Home » Rubrik » Opini » Lembaga Riset, Pendidikan dan Industri
pasang-iklan-atas

Lembaga Riset, Pendidikan dan Industri

Pembaca : 108
indra-j-piliang-sudah-1-tahun-jadi-pecandu-narkoba-jenis-sabu

Oleh : Indra J. Piliang

Iqra:

Ketika badai kehadiran BRIN muncul pada awal tahun baru 2022 ini, yakni satu lembaga superbody yang menggawangi 39 lembaga penelitian plat merah, satu tulisan ini seakan mencakar-cakar dari buku harian.

Berasal dari tulisan tangan, per tanggal 4 Februari 1998, manakala aksi-aksi mahasiswa sudah berkumandang terutama dari kampus-kampus di luar Jakarta.

Sejarawan yang merangkap sebagai politikus adalah kutukan berabad. Korbannya tidak sedikit, termasuk Ibnu Khaldun. Bahkan, adik kandung Ibnu Khaldun dibunuh guna membendung pengaruh pena dari sang kakak.

Tetapi, sejarawan yang tidak bernyali untuk menulis, adalah siluman yang suka menakut-nakuti mimpi setiap kanak-kanak!

Tulisan ini hadir dari zeitgeist pergerakan mahasiswa, hampir 24 tahun yang lalu.

Salam Merdeka 100%!!

Sudah biasa di kalangan masyarakat akademis Indonesia untuk siap bekerja di bidang apapun, Ketika menamatkan studi mereka di perguruan tinggi. Tak heran, kalau banyak lulusan program eksakta (teknik, matematika, ilmu pengetahuan alam) yang terjun menjadi eksekutif muda di perusahaan pemasaran.

Faisal Basri, ekonom Universitas Indonesia, pernah mengatakan bahwa mahasiswa yang belajar di program Magister Manajemen lebih “dikuasai” oleh lulusan S1 eksakta, ketimbang S1 ekonomi. Bahkan, dari lima lulusan terbaik, empat orang berasal dari eksakta.

Kita juga bisa membaca iklan-iklan di harian Kompas tentang betapa banyaknya lowongan pekerjaan di bidang pemasaran dan manajemen yang dikhususkan untuk lulusan teknik. Hanya human resources division yang membutuhkan sarjana psikologi dan hukum.

Jarang fresh graduate ini yang langsung terjun ke bidang riset. Padahal, merekalah yang paling beramhisi untuk menyumbangkan sebuah produk dengan melakukan sejumlah inovasi, sebelum “terjarah” oleh bidang produksi, pemasaran, dan manajemen.

Justru yang paling banyak ditemukan dalam kolom-kolom opini yang tertulis di mass media adalah jabatan-jabatan “Ketua atau anggota lembaga penelitian anu dan anu” di bidang ilmu-ilmu sosial. Kecuali sebagian kecil lembaga penelitian mapan seperti LSPEU Indonesia atau LP3ES, serta lembaga resmi seperti LIPI dan LPEM UI atau lembaga riset yang bersifat prototipe seperti CPDS dan CSIS, sebagian besar lembaga-lembaga penelitian yang ada hanyalah organisasi papan nama.

Atau, malah menyerupai group of discussion segelintir mahasiswa yang merasa sudah mampu membedah isi dunia. Lembaga seperti ini jumlahnya banyak. Ada di setiap kampus dan ibukota provinsi, serta lebih berorientasi kepada pengembangan intelektualitas. Banyak juga yang terjebak kepada pemikiran yang filosofis, tanpa perlu mempelajari ilmu-ilmu dasar terlebih dahulu.

Di bagian lain, juga ditemukan belasan perusahaan riset di bidang pemasaran. Yang paling terkenal adalah Surveyor Research Indonesia (SRI). Di samping itu ada yang namanya MRI, GRP, Deka, dan lain-lain. Yang dikejar mereka adalah konsumen produk tertentu, misalnya minuman kaleng atau mobil. Tujuannya, apalagi kalau bukan meningkatkan kualitas produk dan, terutama, jumlah penjualan. Sebab klien dari perusahaan ini adalah perusahaan-perusahaan yang memproduksi produk tertentu. Bahkan perusahaan riset pemasaran ini ada yang sudah menjadi anak perusahaan dari sebuah grup besar.

Jadi jangan kaget, kalau ketika kita berjalan di mall dicegat oleh satu atau dua orang, seraya menanyakan apakah kita menggunakan produk tertentu atau tidak. Kalau kita menjawab “Iya”, akan dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan lain. Ketika kita dianggap sebagai orang yang tepat, mereka mengajak kita ke suatu ruangan, mencoba produk tertentu, menilai rasanya, atau hanya sekadar wawancara di tempat untuk produk mobil, misalnya. Setelah selesai, kita akan mendapatkan senyuman, ucapan terima kasih, dan souvenir.

