Home » Rubrik » Opini » Menata Dari Pinggiran Republik
pasang-iklan-atas

Menata Dari Pinggiran Republik

Pembaca : 3
CartoonMe_1632959086421

Oleh : Hasdin Mondika

Nusantara adalah istilah  yang sering digunakan untuk menggambarkan Kepulauan Indonesia yang membentang dari ujung Sumatera hingga Papua. Istilah ini pertama kali tercatat dalam literatur Jawa Pertengahan abad ke 12 sampai 16 untuk menggambarkan suatu negara yang mengadopsi konsep dari Kerajaan Majapahit. Secara morfologi, istilah Nusantara diambil dari Bahasa Jawa Kuno. Nusa berarti Pulau dan Antara berarti lain atau biasa diartikan juga sebagai seberang.

Dalam perjalanan sejarah, bahasa nusantara adalah bahasa kesetaraan. Bahasa pergaulan elegan yang dapat menyatukan warna-warni masyarakat dari beragam suku, agama, adat-istiadat serta idiologi menyatu dalam satu ikatan yang didahului dengan kesatuan bahasa yaitu Bahasa Melayu dalam satu ikatan yang sering dikenal dengan sebutan Lingua Pranca. Kebersamaan dalam Lingua Pranca inilah yang akhirnya menjadi cikal bakal lahirnya Budi Utomo pada tahun 1908 dan berlanjut pada 20 tahun kemudian dengan dicetuskannya Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Satu Bahasa, yaitu Bahasa Indonesia. Satu Tumpah Darah yaitu Tanah Air Indonesia. Satu Bangsa, yaitu Bangsa Indonesia.

Bangsa-bangsa terjajah yang terikat dalam nuansa nusantara akhirnya menemukan satu panggilan Bersama untuk bisa keluar dari penindasan kolonial, bahkan lebih ironis lagi bahwa kita di masa lalu bukan di jajah oleh sebuah bangsa, (Bangsa Belanda) tapi hanya Sekelompok Sarikat Dagang yang diberi nama Vereenigde Oast-Indische Compagnie atau yang lebih dikenal dengan nama VOC. Berangkat dari kesadaran tersebut, maka bangsa-bangsa yang ada di Nusantara saat itu seperti Jawa,Sunda, Banten, Batak, Minang, Riau, Aceh, Ternate, Ambon, Bugis, Banggai, Buton dan seterusnya sepakat membentuk dan Bersama dalam rumah besar yang hari ini kita kenal dengan nama Indonesia. Jadi sejatinya Indonesia bukanlah satu Bangsa, tapi kumpulan dari Bangsa-bangsa beradab dan berdaulat di masa lalu. Ada banggsa-bangsa yang telah ratusan tahun merasakan pahit getirnya penjajahan seperti Bangsa Jawa dan Maluku, tapi adapula bangsa-bangsa yang tidak pernah terjajah oleh VOC seprti Bangsa Aceh dan Bangsa Banggai yang terus melakukan perlawanan terhadap sarikat dagang tersebut hingga sampai Korte Verklaring ditandatangani (baca ; perjanjian kerjasama ekonomi dan pemeritahan selama 30 tahun). Bahkan sampai pendudukan Jepang pada tahun 1943. Karena itu, sejarah harus terus dicatat agar tidak terjadi pengingkaran dan penyimpangan dari fakta yang sesugguhnya.

Bahasa Nusantara inilah yang menjadi magnet pengikat untuk bangsa -bangsa di Nusantara. Bangsa-bangsa tersebut terpukau dengan ketulusan dan kebersahaajaan para the founding fathers saat mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Seluruh pemimpin dari antar Pulau yang beragam suku, bangsa, adat istidat dan bahkan agama semuanya menyatu dalam satu kata dan ikut teriak merdeka. Sepakat dalam mempertahankan kemerdekaan hingga titik darah penghabisan, seperti yang tercatat dalam perlawanan melawan agresi Belanda pada tahun 1947, 1948. Itulah magnet bahasa Nusantara yang sempat berjalan beberapa dekade. Disana ada bahasa ketulusan, kebersahajaan, kesetian, pegorbanan dan pengabdian yang membuat bangsa-bangsa beradab di nusantara merasa nyaman dan penuh harap lalu menyatu dalam rumah besar yang di beri nama Indonesia pada tahun 1945 tersebut.

Kini setelah beberapa dekade berjalan, bahasa ketulusan, kesederhanaan dan kesetiakawanan antar sesama anak bangsa terasa mulai terkikis. Padahal kita sadar betul bahwa kita baru sampai di depan pintu gerbang kemerdekaan. Kita belum benar-benar merdeka. Kemerdekaan, ekonomi, social dan budaya belum benar-benar dirasakan. Di balik semua itu, pondasi kuat berbangsa mulai goyah karena dibalut beragam kepentingan dan keserakahan. Pondasi kuat Pancasila dan UUD 45 mulai dimanfaatkan dan menjadi tafsir tunggal kebenaran oleh siapa sang pemegang kendali. Bhineka Tunggal Ika telah menjadi hambar terasa karena keadilan telah menjadi barang yang teramat mahal dan langkah di rebuplik ini.

