( Koreksi atas tulisan Sutrisno Bandu; dari Kearifan Lokal yang Berbudaya hingga Pengelolaan Potensi Perikanan Daerah)
Oleh : Fatharany Berkah Abdul Barry
Ketiga, Bila utus Sutrisno Bandu mengambil sampel “Malabot Tumbe” (lihat paragraf 4), sebagai salah satu dari tradisi kearifan lokal Banggai yang akan digunakan menjadi rujukan dari pengembangan pengelolaan perikanan Banggai Laut, atau berusaha menunjukkan bahwa adanya benang merah yang bisa ditarik antara tradisi Malabot Tumbe dengan kebutuhan pengembangan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan kita, sehingga dapat mengembangkan kearifan lokal Malabot Tumbe itu sendiri. Maka hal ini jelas menunjukkan bagaimana ketidakpahaman utus Sutrisno Bandu terhadap esensi dari nilai-nilai kearifan lokal “Malabot Tumbe” itu sendiri.
Kenapa,? karena “Malabot Tumbe” merupakan kearifan lokal Banggai yang nilai-nilai kearifannya tidak berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Seperti Kearifan Lokal Panglima Laot di Aceh dan Awig-awig di Lombok NTB, yang merupakan dua jenis kearifan lokal masyarakat Nusantara yang nilai-nilainya berkaitan dengan upaya masyarakat Aceh dan Lombok untuk mengelola dan menjaga keseimbangan sumberdaya kelautan dan perikanannya.
Agar lebih jelasnya, untuk membuat perbandingan dengan kearifan lokal “Malabot Tumbe” yang utus Sutrisno Bandu jadikan sebagai rujukan kearifan lokal Banggai dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan Banggai Laut. Penulis coba menguraikan contoh dari bentuk nilai-nilai kearifan lokal Panglima Laot di Aceh dan Awig-awig di Lombok.
Panglima Laot adalah lembaga pemimpin (Jenderal-red) adat nelayan yang telah ada sejak zaman Kerajaan Samudera Pasai pada abad 14 Masehi. Panglima Laot membawahi 140 Panglima Lhok di seluruh Nanggroe Aceh Darussalam saat ini. Dimana Panglima Lhok merupakan jenderal nelayan yang terkecil dengan teritori Lhok (teluk atau kuala) yaitu tempat nelayan menyandarkan perahu-perahu mereka. Kewenangan Panglima Laot (abu laot, ayah laut), ada dua tugas pokok, yaitu :
1). Panglima Laot menentukan tata-tertib penangkapan ikan. Termasuk dalam hal ini adalah penentuan hari-hari tertentu dimana nelayan tidak boleh melaut, antara lain pada hari raya, hari Jumat, hari kemerdekaan Indonesia17 Agustus, juga pada hari-hari ketika ikan di lautan sedang memijah atau bertelur. 2). Panglima Laot wajib menyelesaikan sengketa dan perselisihan yang terjadi di kalangan nelayan. Sebisa mungkin, sengketa antar nelayan dibereskan diantara kaum nelayan sendiri, tanpa harus sampai ke pihak aparat penegak hukum formal.
Demikian pula dengan Awig-awig, kearifan lokal laut di Lombok, NTB, yang mengatur tentang pelarangan penggunaan bom dan potassium cyanide pada kawasan terumbu karang, serta pelarangan menebang hutan mangrove. Dimana kearifan lokal ini dimaksudkan agar di dalam upaya penangkapan ikan oleh nelayan tidak merusak ekosistem yang ada, dan menjaga fungsi hutan mangrove sebagai penahan abrasi air laut serta tempat daur hidup ikan-ikan, udang dan kepiting.
Sekarang mari kita bandingkan dengan kearifan lokal “Malabot Tumbe” apa nilai-nilai dari kearifan Malabot Tumbe yang selaras dengan pengelolaan kawasan pesisir dan perikanan kita,? adahkah.? Kalau kemudian ritual adat Malabot Tumbe disebut sebagai salah satu destinasi wisata bahari kita, mungkin iya, karena prosesnya melewati jalur laut dari Batui ke Banggai dengan iring-iringan perahu kapal, lalu kemudian disambut secara meriah di Banggai. Tapi tidak lebih dari itu.
Bila utus Sutrisno Bandu, hendak menunjukkan bahwa adanya benang merah yang bisa ditarik antara tradisi Malabot Tumbe sebagai bagian dari kearifan lokal dengan kebutuhan pengembangan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan Banggai Laut, sehingga kita dapat mengembangkan kearifan lokal Malabot Tumbe itu sendiri sebagai sesuatu yang lebih relete dengan kondisi daerah saat ini, tentu semakin rancu dan lucu.
