Home » Rubrik » Opini » Menangkap Pesan Simbolik Komunikasi Politik Ganjar Pranowo
pasang-iklan-atas

Menangkap Pesan Simbolik Komunikasi Politik Ganjar Pranowo

Pembaca : 53
IMG_20210823_110742_710

Oleh : Dendy Susianto

 

Fase persaingan antar tokoh Calon Presiden (Capres) tahun 2024 nampaknya mulai masuk pada fase perang komunikasi simbolik. Fase dimana setiap calon membangun citra figur dirinya. Citra figur ini dibangun untuk menjawab mengapa masyarakat harus memilih atau mendukungnya.

Hingga saat ini ada tiga tokoh yang secara elektabilitas “pantas” untuk menjadi Capres 2024. Yaitu Prabowo Subianto, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo. Pada kesempatan ini, saya akan membahas tentang pesan simbolik dari komunikasi politik yang dilakukan oleh Ganjar Pranowo.

Bila kita cermati, dalam beberapa minggu terakhir ini, Ganjar selalu tampil di berbagai acara publik dengan memakai baju adat Jawa. Di lain kesempatan webinar, Ganjar juga tampil dengan screen foto Presiden Soekarno dan foto Kyai NU, KH.Maimun Zubair

Apa yang dilalukan Ganjar tersebut bukan tanpa maksud. Semua sudah dirancang sedemikian rupa sehingga menjadi pesan simbolik. Sebenarnya komunikasi simbolik apa yang sedang dibangun oleh Ganjar tersebut?.

Dengan memakai baju Jawa, Ganjar jelas ingin menegaskan identitas dirinya sebagai ‘wong jowo’. Sedangkan soal foto Soekarno, disini Ganjar ingin menegaskan identitas dirinya sebagai bagian dari kelompok nasionalis. Demikian halnya dengan foto KH.Maimun Zubair, disini Ganjar ingin memberikan pesan simbolik bahwa dirinya juga merupakan bagian dari kelompok Islam tradisionalis.

Pesan dari komunikasi simbolik ini sudah cukup jelas bahwa Ganjar ingin meraih dukungan penuh dari segmen pemilih Jawa, kelompok nasionalis dan Islam tradisionalis. Ganjar sedang membangun citra dirinya sebagai figur pemimpin yang menyatukan dua aliran politik, yaitu nasionalis dan Islam tradisionalis.

Ceruk yang disasar Ganjar ini sangat besar dan secara elektoral cukup untuk memenangkan Pilpres 2024. Dengan memainkan identitas suku Jawa, Ganjar jelas menyasar pemilih di Jawa Tengah, Jawa Timur dan sentimen kesukuan dari suku Jawa yang tersebar di berbagai provinsi.

Kelompok nasioalis adalah basis dukungan tradional dari PDIP. Dan kita tahu Ganjar adalah kader PDIP. Ceruk kelompok nasionalis ini sangat besar. Apalagi bila nantinya Ganjar sebagai pemain tunggal dari kalangan nasionalis. Namun demikian Ganjar tetap harus tetap meneguhkan identitas dan loyalitas sebagai anak ideologis Soekarno. Ini penting untuk merebut hati Megawati sebagai ketua PDIP dan sekaligus anak biologis Soekarno.

Ganjar nampaknya sadar bahwa untuk memenangkan Pilpres 2024 ia membutuhkan koalisi dari kelompok Islam tradisionalis. Dalam hal ini dukungan dari kalangan NU. Ceruk pemilih Islam tradisional juga sangat besar. Terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dengan memasang foto pendiri NU, KH.Maimun Zubair jelas sekali Ganjar sedang mengulik-ulik dukungan sentimen dari kelompok Islam tradisionalis.

Sampai disini nampak Ganjar mengambil paradigma yang menyatakan bahwa sesungguhnya “seorang pemimpin itu dipilih untuk mewakili siapa”. Seseorang akan dipilih sejauh ia dianggap sebagai bagian/representasi dari identitas golongan atau kelompoknya.Tidak terlalu penting menilai seseorang pemimpin dari kinerja atau kapabilitasnya. Singkatnya, komunikasi simbolik ala Gajar ini sesungguhnya mengarah pada politik identitas.

Bila Ganjar benar-benar menggunakan strategi politik identitas, maka isu yang akan dikembangkan dalam kampanye nanti adalah seputar nasioalisme, terorisme, radikalisme, intoleran, dan kesukuan. Isu ini selain berfungsi untuk menegaskan identitas “kami”, juga berfungsi untuk menegasikan “mereka”. Misalnya, kami NKRI mereka teroris.

Apakah komunikasi publik yang menggunakan simbol-simbol politik aliran ini masih efektif?. Yang pasti efek dari politik identitas ini sangat berbahaya bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebab efek politik identitas ini akan membuat masyarakat kita semakin terpolarisasi berdasarkan sentimen-sentimen aliran, ras dan agama. Disinilah dibutuhkan jiwa kenegarawan dari para politisi kita. (**)

Penulis adalah Pengamat dan Konsultan Politik LKPI-StarPoll Jakarta

Print Friendly, PDF & Email
Berita Terkait