Home » Rubrik » Opini » Mamua Menyatukan
pasang-iklan-atas

Mamua Menyatukan

Pembaca : 866
20221109_150516

Oleh : Sari Labuna

Manuk Mamua atau burung Maleo adalah burung endemik Sulawesi yang sebarannya hidup di daerah Sulawesi Tengah, Gorontalo maupun Sulawesi Utara.

Burung Maleo termasuk satwa langka yang keberadaannya hampir punah, oleh karena itu termasuk dalam deretan satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Maleo juga termasuk dalam daftar burung dengan kategori langka dan dilindungi secara internasional oleh lembaga konservasi dunia (Indonesia.go.id). Salah satu habitat Burung Maleo berada di Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Menariknya, Burung Maleo atau biasa disebut Manuk Mamua oleh masyarakat Banggai bersaudara merupakan simbol persaudaraan, karena keberadaannya di tanah Banggai tak lepas dari sejarah legendaris yang sangat dipegang teguh oleh lembaga adat bersama asyarakat adat Banggai.

Seperti yang diyakini oleh masyarakat adat Batui, bahwa telur pertama Manuk Mamua (Burung Maleo) harus diantar ke ke kota Banggai, ibukota Kabupaten Banggai Laut sebelum dikonsumsi oleh Masyarakat Batui. Hal ini merupakan pesan dari Abu Kasim putera Raja Banggai yang bernama Adi Soko sebagaimana dituturkan oleh Tanas Baharudin, Ketua Lembaga Adat Masyarat Batui kepada penulis beberapa waktu lalu sebagai berikut.

“Ketika itu Abu Kasim yang diberikan Manuk Mamua sebagai hadiah dari kakeknya di Batui untuk dibawah pulang ke Banggai supaya bisa digunakan oleh cucunya itu batadi (menyabung), namun karena tidak mendapat habitat yang cocok di Banggai untuk berkembang biak, maka Abu Kasim mengembalikan lagi burungnya itu kepada kakeknya di Batui, dalam perjalanan pengantaran Manuk Mamua ke Batui kala itu Abu Kasim mendapat gangguan oleh jin di Tanjung Pinalong (Pinalong dalam bahasa Banggai artinya dilempar), oleh karena itu Abu Kasim melempar (ba-palong) ke arah Tanjung Pinalong (letaknya di wilayah teritorial Kabupaten Banggai Kepulauan) sebanyak 3 kali lemparan agar perjalanannya tidak diganggu oleh jin. Sesampainya di Batui Abu Kasim berpesan pada kakeknya bahwa ketika burungnya itu bertelur, telur pertamanya harus dibawah ke Banggai terlebih dahulu sejumlah masyarakat yang ada di Batui, sebagai pesan agar Abu Kasim mengetahui jumlah saudaranya yang ada di Batui (Banggai Darat). Inilah pesan yang selalu dijaga oleh masyarakat adat Batui, sehingga belum memakan telur Burung Maleo sebelum diadakan ritual Pengantaran Telur Maleo ke Banggai. Ritual ini telah dilakukan berabad-abad yang lalu oleh masyarakat adat Batui yang sampai sekarang tetap dilakukan”.

Festival Tumpe, adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Banggai untuk melaksanakan amanah leluhur (Abu Kasim-red) berupa pengantaran telur burung Maleo ke pusat Kerajaan Banggai yang kemudian disambut dengan Festival Malabot Tumbe (Penyambutan Pertama) di Kabupaten Banggai Laut.

Bila melihat dua kegiatan seremonial yang berlangsung turun-temurun ini, dimana di Batui Banggai darat di lakukan “Tumpe” (pengantaran telur burung maleo) lalu sesampainta di Banggai Laut disambut dengan “Malabot Tumbe” (penjemputan telur Maleo), maka pertanyaannya kemudian, dimanakah peran Banggai Kepulauan.?

Disinilah menurut penulis, ada ruang ceremonial yang kosong yang luput diisi oleh Masyarakat adat banggai di wilayah Banggai Kepulauan, sehingga nampak benar bahwa Maleo merupakan fauna identitas pemersatu masyarakat adat Banggai yang ada di wilayah Banggai bersaudara. Karena itu menurut penulis perlu adanya Gerakan Pemersatu, sebagai penguatan Persaudaraan Banggai.

Dalam prosesi pengantaran Telur Manuk Mamua (Burung Maleo) ini dari Sungai Batui ke Banggai Laut (Keraton Banggai) hanya menggunakan kapal yang terlampau sederhana dan terbilang kecil dalam mengarungi lautan Banggai, karena itu sudah seharusnya sebagai saudara se-Banggai merasa berempati kepada saudara-saudara kita sendiri.

Hal inilah yang memantik semangat masyarakat Desa Tangkop agar menemani perjalanan dan mengawal prosesi pengantaran telur Burung Maleo sampai ke Keraton Banggai dengan aman.

Menurut penulis dua atau tiga kapal saja yang berlayar akan terasa panjang perjalanannya, namun jika 1000 kapal mengawal bersama mungkin akan terasa dekat menyebangkan perjalanan, karena itu guna mempertegas rasa persaudaraan kita semua perlu kita mengadakan “FESTIVAL MONTOLUTUSAN BANGGAI, yang berlokasi di desa Tangkop” dengan maksud menyambut dan mengawal bersama perahu yang mengantarkan telur Manuk Mamua ke Keraton Banggai.

Dalam prosesi adat akan berbeda, karena sebelum sampai di Tolo (Mansalean) dari Tanjung Pinalong, perahu rombongan masyarakat adat Batui akan dikawal oleh iring-iringan perahu-perahu masyarakat Desa Tangkop maupun desa lainnya di Banggai Kepulauan yang akan berpartisipasi.

Karena kita semua percaya bahwa kita semua satu, MONTOLUTUSAN BANGGAI meskipun berbeda wilayah administratif, namun semangat Persaudaraan harus tetap kita rawat, marilah kita sambut prosesi adat Manuk Mamua (Burung Maleo) sebagai momentum bersama guna mempererat silaturahmi Banggai Bersaudara, yakni Banggai, Balantak, Saluan. (**)

Penulis adalah Ketua Umum Komunitas Literasi Pemuda Peling Pegiat Alam (LIPU NGGITA)

Berita Terkait