(Koreksi atas tulisan Sutrisno Bandu; Dari Kearifan Lokal yang Berbudaya Hingga Pengelolaan Potensi Perikanan Daerah)
Oleh : Fatharany Berkah Abdul Barry
Sebenarnya saya lagi malas untuk menulis, apalagi menulis perihal tema-tema yang serius. Namun oleh beberapa orang kawan, saya diminta untuk menulis, ditanyai terus-menerus kapan ada ulasan dari saya tentang kearifan lokal yang berbudaya.
Ketika utus Hamadin dan Langgong Hasdin menulis tentang kearifan lokal yang berbudaya, saya masih belum tertarik untuk menulis. Alasannya klise, rasa malas sedang menyelemuti suasana hati dan pikiran saya. Sebab dalam tradisi saya, kapan melakukan aktivitas menulis, bukan hanya ditentukan oleh adanya momentum (peristiwa) dengan topik yang menarik, tetapi juga tergantung pada mood.
Begitu pekan lalu, ada tulisan tentang kearifan lokal yang berbudaya dari utus Sutrisno Bandu, kembali saya digoda oleh kawan-kawan untuk menulis terkait tajuk itu, tapi minat saya masih belum juga pulih. Nanti hari ini, Ahad (1/8/2021), tetiba saya seolah dibuat terprovokasi untuk masuk dalam perang narasi tentang kearifan lokal yang berbudaya setelah membaca beberapa komentar di media sosial facebook yang muncul sebagai reaksi atas tulisan Hasdin Mondika, serta legitimasi atas jawaban dari utus Sutrisno Bandu.
Akhirnya sayapun mulai meluangkan waktu untuk menulis, dengan harapan semoga tidak terlalu panjang, karena sulit bagi saya untuk menulis sesuatu topik yang serius dengan narasi yang singkat.
Tema Kearifan lokal yang berbudaya, dengan lokus Banggai Laut (Balut) sudah menjadi objek diskusi yang menarik sejak pertama kali ‘dijual’ oleh Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Balut Sofyan Kaepa dan Ablit Ilyas (Basoka Solit) pada tahapan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah ( Pilkada) Balut medio September- Desember 2020 silam. Dianggap menarik karena dinilai merupakan tema diskusi yang berisi (berkualitas-red), ketika diangkat menjadi judul dari visi besar Paslon Basoka Solit yang menjadi pemenang Pilkada. Karenanya, menarik bagi sejumlah kalangan untuk ditakar, seberapa dalamkah, pikiran dari visi kearifan lokal yang berbudaya itu.? Apakah jualan kearifan lokal yang berbudaya itu benar-benar memiliki ruh atau hanya sekedar jazad, dipahami esensinya (konteks) atau sekedar eksistensinya (teks),? atau jangan-jangan hanya sekedar “jualan bualan”? Inilah yang hendak ditakar.
Bagi penulis, perang konsep, saling menakar dan menginterogasi pikiran, itu biasa dalam tradisi intelektual, sepanjang metodenya dilakukan dengan kaidah-kaidah yang benar dan sepadan. Setidaknya, ada dua alasan mengapa, konsep kearifan lokal yang berbudaya ala Basoka Solit menarik para pemerhati dan akademisi untuk ditakar dan diinterogasi kualitasnya, yaitu :
Pertama, Status Bupati Sofyan Kaepa dalam stratifikasi sosial Masyarakat Adat Banggai, sebagai seorang ‘Tano Bukuno’ Putera salah seorang Basalo Sangkap (bangsawan) Banggai, tentu membawa harapan akan kembali berdaulatnya kearifan lokal Banggai, setelah mengalami ketidakberdayaan akibat lemahnya internalisasi nilai-nilai kearifan lokal pada generasi Banggai dan kuatnya arus globalisasi. Jadi ketika beliau (Sofyan-red) mengusung visi Kearifan Lokal Yang berbudaya, Maka tanggungjawab moralnya begitu besar (double) untuk diwujudkan, karena Kepala Daerah (regional leader) dan Bangsawan Lokal (local nobility) padu di dalam dirinya, meskipun dua sisi itu memiliki dimensi yang berbeda.
Kedua, Bupati Sofyan Kaepa, dikelilingi para konseptor hebat. Ring 1 Tim Basoka Solit konon diisi oleh sekumpulan anak muda progresif, para sarjana, aktivis dan pemikir handal yang memiliki reputasi besar, bahkan ditokohkan dengan rekam jejak yang “bukan kaleng-kaleng”(meminjam istilah anak Banggai). Karena itu, konsepsi kearifan lokal yang berbudaya ala Basoka Solit itu, diharapkan benar-benar bernyawa. Sebab diramu dari berbagai pikiran yang berkualitas dengan variabel dan indikator yang jelas, sehingga tidak bias dan mudah diaktualisasikan.