*
Masalahnya adalah pengertian riset di perusahaan pemasaran, dan industri, kadangkala berbeda dengan riset di lembaga pendidikan. Riset di perguruan tinggi atau lembaga pendidikan bersifat ilmu murni. Sedangkan riset di bidang pemasaran dan industri bersifat ilmu terapan.

Tujuan riset lembaga pendidikan adalah pengembangan teori dan, lebih-lebih, penemuan (invention). Sedangkan di industri atau pemasaran adalah ingin sebuah produk diterima oleh masyarakat dan mempunyai nilai competitiveness yang tinggi, dibandingkan produk serupa perusahaan saingan.

Lain lagi kegunaan riset di lembaga-lembaga politik dan keagamaan. Bisa jadi metodologinya sama, sedangkan tujuannya berbeda. Seperti keberhasilan manusia menciptakan nuklir, sangat dipengaruhi oleh keinginan penggunaannya: apakah untuk membunuh manusia atau mensejahterakannya.

Hasil penelitian atas kasus-kasus kerusuhan di Indonesia, bisa jadi berbeda antara pihak-pihak pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, atau ilmuwan asing. Di sinilah letak rumitnya ilmu-ilmu sosial, karena bersentuhan dengan nilai-nilai tertentu dalam diri si peneliti.

Apalagi jika sudah menyangkut ideologi negara, jelas kepentingannya berbeda dengan kepentingan yang bersifat sektoral/spasial. Ilmuwan Amerika Serikan dan Uni Sovyet bisa bersatu, ketika meneliti ruang angkasa. Tetapi ketika membicarakan konflik Arab – Israel, jelas mereka berbeda pendapat.
*
Pada titik ini, kita dihadapkan pada pertanyaan: bagaimana me-link-and-match-kan lembaga riset, industri, dan pendidikan?

Secara kelembagaan, terdapat dua departemen yang mengaturnya. Satu, Menteri Negara Riset dan Teknologi di bawah Prof. Dr. BJ. Habibie. Dua, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di bawah Prod Dr Wardiman. Untungnya, Wardiman adalah bekas anak buah Habibie yang sudah me-link-and-match-kan pendidikan dengan dunia industri. Dan di dunia industri terdapat lembaga riset dan teknologi. Jadi sudah terdapat suatu kesatuan lembaga antara riset, industri, dan pendidikan.

Ironisnya, masih terdapat annggapan kuat di masyarakat tentang tingginya harga (high cost) yang harus dibayar oleh lembaga-lembaga riset dan teknologinya Habibie. Bahkan, Habibie sempat menuding, adanya ppihak-pihak yang masih menganggap program kedirgantaraan sebagai proyek mercusuar (RRI, 3 Februari 1998). Program kedirgantaraan sepertI Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) adalah salah satu lembaga riset dan teknologi yang dibawahi Habibie, di samping puluhan lainnya, seperti BPPT, Puspiptek Serpong, PT PAL, PT PINDAD, dan Otorita Batam. Di lembaga-lembaga inilah riset ilmu-ilmu murni diterapkan dengan biaya lumayan besar.

Yang memang belum bisa dijawab oleh Habibie adalah riset dan teknologi macam apa yang sudah dihasilkan oleh sekian banyak perusahaan negara yang dikoordinasikannya?

Pertanyaan ini sudah sering dijawab, tetapi belum meyakinkan karena ada pertanyaan lanjutan: apakah hasil riset dan teknologi itu berguna bagi masyarakat?

Dalam sebuah seminar di Universitas Indonesia tahun 1993, terjadi perdebatan sengit antara Habibie dengan mahasiswa Institut Pertanian Bogor, ketika Habibie terkesan meremehkan kerja meneliti dan menungguin pohon pisang berbuah, dan ketika buahnya melimpah, tidak ada teknologi penyimpanan pisang. Sehingga, pisangnya busuk. Mungkin ada yang dilupakan bahwa pisang-pisang, dan buah-buahan kita, kalah bersaing dengan buah-buahan impor, bahkan di negeri sendiri.

Itu baru satu contoh kasu: masalah riset dan teknologi perpisangan. Contoh-contoh lain bejibun. Industri-industri kita masih banyak menggunakan bahan baku impor, mulai dari industri kertas, otomotif, sampai industri tempe. Peniti, buah kuaci, silket bermutu atau pasta, banyak yang made in China, Czech Republic atau Hongkong.

Amati lingkungan anda dan kebutuhan anda sehari-hari, dan catat produk (logam) apa yang made in Indonesia. Dan anda pasti kecewa, karena hampir tidak pernah menemukannya.

Lemahnya daya saing industri dan teknologi lokal–nasional inilah yang menyebabkan kita kalah bersaing di tingkat Asia, apalagi dunia. Dan itu menjadi penyebab utama krisis ekonomi sekarang, karena banyaknya komponen impor yang dikandung–yang diukur dengan dollar–bahkan oleh peradaban tempe dan tahu. Padahal, kita adalah negara agraris.