Bangsa ini kelihatan gagah dengan munculnya tafsir tunggal kebenaran. Hampir tidak ada lagi ruang-ruang dialog, kompromi apalagi untuk tawar-menawar. Kebenaran telah menjadi klaim tunggal sang penguasa, sehingga yang tersisah hanyalah monolog, ruang dialog telah usai. Inilah saatnya kita mengucapkan “Istrahatlah kata-kata”. Tangisan dan rintihan rakyat tiggal menjadi totonan tanpa ekpresi di meja makan seperti layaknya menonton serial drama sinetron di layar kaca.

Parade kedunguan berjalan dengan begitu gamblang dan berseliweran di depan mata. Masker, PCR, Antigen, Vaksin, Aplikasi Kesehatan, Bisnis  Vaksin, Bisnis PCR, BUMN Bangkrut, Penangkapan, Penculikan, Stress, Angka Bunuh Diri dan Angka Perceraian yang tinggi akibat beratnya himpitan hidup dan seterusnya berjalan dari tahun ke tahun dan entah sampai kapan akan diakhiri. Polemik antar anak bangsa dan pelemahan Partai-Partai terus saja terjadi. Di balik semua keruwetan ini jika ditarik akar permasalahannya maka dapat disimpulkan dalam tiga hal yaitu : semakin tidak terkontrolnya keserakahan dari sang pegendali, Langkahnya Keadilan dan hilangnya visi Kebangsaan.

Karena itu dalam hari-hari terakahir ini, mulai adanya upaya dari para aktivis, tokoh masyarakat, cerdik pandai mulai menyampaikan solusi kepada pemerintah atas segala keruwetan yang terjadi. Walaupun itu mungkin kecil kemungkinan untuk didengarkan oleh sang penguasa karena begitu kuatnya kekuasaan kartel mencengkram bumi pertiwi. Tapi apapun itu, bahasa kebenaran dan solusi harus tetap disampaikan.

Satu hal yang urgen dan tak kalah vital adalah saatnya untuk dihidupkan kembali visi kebangsaan. Visi kebangsaan seperti yang pernah di cita-citakan dan di deklarasikan pada tahun 1945 saat ini telah dibajak dan semakin jauh dari harapan. Visi kebangsaan yang seharusnya diemban dan tersimpan rapi dalam jantung partai-partai seperti yang kita baca dan cermati pada masa-masa lalu seperti Partai Masyumi, PNI, Golongan Karya, PPP dan PDIP hari ini telah tercerabut dengan begitu kuatnya nuansa Owner dan transaksional ditubuh partai-partai tersebut. Apalagi jika berharap dari partai-partai baru yang  tidak mampu menjabarkan visi kebangsaanya.

Kini dibalik Lelah dan keresahan berharap, ada sebuah angin segar ditawarkan oleh seorang anak  bangsa brilliant yang sedang dikriminalisasi oleh penguasa saat itu. Melalui teman-teman setianya fajar harapan itu mulai digaungkan. Bahwa harapan untuk menjadi bangsa beradab yang menghargai perbedaan, kualitas dan terbukanya ruang-ruang dialog, keadilan, kesejahteraan dan peghargaan atas sesama mulai terbuka lebar. Dialah Anas Urbaningrum dan Gede Pasek Suardika beserta seluruh kawan-kawan setia dibelakangnya yang akan menjelaskan dan memaklumkan kepada republik persada, bahwa yang namanya kebenaran tidak dapat dibungkam. Karena ada saatnya kebenaran itu akan menemukan jalannya sendiri.

Kini lewat Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) yang di Ketuai oleh I Gede Pasek Suardika dan digerakkan oleh sebagian besar teman-teman aktivis HMI senusantara, Partai tidak saja menjabarkan tentang kebenaran, Kriminalisasi dan ketidakadilan yang dialami oleh teman-teman aktivis nan bersahaja. Tapi lebih dari itu bahwa Partai ini menawarkan sebuah Visi kebangsaan yang dirumuskan oleh Ketua Umum dan dibantu oleh cerdik pandai lainnya yang mengerti betul perjalanan republik ini sejak di prokalamasikan pada tahun 1945. Visi kebangsaan ini yang menjadi oase masyarakat Indonesia yang saat ini menjadi kering kerontang dan semakin gagal paham tentang kemana arah bangsa ini dan untuk apa kita berbangsa. Jika keruwetan republik ini telah menjadi labirin, kita tidak tahu dari mana untuk dibenahi, dengan visi besar “Sang Berlian” walau dirinya masih terkurung dalam dinginya jeruji  besi oleh sempurnanya sebuah kriminalisasi bahwa mulai menata republik ini dari pinggiran. Dari kesunyian desa, kecamatan, kabupaten dan seterusnya sampai pada hiruk pikuknya kota.

Karena dibalik nyanyian sunyi pinggiran, kehidupan di sana masih tersimpan kesejatian kebenaran yang dapat membalut kehidupan kota yang terkadang penuh kepalsuan apalagi di pusat republik dengan segala media mainstremnya. Semoga.

Tulisan ini khusus di persembahkan untuk memperingati satu tahun berdirinya media online ALAIMBELONG. Sebuh media yang digawangi oleh anak-anak muda brillian yang menyebar di tiga Kabupaten Banggai Bersaudara (Kabupaten Banggai, Kabupaten Banggai Kepulauan dan Kabupaten Banggai Laut) Sulawesi Tengah. Selamat Ulang Tahun. Semoga tetap Kritis dan Mencerahkan…Aamiin. (**)

Penulis adalah : Pimpinan Yayasan Noa Moloyos.

Berita Terkait