagi kader KaMIMo Banggai yang sadar akan eksistensinya sebagai kader budaya dan kearifan Banggai, maka mengejawantahkan nilai-nilai konsepsi Totuukon Sangkap dalam bentuk tiga aksi (tradisi) dalam kehidupan organisasi KaMIMo Banggai, yaitu (1). Budaya gotong royong, yang sudah menjadi identitas organisasi dan kader melalui aksi sosial peduli kemanusiaan. (2). Budaya membaca buku dan diskusi, untuk memperkuat literasi dan wacana, penting untuk terus digiatkan, dan (3). Budaya demonstrasi, sebagai wujud koreksi terhadap kebijakan pemerintah daerah yang tidak populis tetap harus manjadi prioritas. Ketiga hal tersebut yang selama ini telah menjadi budaya organisasi wajib untuk terus dirawat konsistensinya agar ritme perjuangan tetap terjaga. Tolos Oloyo Tosungan (TOT) ke-18 Tahun Paguyubanku. Semoga, Temeneno na Loingiyo. (*)

Penulis adalah Mantan Ketua Umum KaMIMo Banggai Periode 2014 – 2015 dan Sekarang sebagai Ketua Dewan Pembina (DP) KaMIMo Banggai 2021-2022

Berita Terkait