Home » Rubrik » Opini » Lima Pandawa, Satu Sifu
pasang-iklan-atas

Lima Pandawa, Satu Sifu

Pembaca : 7
images

(Bukan Catatan Imajiner Empat Presiden, Harmoko, dan Christianto Wibisono)

Oleh : Indra Jaya Piliang

 

Jelang sholat Ashar. Soeharto (100 Tahun) sudah di dalam Masjid Al Ayyubi yang berbentuk kapal cadik zaman Majapahit itu. Rambut putihnya ditutupi kopiah bulat putih yang tak berbeda dengan warna rambutnya. Ia sedang membaca laporan yang dikirim oleh Harmoko (82 tahun). Harga cabe keriting Brastagi, gula aren Kediri, daun enau Pariaman, tembakau Bahorok, teh Kayu Aro, hingga kepiting kenari yang langka di bumi Ternate tercatat lengkap.

Harmoko berada di depan pintu. Menunggu. BJ Habibie (85 tahun) datang, meraih bahu Harmoko, cipika-cipiki.  Rambutnya mengkilat. 

Habibie berbisik, “Dek, eike mau tahu, apa Pak Harto tahu minyak rambut yang eike pakai ini.”

“Mohon petunjuk, Profesor!” sahut Harmoko, sambil memancungkan hidung, menghirup aroma.  Tak terasa.

“Adek sejak dulu selalu begini. Hafal semua jenis harga, nama tumbuhan, hewan, tapi tak tahu apa yang dibaca,” ketus Habibie.

“Mohon petunjuk, Profesor. Saya kesini diantar dengan protokol Covid 19 dari RSPAD Gatot Subroto. Semua indra penciuman saya hilang,” balas Harmoko, puas, sambil menoleh sinis pada rubrik “Nah Ini Dia” dalam koran Pos Kota yang selalu lebih banyak pembaca, ketimbang artikelnya yang persis ada di sebelahnya.

“Covid 19? Itu nama pesawat helikopter terbaru terbitan Industri Pesawat Nurtanio ya, Dek? Luar biasa! Saya ingin periksa sayapnya, nanti,” balas Habibie lebih keras, melangkah ke dalam mesjid, menuju tempat wudhu, sungkem kepada Soeharto, sholat tahiyatul masjid, dan duduk lebih belakang, dan membuka buku saku industrialisasi berbasis high technology.

Tak berselang lama, Soekarno (120 tahun) menginjak teras mesjid sambil mendehem, berpeci hitam, kacamata hitam, dan tongkat komando bergambar Garuda. Tergopoh Harmoko menyambutnya.

“Salam Merdeka, anak muda. Masih memimpin Harian Angkatan Bersenjata rupanya. Nama Jenderal Gatot Subroto belum dilepas itu di krah bajunya. Kenapa ada pula tertulis Rumah Sakit di krah satu lagi?” pandang Soekarno, jeli.

Harmoko sengaja tak mendengar. Dia mengawal Soekarno melepaskan alas kaki, ke tempat wudhu, dan berlari kearah Soeharto dan Habibie. Keduanya langsung berdiri. Soeharto seolah berlari, bersikap sempurna, tak bersuara, militer murni, lalu mengikuti Soekarno yang langsung menegur Habibie.

“Mr Crack dunia Timur! Bagaimana sekolahmu di Jerman sana? Kudengar sudah menjadi profesor pula disana?” kata Soekarno dalam bahasa Jerman campur Belanda yang sudah dibahasa Indonesiakan oleh penulis kisah imajiner ini.

“Terima kasih, ayahanda. Ayahanda yang mengirimkan saya dalam Angkatan Pertama untuk pergi belajar ke Jerman. Ayahanda tahu betul, negara kalah perang itu ternyata banyak memiliki teknologi. Ketika yang lain memilih Amerika Serikat, Inggris atau Perancis yang menang perang, saya diledek sebagian orang Pare-Pare yang sedang menuntut otonomi luas bersama yang lain itu ke negara yang sedang lahir dari neraka!” sambut Habibie, begitu ta’zimnya.

Mereka terus bercakap dalam bahasa Jerman, Belanda, Perancis, terkadang Sovyet yang belum berubah menjadi Russia itu.

