Oleh : Hamadin Moh.Nurung
Jika tidak ada aral melintang Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) akan digelar tahun ini, meski di tengah bayang-bayang pandemi Covid 19 yang membuat kita letih menanti kapan berhenti, tapi pergantian pemimpin adalah kehendak demokrasi yang pasti. Menariknya, meski terjadi penundaan jadwal pelaksanaan Pilkades beberapa bulan kedepan, menyusul surat edaran yang diterbitkan Kementrian Dalam Negeri. Namun dinamika politik telah nampak di tengah masyarakat, bahkan perbincangannya mengalahkan pandemi Covid 19 yang sedang melanda negeri ini, isu-nya mengalahkan bising suara sirene ambulance saat mengantarkan pasien dan mayat tertular Covid 19.
Namun dari antusiasnya masyarakat menyambut Pilkades, ada sebuah fakta yang mengusik nalar kewarasan kita, yakni adanya realitas yang mengikis asa demokrasi, dan adanya kenyataan yang membuat kita miris menghela nafas. Sebuah kenyataan yang membuat dahi kita berkerut, karena etika dan moral secara terang benderang dikesampingkan dan dicampakan, yang membuatnya tak lagi bernilai dibanding rongsokan sampah.
Kenyataan itu adalah begitu mudahnya kita mendengar kata-kata berbau Money Politic (Politik Uang) itu diucapkan, oleh sebagian Calon Kepala Desa (Kades) dan sebagian masyarakat secara gamblang, tanpa merasa bersalah dan malu. Bahkan dijadikan ukuran kehebatan dan kemampuan para Calon Kepala Desa (Cakades).Padahal ‘money politic’ itu adalah tindakan terlarang, yang meberi peluang terjadinya korupsi pada saat Cakades tersebut terpilih menjadi Kepala Desa (Kades) dan itu menjadi sumber yang mencipta kesengsaraan bagi masyarakat.
Padahal kita suka ngamuk-ngamuk, protes bahkan mencaci-maki pemimpin yang tidak punya kepedulian, miskin prestasi dan korupsi, tapi padahal di saat yang sama justru kita ikut-ikutan memberi jalan dengan mengiyakan tanpa melakukan interupsi terhadap praktek-praktek money politic yang dilakukan oleh calon pemimpin (Cakades-red). Makanya tidak mengherankan jika pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang hanya punya kemampuan finansial (uang-red), tapi tidak punya kemampuan otak dan ketrampilan kepemimpinan yang mampu mewujudkan harapan masyarakat.
Ada banyak motif yang diungkapkan oleh para ahli mengapa mudahnya money politic itu dilakukan disetiap momentum politik, dari alasan rendahnya pendidikan, kecewa sampai soal ekonomi. Mereka yang kecewa bisa saja beralasan bahwa ini sebagai bentuk rasa frustasi karena pemimpin sebelumnya kehilangan keteladanan karena tidak punya integritas dan miskin prestasi, sehingga mereka begitu skeptis dan tidak lagi peduli dengan nilai etika dan moral, yang ada hanyalah nilai rupiah, apalagi dalam keadaan sulit semacama ini, di tengah gempuran pandemi Covid 19 yang tak kunjung pasti kapan berakhirnya, yang kemudian membuat mereka membutuhkan sandaran ekonomi agar tetap survive. Sehingga bagi Calon Kepala Desa dijadikan peluang, untuk melakukan politik uang, dan uang semacam vaksin untuk dapat meperkuat sitem imun masyarakat dari ancaman penderitaan. Namun terlepas dari segala alasan tersebut, politik uang adalah bentuk tindakan yang dilarang dan membahayakan demokrasi.
Tapi memang daya pikat tahta hampir setara dengan daya pikat harta dan kecantikan wanita, untuk memperolehnya terkadang dapat membutakan hati dan menghilangkan akal sehat, sehingga cara-cara yang bengis-pun bisa dilakukan, hal tesebut bisa kita dapati dari pemikiran Niccolò Machiavelli seorang teoritikus politik kekuasaan abad pertengahan (renaisance) asal Florence, Italia yang begitu masyur dengan magnum opusnya berjudul Il Principe (1513) yang merekomendasikan pengabaian moral dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan menghalalkan segala macam cara demi mencapai tujuan. Padahal sejatinya politik adalah sebuah upaya untuk mewujudkan kebaikan bersama atau yang dalam perspektif Plato disebut “en-dam onia” (kehidupan yang baik). Sehingga dalam proses memperjuangkanya perlu dilakukan dengan cara-cara yang beradab sehingga diraihpun dengan cara yang bermartabat.
