Oleh : Hasdin Mondika
“Kegilaan adalah melakukan hal yang sama berulang-ulang dan mengharapkan hasil yang berbeda” (Albert Einstein)
Hari ini, pada tanggal 10 Agustus 2021 adalah bertepatan pula dengan tahun baru hijriyah 1 Muharam 1443 H. Yang mana pemerintah masih memperpanjang pelaksanaan pembatasan kegiatan masyarakat dari level 2 sampai level 4.
Peraturan PPKM yang berjalan sudah hampir dua bulan lamanya di mulai tanggal 03 sampai 20 Juli untuk wilayah Jawa dan Bali, lalu di ikuti di beberapa kabupaten/kota lainnya yang juga menerapkan PPKM darurat, mulai turun peringkatnya ke PPKM level 4 dan seterusnya yang sampai hari ini masih diperpanjang sampai tanggal 16 Agustus 2021. Karena konon katanya walaupun di Jawa-Bali telah mengalami penurunan dari sisi tingkat kematian, banyaknya pasien Covid yang sembuh sehingga ketersediaan tabung gas dan kamar pasien di RS berbagai tempat di Pulau Jawa dan Bali makin terpenuhi. Namun karena di luar Jawa dan Bali, seperti Kaltim, Sumut, Sumsel, Lampung dan Riau trend peningkatan Covid 19 makin meningkat apalagi dengan adanya varian baru yaitu varian delta, maka dengan alasan itulah pemerintah sampai hari ini masih terus memperpanjang PPKM yang entah sampai kapan akan diakhiri.
Banyak opini dan spekulasi berkembang seputar penanganan Covid 19 yang sudah sering berganti nama dan membingungkan masyarakat, mulai PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) sampai hari ini PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) yang juga di pelesetkan dengan ‘Pelan- Pelan Kita Mati.’ Ada yang mengatakan bahwa tujuan pelaksanaan PPKM ini yang terus di perpanjang walaupun dianggap kurang efektif, yaitu untuk mempercepat gerakan vaksinasi, karena dengan adanya keharusan untuk membawa sertifikat vaksin, jika masuk ke kantor-kantor, mall, pasar, naik kendaraan dan sebagainya, maka masyarakat tidak berdaya dan terpaksa harus vaksin untuk dapat berbergian atau beraktivitas. Ada juga yang beranggapan ini adalah bisnis berantai yang sangat empuk dengan keuntungan yang menggiurkan, sampai adanya sepekulasi yang berkembang bahwa Covid 19 akan di perpanjang sampai tahun 2024, karena dikaitkan dengan politik, yang mana tentang Pemilu yang akan dikembalikan ke DPR demi untuk menghindari kerumunan saat pencoblosan di Pileg, Pilpres dan Pilkada.
Terlepas dari itu semua, pada dasarnya pemerintah sudah berusaha keras untuk melindungi warganya dari serangan Covid 19, walaupun dibayang-bayangi dengan kontraversi serta adanya kejanggalan- kejanggalan yang terjadi di lapangan, yang terkadang menyesakkan dada karena kakunya penyelenggara lapangan akibat tidak dipahaminya aturan yang akan diberlakukan dengan kondisi yang dihadapi dilapangan. Dan dalam hal ini, masyarakat kebanyakan-lah yang sering jadi korban dari pelaksanaan kebijakan yang kaku dari oknum-oknum yang tidak paham atau lebih tepat kita sebut Longas dalam terminologi Banggai.
Parade Longas
Tulisan ini sebenarnya adalah uraian atau essay singkat dari judul buku yang sedang saya persiapkan, semoga bisa diluncurkan tahun depan. Buku yang sedang saya persiapkan tersebut berjudul “Isu Corona dan Takluknya Negara Bangsa.” Memang saya sadar betul, jika meneliti, menulis ataupun berargumen tentang Corona adalah bukan kapasitas saya dan sudah pasti tulisan, penelitian atau argumen saya yang menyangkut tentang hal kesehatan, jenis-jenis penyakit apalagi virus akan sangat mudah dipatahkan, karena saya bukan dokter atau memiliki disiplin ilmu yang terkait dengan hal tersebut, namun jika dipahami bahwa yang namanya penyakit, virus dan sebagainya jika hal itu dikaitkan dengan tubuh dan pengalaman hidup manusia, tentang penyakit dan cara hidup sehat, maka dari pintu itulah argumen, penelitian dan pengamatan saya bisa masuk.
Melangkah lebih jauh tentang tulisan ini, sebenarnya tidak membahas ada tidaknya Corona, yang pasti sudah banyak orang mati karena Corona, begitu kata dokter di Rumah sakit-rumah sakit yang ada.
