Home » Rubrik » Opini » Mewujudkan Kepemimpinan Teladan Dari Tingkat Desa
pasang-iklan-atas

Mewujudkan Kepemimpinan Teladan Dari Tingkat Desa

Pembaca : 42
20210714_125527

Oleh : Alifullah Ali

 

Bangsa ini tengah dilanda persoalan krisis keteladan pemimpin, sederet kasus kriminal seperti pejabat korupsi, penyalahgunaan narkoba, pelecehan seksual, dan pemalsuan ijazah yang menimpa para pemimpin atau pejabat kita menunjukan merosotnya moralitas para pemimpin kita.

Menurut data Kemendagri, hingga tahun 2014 terdapat 325 Kepala Daerah yang terjerat hukum, baik yang masih berstatus tersangka maupun yang sudah menjadi narapidana. Sementara menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebanyak 3.600 orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terjerat kasus korupsi.

Hal ini menunjukan bahwa moralitas dan kemiskinan keteladanan kepemimpinan, masih menjadi problem yang serius, dan jika tidak segera dibenahi, maka akan merugikan negara dan masyarakat. Oleh karena itu, keteladanan seorang pemimpin sangat penting untuk mewarisi nilai-nilai kebaikan kepada generasinya, yang bukan hanya membanggakan pikirannya, namun memiliki moralitas yang baik.

Para pendahulu Nusantara juga mengajarkan pentingnya keteladanan seorang pemimpin. Hal ini, tercermin pada semboyan yang dipopulerkan Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara “Ing ngarso sung tulodho, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani”. “Ing ngarso sung tulodho” yang bermakna bahwa pemimpin sebaiknya memberi keteladanan atau contoh terbaik buat rakyatnya.

Harus selalu diingat bahwa, rakyat melakukan sesuatu bukan karena disuruh atau mengikuti perintah pemimpin. Melainkan mencontoh dari apa yang dilihat pada perilaku pemimpinnya.

“Ing madyo mangun karso” dapat diartikan bahwa sebaik-baik pemimpin adalah yang selalu mendampingi masyarakat/rakyatnya kapanpun dan dimanapun. Rakyat dibebaskan berfikir dan berinisiatif dalam mengambil prakarsa sendiri yang akan dijalankan untuk kebaikannya.

Tugas pemimpin memastikan jalan yang mereka pilih adalah terbaik di antara yang baik untuk kehidupan rakyatnya sendiri. Sedangkan, “Tut wuri handayani” bisa diartikan sebagai dorongan buat masyarakat atau rakyatnya agar maju kedepan, tampil, dan berani mengambil keputusan. Apapun resikonya (asal tidak membahayakan), pemimpin berada dibelakang mereka untuk memberikan support.

Dalam perspektif Islam, seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban terhadap kepemimpinannya. Nabi Muhammad SAW berulang kali menegaskan bahwa beliau tidak akan melarang suatu perbuatan sebelum beliau sendiri yang pertama mematuhinya. Sebaliknya, beliau juga tidak akan menyuruh umatnya melakukan suatu kebajikan sebelum beliau sendiri melakukannya (Alwi Shihab,2010).

Selaku umatnya adalah kewajiban untuk mengikuti, mencontoh dan menteladani semua perilaku terpuji Nabi Muhammad SAW, yang lebih dikenal dengan akhlakul karimah. Ajaran tersebut menegaskan keutamaan teladan pemimpin dalam menjalankan kehidupan berbangsa, bernegara.

Dalam catatan sejarah perkembangan kepemimpinan (Luthans, 2006), secara historis terdapat 3 (tiga) pandangan mengenai pemimpin dan kepemimpinan, darimana ia berasal.
Pertama, Teori Genetik (genetic theory), yang menyebut bahwa pemimpin dan kepemimpinan ditentukan oleh faktor genetik (turunan).
Kedua, Teori Moral yang mencatat pentingnya karakter/kepribadian (traits theory). Ketiga, Teori Pengaruh Lingkungan (behavioral theory).