Soeharto bersikap sempurna. Tak ingin menepuk dada, betapa diam-diam mengagumi pemikiran dan langkah yang ditempuh Soekarno, menjemput Habibie untuk segera pulang ke Indonesia dari Jerman, dengan surat tugas yang ditanda-tangani bercap burung Garuda, namun tak berisi kalimat apapun.

“Isilah sendiri, dek Habibie mau apa. Serahkan kepada Adam Malik Batubara (104 tahun) dan Sultan Hamengku Buwono IX (109 tahun). Semua sudah dipersiapkan,” bujuk Soeharto dalam surat rahasia yang dibawa Hartarto Sastrosoenarto (89 tahun) ke RWTH Aachen University.

Hartarto adalah kakak kelas Habibie di Institut Teknologi Bandung.

Abdurrahman Wahib (Gus Dur) mendehem, tiba-tiba sudah berada di antara mereka. Cengengesan.

“Saya dari tadi curi dengar saja. Maklumlah, saya hanya Burung Hud-Hud yang dikirimkan Maharaja Sulaiman ke Bumi Nusantara, melihat bagaimana tiga orang lelaki berbeda usia, berbeda kuasa, namun merasa sedang membangun Candi Borobudur hanya karena sama-sama kelahiran bulan Juni. Dari tadi saya sudah di depan mimbar sana, tertidur menunggu jamaah yang mau saya imami,” ujar Gus Dur, lempeng.

Soekarno terbahak. Habibie senyum dikulum. Soeharto menunjukan pesona dengan katupan bibir yang tak perlu usaha sudah rupawan itu.

“Harmoko! Azanlah!” teriak Gus Dur.

Harmoko terkejut tak terkira. Sejak tadi ia menunggu Gus Dur. Tak terlihat, sudah ada di dalam mesjid bersama sosok-sosok yang berkali-kali ia muat dalam headline sejumlah koran yang ia pimpin, sampai mereka selesai dengan tugas-tugas kepresidenan, seluruh nama itu dia tatih hati-hati dalam sarapan paginya di Pos Kota.

“Assalamu’alaikum! Izinkan saya berdoa dengan hio di teras mesjid indah ini,” terdengar seseorang berteriak.

Bermata sipit

“Wa’alaikum Salam. Oey Kian Kok, masuk saja ke sini. Beribadahlah di dalam mesjid ini. Kan kapal cadik zaman Majapahit. Mudah-mudahan dengan hio yang kau bakar itu, seluruh virus bernama Corona itu dari jenis apapun, tak ikutan masuk ke sini. Lagi pula, terima dulu permintaan maaf dariku, tak jadi menunjukmu sebagai Menteri Data Inteligensia dalam pergantian Kabinet Persatuan Nasional 1 Juni 2001, berhubung Indra J Piliang yang menjadi Asisten dari Asisten dari Tim Asisten Ekonomi yang kubentuk yang tak ada pimpinannya itu, menyebut kau pun lahir bulan Juni. Sesama Aries, kambing gunung yang jarang mandi, kok saling memusuhi? Sesama orang Kecamatan Tamansari pula, lagi,” sambut Gus Dur.

Soekarno tertawa terbahak-bahak. Habibie pun serupa. Soeharto lupa sama senyum manisnya. Harmoko celingukan, petunjuk presiden mana yang mesti diikuti.

Bukan malah menuju mihrab, Gus Dur malah ke tempat wudhu.

“Berhubung saya sudah batal wudhu dari tadi, saya pimpin dulu wudhu kembali. Sudah pasti semua batal wudhunya. Atau ada yang tak mengerti,” ujar Gus Dur.

“Siap! Jenderal! Betul!” kata Soekarno, Soeharto, dan Habibie.

Harmoko menulis dalam catatan kecilnya: “Menurut Petunjuk Jenderal Abdurrahman Wahid!”

Oey Kian Kok yang bernama Christianto Wibisono memeriksa pesan yang tak pernah dibalas Indra J Piliang. Tersenyum gagah.

“Bro, ternyata Gus Dur pun tahu, aku mengirimkan soal tembakan debt collector di Tamansari itu dalam kiriman pesan terakhirku. Bukan soal Tamansarinya. Aku khawatir saja, seorang Panglima Sang Gerilyawan Nusantara seperti kau, benar-benar kena tembak debt collector itu…”

“….Pesan diterima, Sifu…”

Begitu terbaca Christianto dalam liukan hionya. (**)

Jakarta, 25 Juli 2021

Penulis adalah Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara

Berita Terkait