Atau mungkin bisa jadi demokrasi kita sedang tertular virus kapitalisme yang telah bekerja rapi di dalam setiap nalar kita dan merusak saraf otak kita, sehingga politik uang adalah sesuatu yang dimaklumkan. Faktanya, daya rusak politik uang sudah sampai ke pelosok desa dan sudut sunyi dusun-dusun desa. Inilah yang saya khawatirkan, mengapa saya begitu ilfeel saat penguasa (status-quo), politisi dan pemilik modal ikut masuk dalam gelanggang politik Pilkades. Karena menurut hemat saya, bisa jadi mereka-lah pembawa virus yang menghambat bahkan merusak proses bertumbuhnya demokrasi di desa secara sehat.
Dari kenyataan tersebut, kita seolah kehilangan harapan lahirnya pemimpin terbaik di desa, sebab gagasan calon pemimpin tidak lagi menjadi utama, track record calon pemimpin tak lagi disoal, etika dan moralitas yang menjadi keistimewaan diri sebagai manusia telah dikesampingkan, sehingga tidak ada lagi rasa malu melakukan perbuatan terlarang itu.
Bukankah rasa malu itu adalah keistimewaan jiwa, ia adalah pesona kewibawaan, ia adalah perisai sebagai pelindung dari hasrat kuasa yang “membabi buta,” dan menjadi pembatas sekaligus pengingat agar kita selalu bersikap hati-hati dan bijaksana dalam melangkah ataupun mengambil tindakan. Disebut “pesona kewibawaan” sebab, rasa malu itu salah satu ‘barrier factor’ antara watak manusia dengan mahluk lainnya.
Lalu kemana hilangnya rasa malu itu.? Dalam tradisi orang tua kita dahulu, di kampung-kampung ada norma yang berlaku di kalangan masyarakat, jika ada yang berbuat kesalahan seperti mencuri. Orang tersebut harus diusir dari kampung (inosulu), karena dianggap membawa aib dikeluarga dan membuat malu kampung, lalu kemana norma itu?
Mengapa itu tidak dihidupkan pada saat momentum Pilkades, kenapa itu tidak dijiwai, mengapa kita tidak menolaknya atau mengapa kita menyetujui Calon Kades yang hanya mengukur pilihan kita dengan uang, sebegitu murahkah “harga diri” kita?
Bukankah kita sedang mencari pemimpin yang membawa negeri ini menjadi lebih baik,? bukankah pemimpin yang baik akan membawa kita menuju harapan yang lebih baik,? dan justru sebaliknya jika pemimpin yang buruk akan membawa kita pada malapetaka.
Oleh karena itu, jika kita punya keinginan bersama untuk menghilangkan praktek-praktek money politic serta mendidik masyarakat agar cerdas dalam menjatuhkan pilihannya, dan berharap pemimpin terbaik dapat lahir dari desa, maka momentum Pilkades, mestinya dijadikan medan pendidikan politik, sekolah yang baik untuk belajar demokrasi agar kewarasan politik dan demokrasi dapat bertumbuh dari desa. Sehingga kedepan, Pilkada, Pileg bahkan Pilpres kita dapat menemukan pemimpin yang berkualitas yang lahir dari pemilih yang berkualitas pula.
Dengan demikian, harapan akan lahirnya pemimpin terbaik dari desa dengan deretan prestasi yang membanggakan dan mampu memberi ketenangan dan kebahagian masyarakat desa dapat terwujud. Kepala Desa dengan pesona kepemimpinannya dapat membuat desa bersinar dan menerangi negeri ini, seperti harapan dalam petuah sang Proklamator kita Bung Hatta, “Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta. Tapi, Indonesia akan bercahaya karena lilin-lilin di desa.” (**)
Penulis adalah Wakil Pemimpin Redaksi/Redaktur ALAIMBELONG.ID