Dari ketiga teori asal-usul pemimpin dan kepemimpinan tersebut, dalam kebanyakan pandangan tradisional kita, orang seringkali hanya menjadikan faktor genetik sebagai lokus dari kriteria kepemimpinan terbaik. Sehingga aspek moral dan lingkungan pembentuknya dianggap seolah menjadi tidak penting. Pertanyaan kemudian, benarkah pemimpin dan kepemimpinan semata-mata ditentukan oleh faktor genetik,? tentu tidak sepenuhnya benar.

Faktor genetik mungkin sedikit berpengaruh, tetapi yang terpenting adalah bagaimana karakter kepemimpinan dapat hadir dalam sosok indvidu seorang pemimpin. Selain itu, kapasitas dan kapabilitas kepemimpinan seseorang juga ditentukan oleh besarnya pengalaman dan persentuhannya dengan lingkungan (Parmudji, 2010).

Oleh karena itu, harus dipahami bahwa setiap individu memiliki potensi kepemimpinan, yang apabila diasah dan dikembangkan, maka individu akan tampil sebagai sosok pemimpin yang mumpuni di bidangnya. Untuk memenuhi seorang pemimpin yang berkualitas perlu diperhatikan ada 3 komponen.

1). Karakter moral dan karakter kinerja harus seimbang;
2). Kompetensi yang artinya Berfikir kritis ,kreatif,komunikatif, kolaboratif
3). Literasi maksudnya keterbukaan wawasan, dulu kita ketahui BTH (Baca-Tulis-Hitung). Sekarang minimal 4 literasi yang perlu di persiapkan yaitu: Literasi Baca, Literasi Budaya, Literasi Teknologi, Titerasi Keuangan.

Keteladanan Kepemimpinan dimulai di Tingkat Desa

Kepala Desa merupakan Kepala Pemerintahan di tingkat desa diharapkan mampu menjalankan roda Pemerintahan Desa dengan baik dalam memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, sehingga apabila Kepala Desa menunjukkan kinerja yang bagus dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, maka akan berpengaruh juga pada kinerja pemerintahan pada tingkat Kabupaten, Provinsi hingga Pusat.

Hal tersebut hanya bisa terwujud jika Kepala Desa mimiliki karakter moral yang baik, memiliki kompetensi, dan memiliki literasi atau wawasan yang luas. Sebab menjadi Kepala Desa di era UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa, yang dibutuhkan adalah Kepala Desa yang bukan hanya dihormati karena kesaktiannya, juga bukan karena dia tuan tanah atau punya Keluarga Besar di dalam kampung tersebut, tetapi yang dibutuhkan adalah Kepala Desa yang memiliki karakter sebagaimana yang saya telah uraikan di atas.

Oleh karena itu, harapan memulai keteladanan kepemimpinan yang dimulai di tingkat desa sebenarnya dapat diwujudkan, karena:

Pertama, kehidupan berdesa itu masih menjunjung tinggi nilai-nilai luhur seperti kejujuran, merasa malu berbuat korupsi, peduli sesama, dan bergotongroyong yang semuanya adalah nilai kearifan lokal yang menjadi basis penghidupan sosial masyarakat yang masih terpelihara.

Kedua, seleksi kepemimpinan yang ada di tingkat desa tidak melalui jalur Partai Politik sehingga intervensi dan konflik kepentingan yang selama ini menyandera Kepala Daerah untuk tidak bebas menjalankan kebijakannya, mustahil itu terjadi di level Desa. Sehingga Kepala Desa benar-benar fokus bekerja semata-mata untuk kebaikan desanya. (**)

Timbong, 15 Juli 2021

Penulis Adalah Aktivis KaMIMo Banggai dan Ketua Bidang PTKP HMI Cabang Luwuk-Banggai

Berita Terkait