Home » Rubrik » Opini » Mitos Kutukan Itu Masih Manjur, Tidak Ada Petahana Dua Periode
pasang-iklan-atas

Mitos Kutukan Itu Masih Manjur, Tidak Ada Petahana Dua Periode

Pembaca : 11
IMG-20201218-WA0017

Oleh : HAMADIN MOH. NURUNG

Sehari sebelum voting day saya menulis sebuah opini yang dimuat dalam kolom rubrik media ini (baca: alaimbelong.id) dengan tajuk “Menakar Kutukan Bagi Petahana, Masih Manjurkah Mitos Satu Periode?” dengan momotret sisi lain dari peristiwa demokrasi lokal lima tahunan yakni Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ditiga Negeri Banggai bersaudara, di Kabupaten Banggai, Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep) dan Kabupaten Banggai Laut (Balut) dimana dua dari tiga negeri tersebut melaksanakan Pilkada tahun ini, dengan diikuti Calon Bupati petahana Erwin Yatim sebagai Calon Bupati Banggai dan Wenny Bukamo sebagai Calon Bupati Balut.

Dari Hasil Rapat Pleno perhitungan suara Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Banggai dan Banggai Laut kita dapat menarik kesimpulan bahwa ternyata Mitos Kutukan Satu Periode Bagi Petahana Masih Manjur dan Akurat. Dua calon petahana tumbang dengan selisih perolehan suara yang cukup signifikan dengan pemenang. Fakta ini sekali lagi mengkonfirmasi bahwa Mitos kutukan satu periode itu ternyata masih manjur.

Hal tersebut membawa imajinasi saya untuk lebih jauh mendalami pandangan saya sebelumnya, guna menjelaskan mengapa hal itu bisa terjadi, dengan pendekatan historis dimana nilai Budaya Kebanggaian menjadi fokus penulis. Logika historis dari ulasan ini akan diuji relevansinya secara rasional melalui argumentasi teori teori keabsahan untuk menilai realitas dari penyebab mengapa peristiwa itu terjadi.

Secara Historis, dalam sejarah peradaban Banggai, banyak pelajaran dari peristiwa yang menjelaskan perilaku bagaimana Raja-raja dan para Basalo dalam menjalankan kepemimpin dan berinteraksi dengan rakyatnya. Sehingga mereka begitu dikagumi, dihormati dan ditakuti. Bukan karena kesaktiannya dan status mereka sebagai seorang pejabat, tapi lebih pada masalah moral yang menjadi nilai dan prinsip orang Banggai dalam menjalankan kehidupan.

Dalam kepercayaan orang Banggai ada nilai yang jika itu dilanggar akan membawa malapetaka bagi mereka yang melanggar terlebih dia adalah pemimpin, karena nilai itu merupakan patron etika dan moral bangsa Banggai yang disebut dengan nilai TUUTU.

Tuutu adalah nilai yang merefleksikan integritas moral pemimpin dan rakyat. Ia merupakan norma susila yang dijiwai dan dipraktekan di masa lampau, mewujud dalam sistem hukum adat formal, tertulis maupun lisan. Dimana pelanggaranya dalam dua bentuk dengan konsekuensi yang berbeda, yaitu “Molokis-Lokis Tano” dengan sanksi hukum negara “Inosulu” (dibuang bimbang) dan “Bobuntus” dengan sanksi hukum alam “Balaon” (karma).

Catatan sejarah dan nilai moral kepemimpinan Banggai, memiliki relevansi rasional bila ditilik dengan argumentasi teori kekuasaan yang hari-hari akrab dan dipraktekan dalam kehidupan kebangsaan kita. Bahwa banyak peristiwa dan teori yang menjelaskan bagaimana kegagalan pemimpin sehingga memantik kemarahan rakyat. Pada tulisan saya sebelumnya, saya telah menjelaskan hal itu dari perspektif politik bahwa Kemarahan yang ditunjukkan melalui protes konstitusional di bilik suara terbukti mempencundangi para petahana.

Dalam teori kepemimpinan banyak dijelaskan, bahwa penyebab dari ketidakpercayaan rakyat tehadap pemimpinanya lebih disebabkan oleh gagalnya pemimpin menunjukan kinerjanya. Sehingga rakyat tidak percaya lagi dengan pemimpinya, krisis kepecayaan yang berkonsekuensi pada tidak terpilihnya para petahana di periode berikutnya dalam Pilkada.

Krisis kepercayaan tersebut menurut hemat saya diakibatkan pada pola kekuasaan yang cenderung membangun tembok oligarki dan plutokrasi, dimana sebagian elit atau kelompok kecil mengendalikan kekuasaan dan pemerintahan yang dikendalikan oleh orang-orang kaya.

Konspirasi keduanya menciptakan pemerintahan yang berwatak iblis, sebab selalu menebar teror dan menggoroti kebutuhan dan hak-hak rakyat. Peran dominatif kekuatan oligarki dan plutokrasi sebagai pengendali Kekuasaan semacam ini menempatkan rakyat pada posisi paling akhir dari segala macam aspek pelayanan yang menjadi tanggungjawabnya (kekuasaan-red).

Alhasil, hubungan pemimpin dan rakyatnya semakin berjarak, dan fenomena tersebut menggambarkan watak pemimpin yang tidak amanah. Inkonsistensi pemimpin dalam menjalankan amanah rakyat atau merealisasikan janji-janji politiknya kepada rakyat, menunjukan bahwa peran moral tidak lagi bernilai, karena yang bernilai hanyalah sahwat kuasa dan rupiah. Hal tersebutlah yang menyulut kemarahan rakyat yang ditunjukan melalui protes secara konstitusional dalam sidang daulat rakyat (Pilkada-red) dengan menjatuhkan vonis tidak memilihnya kembali.

Pendekatan sejarah dengan argumentasi rasional teoritik di atas, dapat kita lihat bahwa sebenarnya ada korelasi yang begitu kuat antara nilai-nilai kebanggaian dan realitas empiris yang menyatakan bahwa mitos kutukan satu periode adalah sebuah konsekwensi logis dilanggarnya nilai-nilai kebanggain yang “TUUTU” sebagai patron moral dan etika bagi setiap banggapi (manusia-red) Banggai yang beradab. Artinya, nilai moral Tuutu oleh setiap pemimpin negeri Banggai, baik dalam Moloki-Lokis Tano ataupun dalam bentuk Bobuntus akan menerima konsekuensinya, dan mungkin itulah yang terjadi kepada pemimpin lokal kita, termasuk pada petahana Herwin Yatim dan Wenny Bukamo.(**)

Penulis adalah Wakil Pemimpin Redaksi / Redaktur ALAIMBELONG.ID

Print Friendly, PDF & Email
Berita Terkait