Kita, ternyata, beluk akrab dengan teknologi yang kecil-kecil. Bahkan teknologi yang kecil-kecil itulah yang laku di kalangan masyarakat kita yang masih terkebelakang. Atau, teknologi menengah seperti traktor tangan, motor, mesin jahit, atau kulkas, belum ada yang kita produksi. Bahkan kita impor dari India. Kecuali, industri perakitan, tentunya, yang hanya membayar upah merakit, tetapi tidak berbahan baku atau teknologinya. Kecenderungan Habibie dengan high technologynya itulah yang–mungkin–menjadi pertimbangan banyak pihak untuk mengkritiknya.

***
Kecenderungan lembaga riset dan teknologi yang high cost dan hig tech itulah yang perlu mendapat perhatian kalangan dunia pendidikan. Kalau dunia industri berorientasi pada produk yang menguntungkan, sedangkan lembaga riset dan teknologi nasional berorientasi pada high technology, apa salahnya dunia pendidikan berorientasi pada local and middle technology?

Berbagai perguruan tinggi sudah memulainya. Baru-baru ini, Universitas Indonesia memunculkan mobil alternatif yang disebut Kendaraan Angkutan Listrik (KAL) dan Bajaj Listrik. KAL ini disponsori oleh PT Roda Naga Karya, sebuah perusahaan otomotif. Kendaraan ini ternyata sangat ramah lingkungan (Suara Mahasiswa UI, Nomor 13, tahun VI, 1997).

Di sinilah diperlukan kebijakan anggaran yang pas dan jelas. Sebab, bagaimanapun, riset membutuhkan sejumlah dana. Dan dana itu seringkali jauh lebih besar dari gaji seorang dosen atau peneliti. Prosentase anggaran untuk penelitian dan pengabdian masyarakat jauh lebih kecil dari anggaran untuk kegiatan akademis dan ekstra kurikuler. Keadaan ini tidak hanya terjadi di universitas swasta, tetapi juga perguruan tinggi negeri. Bahkan ada Perguruan Tinggi Swasta yang tidak memiliki laboratorium atau dana lembaga penelitian.

Karena kecilnya dana penelirian di perguruan tinggi seringkali menimbulkan keluhan di kalangan peneliti atau ilmuwan. Satu-satunya cara buat mereka untuk menambah penghasilan adalah dengan memperbanyak jumlah jam mengajar. Akibatnya, ilmu yang diberikan kepada mahasiswa atau peserta didik, tak mengalami perkembangan berarti, karena kurangnya pengetahuan yang dimiliki staf pengajar dan kurangnya mereka terlibat dalam kegiatan penelitian.

Problema ini semestinya bisa diatasi dengan menempatkan lembaga riset perguruan tinggi dalam mata rantai suatu produk. Dan ini memerlukan kerjasama dengan dunia industri.

Lukman Hakim PhD, peneliti LIPI, pernah mencontohkan perlunya keterlibatan ilmu-ilmu murni (kimia dan fisika) dalam penelitian kosmetika. Contoh yang diberikan Lukman Hakim sudah diberlakukan di sejumlah negara, termasuk Jepang. Untuk itu dibutuhkan kejelian pihak penyelenggara pendidikan untuk membidik pasar. Keterlibatan lembaga riset itu tidak hanya terbatas pada suatu rantai produk industri berat, tetapi juga industri jasa.

Lembaga Psikologi Terapan Psikologi UI, misalnya, ternyata berkepentingan dalam recruitment sejumlah karyawan peruhaan rekanannya. Mereka diberi kepercayaan penuh mengusulkan testing calon karyawan baru.

Begitu juga lembaga Penelitian Politik, Hukum, Sosiologi, atau Kriminalitas, yang bekerjasama dengan kepolisian, pemerintah daerah, Lembaga Bantuan Hukum, dan mitra kerjanya untuk mengadakan penilaian atas suatu kasus spesifik. Penelitian ini sering disalah-artikan sebagai penelitian pesanan.

Jadi, terdapat banyak cara untuk me-link-and-match-kan lembaga riset, industri, dan pendidikan. Antara lain dengan meningkatkan jumlah dana penelitian di lembaga pendidikan, dan hasilnya dijual kepada kalngan industri. Atau melibatkan lembaga riset perguruan tinggi dalam proses produksi untuk ilmu-ilmu eksakta.

Bisa juga dengan mengadakan kerjasama penelitian atas kasus-kasus tertentu bagi ilmu-ilmu sosial.

Dan, terakhir, dunia industri langsung memberikan bantuan dana untuk penelitian tertentu, tanpa berorientasi pada hasil. Apa yang anda pilih, terserah! (**)

Jakarta, 4 Februari 1998.

Penulis adalah Staf Perpustakaan STIE Pramita, Binong, Curug, Kabupaten Tangerang (1997-1999)

Berita Terkait