Kekuatan penyebaran Isu, Konspirasi, Perdangan yang empuk, Akuisisi tambang-tambang dan perusahaan bangkrut, negara-negara bangkrut, sampai pada pembodohan masyarakat termasuk generasi muda dalam hal ini anak didik, dan seterusnya yang mungkin lebih pas dibahas dalam penulisan buku yang sedang saya persiapkan.
Tulisan singkat dalam opini ini adalah menjabarkan begitu hebatnya kekuatan sebuah isu dan berbagai kejanggalan-kejanggalan yang ada seputar penanganan protokol kesehatan dan pencegahan Corona yang terkadang menabrak logika akal sehat dan seakan kita semua menjadi ikut-ikutan Longas.
Sejak Corona mulai masuk di Indonesia yaitu pada awal Maret tahun 2020 di Depok, disitu terkesan sangat dramatis. Yang mana kedua orang terkompirmasi kena Corana tersebut, berteriak dan bersahut-sahutan satu sama lain. Seakan orang yang kena Covid 19 tersebut sedang mengalami musibah yang besar dan sedang mengandung aib.
Ingat, target pertama dari isu Corona sudah berhasil bahwa Corona adalah penyakit yang berbahaya, menular dan Aib, dan ditambah dengan video-video dari Wuhan dan Italia tentang cepatnya penyebaran virus Corona dan tingginya angka kematian, sehingga Corona menjadi sesuatu yang menakutkan. Jadi lengkap sudah bahwa Corona adalah Pandemi yang cepat menyebar, Aib dan juga menakutkan. Setelah target ini tercapai maka video-video dari Wuhan dan Italia pun ditarik dari peredaran.
Nah setelah Corona ini dipercaya sebagai Pandemi yang cepat menular, aib dan menakutkan, maka disinilah mulai terjadi kejanggalan-kejanggalan dan tindakan-tindakan Longas yang kadang membuat kita geli.
Tindakan dan argumentasi Longas seperti OTG (Orang Tanpa Gejala), Vaksin. Setelah vaksin tapi masih bisa terpapar dan harus pakai masker. Bukti vaksin menjadi syarat untuk berpergian dan beraktivitas, dan yang paling lucu dan Longas adalah ketika orang harus pakai masker ketika sedang berbicara, sendirian di dalam mobil, dalam kamar, dalam ruangan dan seterusnya. Padahal jika kita percaya bahwa virus Corona adalah sesuatu yang cepat menular bukan hanya dalam hitungan menit tapi detik, maka saat orang-orang tersebut membuka masker saat makan, minum, merokok, mandi dan seterusnya disitulah virus bisa masuk dalam hitungan detik.
Lalu jika virus bisa masuk dalam hitungan detik, lalu apa gunanya masker.? Apakah virus hanya masuk dalam lubang hidung dan mulut.? Lubang telinga, lubang mata tidak.?
Terlalu banyak kejanggalan dan kelucuan setelah hampir dua tahun ini, kita hidup berdampingan dengan Corona, dan sejak Corona dinyatakan ada sejak bulan Maret 2020, saya sudah berusaha bergaul dengan Corona yaitu selalu berjabat tangan saat ketemu orang, tidak menjaga jarak, tidak memakai masker dan Alhamdulillah sudah dua kali kena Corona, yaitu pada bulan Desember 2020 pada saat berpergian di Jateng dan Surabaya serta pada bulan Juni tahun ini karena sering bolak-balik Bali lewat jalur darat.
Gejala-gejala Corona yang saya alami yaitu flu, batuk, filek dan sesak napas, serta hilang penciuman. Dari pengalaman yang ada, maka saya sampai pada kesimpulan yang mungkin bisa dibilang Longas, bahwa Corona yang ada di Indonesia bukanlah Virus yang terbang atau dibawa orang dari Wuhan atau Italia sana, tapi virusnya memang sudah ada ditempat kita sejak dulu. Corona ada, bukan tidak ada. itulah flu, batuk, filek, sesak napas yang di framing oleh WHO dan pemain-pemain cadangan yang disebar ke seluruh dunia, serta banyaknya pemain tambahan yang mengambil untung dari empuknya bisnis Alkes, sehingga Pemerintah Indonesia kelimpungan, dan parade kelongasan ini akan terus digelar entah sampai kapan berakhir. Karena saat ini yang bisa kita lakukan adalah memperjuangkan kewarasan kita masing-masing, agar kita masih percaya bahwa kita masih benar-benar hidup di negeri yang waras.
Mungkin tulisan ini tidak terlalu gamblang, tajam dan detail mengurai tentang kejanggalan-kejanggalan, kelongasan bahkan ketidak-warasan dalam menjalani dan menangani serangan Covid 19 ini. Memang ada baiknya dibahas dalam sebuah buku yang penjabarannya lebih luas dan komprehensif. (**)
Penulis adalah Pemimpin Yayasan Noa Moloyos.