Sebab, (1). Seperti yang sudah penulis sebutkan diatas, tradisi Malabot Tumbe tidak ada kaitannya dengan kearifan masyarakat adat Banggai di bidang pengelolaan perikanan, sebagaimana kearifan lokal Panglima Laot di Aceh dan Awig-awig di Lombok itu; (2). Objek ritual yang menjadi bahan baku (materi) dari tradisi Malabot Tumbe adalah telur Burung Maleo (Manuk Mamua). Artinya keberlangsungan tradisi Malabot Tumbe itu tergantung selama Burung Maleo (telurnya) itu masih ada (belum punah).
Pertanyaan kemudian, seberapa pedulikah kita sebagai masyarakat adat Banggai dan Pemerintah Daerah Banggai Laut terhadap ancaman kepunahan Burung Maleo di kawasan hutan Bangkiriang Batui, untuk tetap menjaga eksistensi dari tradisi Malabot Tumbe itu,? ataukah kita menganggap itu hanya menjadi tanggung jawab dari saudara-saudara kita masyarakat adat Banggai di Batui,? ini yang seharusnya ikut dipikirkan kalau kita ingin melestarikan tradisi Malabot Tumbe sebagai suatu kearifan lokal Banggai.
Lantas kalau begitu, apa sesungguhnya esensi dari nilai kearifan lokal Banggai yang ada pada tradisi Malabot Tumbe itu.? Esensinya adalah “Sikap Amanah” atas pesan leluhur Abu Kasim. Sikap amanah yang terkandung dalam prosesi Malabot Tumbe sangatlah sakral bila diimplementasikan dalam kehidupan sekarang ini, dan sikap amanah tersebut mempunyai arti bahwa kita tidak boleh mengambil hak yang bukan hak kita, serta pesan harus dipegang teguh dan dijalankan sesuai amanat pemberi pesan. Itulah yang dipegang teguh oleh saudara-saudara kita di Batui sejak abad ke-16 Masehi.
Demikian pula, setelah telur Burung Maleo itu sampai di istana Keraton Banggai dan diambil sebagai pemiliknya yaitu Keramat Boneaka, maka penjaga keramat juga melaksanakan amanah yang di berikan, yaitu untuk menjaga selama setahun dan Telur Maleo diganti sewaktu pelaksanaan Malabot Tumbe berikutnya dan seterusnya (Baca: Pristiwanto, 2015:53)
Selain sikap amanah, apalagi nilai kearifan lokal dari tradisi Malabot Tumbe,? yaitu “Pentingnya menjaga nilai Montolutusan Banggai.” Tradisi Malabot Tumbe merupakan simbolisasi dari hubungan persaudaraan (Montolutusan), bukan hanya antara keluarga adat Keraton Banggai di Banggai dengan di Batui, tetapi ia juga simbol dari tali pengikat persaudaraan antara Banggai darat dan Banggai Laut.
Jadi kalau mau mengambil kebijaksanaan dari tradisi Malabot Tumbe, maka ada dua nilai kearifan lokal yang dapat diambil, yakni : (1). Sikap amanah; (2). Montolutusan Banggai.
Sikap amanah, dari nilai kearifan lokal ini, jangan main-main, berat. Karena sudut pandang ini, tradisi menjaga amanah dari masyarakat Banggai adalah menjaga komitmen, sebab kebesaran seorang insan terletak pada sejauhmana ia memegang komitmen lisan dan tindakannya yang harus sejalan (Baca: Pristiwanto, 2015:53). Jadi tidak boleh kita bersikap budul-budul, silaka komian, apalagi mempraktekkan kelakuan Tampoyok Budul dalam keseharian, sudah tentu bertentangan dengan nilai-nilai kearifan yang amanah.
Montolutusan Banggai, nilai kearifan lokal ini idealnya memberikan pesan pada kita untuk saling menjaga hubungan baik serumpun Banggai, tidak bisa saling bertikai apalagi saling menegasi satu sama lain. Sehingga kurang elok kiranya bila seorang Kepala Daerah di antara salah satu Banggai yang ada ini, ada yang terjebak pada potensi-potensi konflik serumpun. Misalnya dengan mengatakan “Yang Banggai itu Balut bukan Luwuk.” Ini tentu menunjukkan ketidakbijaksanaan kita sebagai individu maupun sebagai pemimpin daerah dalam memaknai sejarah Banggai secara komprehensif, dan kegagalan kita dalam menyelami nilai Montolutusan Banggai yang terkandung dari tradisi kearifan lokal Malabot Tumbe yang kita ritualisasikan setiap tahun itu.