Karena “Kearifan Lokal Yang Berbudaya” merupakan konsepsi, buah dari pikiran para kaum intelek, maka mendebatnya tentu harus dengan cara yang intelek. Sebagai visi pembangunan daerah Banggai Laut, kearifan lokal yang berbudaya, tentu bukan pikiran jalanan yang tanpa basis histori dan teori, sudah seharusnya kaya narasi dan argumentasi. Sebab itu, mengapa percakapan tentang kearifan lokal yang berbudaya digiring pada area diskusi dan perdebatan-perdebatan ilmiah yang bersifat objektif, rasional dan luas.
Dari sini, penulis menangkap spirit dari percakapan kearifan lokal yang berbudaya melalui perdebatan akademik berbasis literasi, bukan sekedar celoteh “ngawur” di akun media sosial facebook. Maksudnya, agar tradisi “debat kusir” yang tak mendidik dan mencerahkan publik di kalangan para aktivis dan kelompok cendekia lainnya tentang tema besar ini dapat dirubah menjadi lebih berbobot. Spirit itulah yang penulis tangkap dari munculnya tiga tulisan dengan tajuk serupa dari utus Hamadin Moh.Nurung, Hasdin Mondika dan Sutrisno Bandu.
Dalam tulisan ini, penulis tidak akan menyorot tulisan dari dua penulis sebelumnya, yaitu utus Hamadin dan Hasdin. Karena menurut pengamatan penulis, catatan dari Hamadin, hanyalah merupakan pemantik penggiring percakapan kearifan lokal yang berbudaya ke ranah perdebatan literasi dan narasi. Berbeda dengan tulisan Hasdin Mondika yang sedikit lebih detil dan komprehensif, serta memiliki kecenderungan membantu menunjukkan arah dan langkah, kemana dan bagaimana cara mencari serta menemukan ciri-ciri dari kearifan lokal yang berbudaya itu. Sementara tulisan utus Sutrisno Bandu yang menjadi objek sorotan catatan ini, dianggap sebagai representasi jawaban dari pemilik konsep kearifan lokal yang berbudaya, sebab posisi utus Sutrisno Bandu sebagai salah satu dari tim pemikir (konseptor) Bupati Sofyan Kaepa. Sehingga perspektifnya soal kearifan lokal yang berbudaya lebih menarik untuk diperiksa kadar kesehatannya.
A. Konsep Dasar
Hasdin Mondika dalam tulisannya tentang “Kearifan Lokal Yang Berbudaya,” sebenarnya sudah cukup memberikan gambaran tentang konsep dasar dari kearifan lokal, mulai dari definisi, bentuk dan ciri-cirinya, tetapi mungkin belum konkrit sehingga pada kesempatan ini perlu diulas kembali untuk dikonkretkan, karena dengan memahami konsep dasar (epistemologi) dari kearifan lokal dapat memudahkan kita untuk memahami esensi dari apa yang disebut kearifan lokal yang berbudaya itu. Untuk memahami esensi dari kearifan lokal setiap komunitas etnik dan bangsa, tentunya akan lebih efektif bila dilakukan dengan pendekatan kajian antropologi budaya dan sejarah setempat.
Istilah Kearifan Lokal (local genius) dalam konsep kebudayaan pertama muncul dan diperkenalkan oleh Seorang arkeolog, peneliti budaya Asia Tenggara berkebangsaan Inggris bernama, Horace Geoffrey Quaritch Wales pada tahun 1948. Lewat bukunya, Making of Greater India: a study in South East Asian culture change. Wales merumuskan kearifan lokal atau yang disebutnya Local Genius sebagai “the sum of the cultural characteristic which the vast majority of a people have in common as a result of their experiences in early life”.
Membaca definisi tersebut, kita akan melihat tiga pokok pikiran yang menjadi variabel kearifan lokal menurut Wales, yaitu: (1) karakter budaya, (2) kelompok pemilik budaya, serta (3) pengalaman hidup yang lahir dari karakter budaya. Atau dengan kata lain, local genius merupakan ciri kebudayaan yang dimiliki bersama suatu masyarakat sebagai akibat pengalamannya pada masa lalu. Indikatornya berupa nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, hukum adat dan aturan-aturan khusus yang pernah ada dan dipraktekan.
Di Nusantara, contohnya, ada banyak kearifan lokal yang tumbuh dan berlaku di daerah-daerah, seperti kearifan lokal Hutan Larang Adat di Riau, Awig-Awig di Lombok NTB dan Bali, Cingcowong di Jawa Barat, Panglima Laot di Aceh, Hukum Sasi di Maluku dll. Demikian juga kearifan lokal bangsa Banggai, misalnya, kearifan lokal, Totuukon Sangkap, Mian Tuu, Boki Sea, Malabot Tumbe dan Mabangun Tunggul. (Bersambung)
Penulis adalah Pemimpin Redaksi ALAIMBELONG.ID dan Pemerhati Budaya Banggai