Keempat, utus Sutrisno memberikan ilustrasi, bahwa sebagai cita-cita kearifan lokal yang berbudaya merupakan tonggak yang sedang dicanangkan, ibarat membangun candi dimana stupanya adalah pengelolaan perikanan, pariwisata dan SDM, dan sekarang sedang mengumpulkan material bangunan untuk membangun candi itu dengan memanfaatkan SDA dan SDM Banggai Laut. Sebuah ilustrasi yang absurd, bila kita menarik hubungannya dengan konsep dasar dari platform Bupati Sofyan Kaepa, yaitu Kearifan Lokal. Apalagi rujukan kearifan lokalnya tadi adalah tradisi Malabot Tumbe. Mungkin kedepannya, disertai dengan gambar ya ilustrasinya, supaya lebih jelas.!
Bagaimana mungkin membangun pondasi dari candi tersebut, atau tepatnya bagaimana bisa membangun stupa-stupa dari candi yang hendak didirikan itu,? kalau dalam menentukan material bangunannya saja masih bingung bahkan bias. Masih kacau dalam membedakan mana yang disebut “Kearifan Lokal” dan mana Program Pemberdayaan Nelayan melalui 1000 Perahu Fiber.
C. Kesimpulan
Ketidakjelasan utus Sutrisno Bandu dalam menunjukkan bagian-bagian mana dari tulisan Hamadin Moh.Nurung atau Hasdin Mondika yang dinilai tidak objektif atau pada bagian mana, teori dan argumentasi, ciri dan sampel dari kearifan lokal yang dikemukakan Hasdin yang keliru,? atau rekomendasi mana yang disarankan oleh Hasdin Mondika yang tidak sesuai dengan kebutuhan dari proses aktualisasi platform kearifan lokal yang berbudaya itu,? serta kekacauan berpikir utus Sutrisno Bandu dalam meletakkan hubungan antara kearifan lokal Banggai sebagai akar filosofi (subjek) dan pengelolaan sumber daya kelautan (objek) dari platform kearifan lokal yang berbudaya. Diperparah lagi dengan tidak selarasnya ia (Sutrisno-red) dalam mengambil tradisi Malabot Tumbe sebagai sampel dari akar pemikiran platform kearifan lokal yang berbudaya melalui pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan Banggai Laut.
Menunjukkan bahwa betapa lemahnya dan bahkan kacaunya akar pemikiran dari konsepsi kearifan lokal yang berbudaya yang “mereka” sampaikan. Penulis menggunakan kata mereka disini, karena mengganggap apa yang ditulis utus Sutrisno Bandu setidaknya telah merepresentasikan pemikiran para pemikir (konseptor) Bupati Sofyan Kaepa, bahkan mungkin juga pemikiran Bupati Sofyan Kaepa sendiri tentang Kearifan Lokal yang Berbudaya itu.
Kegalalan dalam memahami konsep-konsep dasar dari kearifan lokal, memberi petunjuk bahwa visi Kearifan lokal yang berbudaya milik Bupati Sofyan Kaepa dalam membangun Banggai Laut, sesungguhnya tidak bernyawa. Seperti yang diduga oleh Hamadin Muh.Nurung bahwa platform itu tidak lebih hanyalah sekedar slogan kampanye untuk mengeksploitasi isu budaya kebanggaian sebagai komoditi politik. Atau dengan kata lain sekarang,“mereka sedang menjual Ayam tapi berdaging Kambing”
Inilah yang penulis sebut dengan istilah Banggai “MBUOMBUOL” alias mengigau atau dalam istilah medis disebut somniloquist. Menurut kamus merriam webster dictionary, somniloquist adalah orang yang berbicara dalam tidurnya tanpa disadari. Para ahli di National Sleep Foundation Amerika, mengungkapkan bahwa kata-kata yang diucapkan saat seseorang mengigau atau “Mbuombuol” sebenarnya tak memiliki arti, bisa berupa gumaman, monolog yang kompleks, atau rangkaian kalimat-kalimat yang tidak jelas. (**)
Penulis adalah Pemimpin Redaksi ALAIMBELONG.ID dan Pemerhati Budaya Banggai