Oleh : Fatharany Berkah Abdul Barry
Sudah sejak beberapa hari yang lalu Piot (adinda-red) saya Doni Setiawan meminta saya untuk memberikan ulasan singkat soal TUALA. Salah satu dari dua jenis tutup kepala dalam tradisi masyarakat adat Banggai. Menurut Piot Doni ulasan tentang Tuala diperlukan untuk memberikan literasi kepada generasi Banggai dan masyarakat umum tentang salah satu dari bagian busana adat kaum pria Banggai, agar mereka memahami makna dan bangga mengenakan Tuala.
Penulis teringat disuatu masa, dulu sekitar tahun 2017 silam. Saat libur kuliah pertama kali penulis menyambangi rumah om Achmad Abuhadjim di Desa Timbong (pengrajian Tuala yang menjabat sebagai Pangkeari Batomundoan Banggai) untuk memintanya membuatkan Tuala untuk penulis gunakan sehari-hari. Beliu sempat bertanya untuk keperluan apa? Penulis menjawab untuk keperluan mensosialisasikan salah satu identitas Banggai, dipakai sehari-hari. Bahkan sekembalinya penulis ke Jakarta Tuala itu penulis bawa dan pakai dalam beberapa kesempatan di sana. Sebab sebagai Pribumi Banggai yang sedikit mengerti dan sadar tentang identitas Banggai, prihatin rasanya melihat generasi Banggai lebih bangga menggunakan Blankon Jawa atau Udeng Bali ketimbang menggunakan Tuala Banggai.
Tentu penulis dapat memakluminya, karena mungkin dua hal. Pertama, generasi Banggai kekurangan literasi tentang berbagai hal yang menyangkut identitas Budaya Banggai, salah satunya tentang busana adat. Kedua, pengsakralan simbolik dari tetua adat yang masih kaku, sehingga identitas budaya seperti Tuala tak populer dan membanggakan di kalangan generasi muda. Karenanya, untuk kepentingan sosialisasi identitas dan kebanggaan komunitas masyarakat adat Banggai, maka penulis berpandangan bahwa Tuala perlu dibumikan sebagai identitas etnik bagi mereka para pria khususnya yang berjiwa Banggai sejati.
Dari sinilah kemudian pemikiran itu dihidupkan, sehingga Tuala ditetapkan oleh para Piot-Piot di KaMIMo Banggai sebagai bagian dari Pakaian Dinas Harian (PDH) Organisasi, sebagaimana tercantum dalam AD/ART KaMIMo Banggai. Karenanya tidak mengherankan ada sebagian orang yang menyebutnya Tuala KaMIMo Banggai hanya karena kerapkali melihat dipakai sebagai bagian dari atribut organisasi.
Tuala merupakan salah satu dari dua jenis penutup kepala khas Banggai, selain KUKUP. Meski sama-sama penutup kepala pria. Tuala dan Kukup memiliki bentuk dan segmentasi penggunaan yang berbeda. Seperti layaknya dua jenis penutup kepala masyarakat adat Melayu yakni Peci/Songkok dan Tanjak.
TUALA adalah penutup atau ikat kepala lelaki dalam tradisi busana Banggai klasik. Umumnya, terbuat dari kain polos berwarna merah, putih, hitam atau bermotif hias (batik). Dahulunya kain tersebut dilipat dan dililitkan di kepala lalu diikat simpul. Namun sekarang dapat dijahit sehingga berbentuk mirip topi yang dapat dikenakan langsung. Tuala dapat digunakan oleh masyarakat umum, pembeda dan momentum penggunaannya hanya ada pada jenis warna Tuala. Warna Merah biasanya digunakan oleh para Talenga/Pangkeari (Kesatria) Banggai, terutama saat berperang sebagai simbol keberanian dan patriotisme. Warna Putih oleh para Tonggol/Basalo sebagai simbol ketulusan dan kebijaksanaan. Warna Hitam oleh para Talapu sebagai simbol kepakaran, dan Motif hias oleh masyarakat umum sebagai simbol keberagaman. Jadi Tuala sama seperti Peci/Songkok Hitam Melayu yang diadopsi oleh Bung Karno sebagai identitas nasional, penutup kepala yang bisa digunakan secara umum tanpa pengecualian oleh semua warga negara Indonesia.
Tuala telah menjadi bagian dari busana identitas masyarakat Banggai asli sejak tempo dulu. Misalnya, di kampung saya di Pedalaman Wilayah Pegunungan Peling Tengah, dahulu kala sebelum Islam masuk pada tahun 1956, masyarakat lokal di sana lelakinya sudah menggunakan penutup kepala TUALA. Sementara perempuannya Bakaikobot. Nanti setelah Islam masuk Tuala mereka secara seragam resmi menjadi putih dan perempuanya juga menggunakan Kokudu (kerudung) berwarna putih. Demikian juga di wilayah lain di Togong Gapi dan Tano Bolukan masyarakatnya sudah menggunakan Tuala.
Sedangkan KUKUP merupakan penutup kepala yang terbuat dari kain polos putih atau motif hias yang dijahit dan lebih rapi. Dipakai oleh Tomundo, Lipu Adino, Basalo Sangkap dan para bangsawan Banggai. Dahulu kukup digunakan saat acara resmi Adat/Batomundoan. Historical Kukup dalam etika adatnya, penggunaannya dibatasi sesuai legitimasi pada jabatan petinggi kerajaan yang memakainya. Kukup Putih (Moute) hanya bisa digunakan oleh dua orang saja yaitu Yang Mulia Tomundo (Raja) Banggai, dan Lipu Adino (Kepala Federasi). Sementara Bangsawan lainnya seperti Basalo Sangkap dan Komisi Sangkap menggunakan Kukup Motif Hias (batik), atau boleh menggunakan warna putih tetapi dalam bentuk Tuala bukan sebagai Kukup Moute.
Penegasan ini perlu kiranya penulis sampaikan untuk meralat kesalahan yang disengaja meskipun sudah tau atau kesahan yang tidak disengaja karena tidak faham. Sebab sudah menjadi kebiasaan selama ini, khusus penggunaan KUKUP MOUTE telah terjadi kesalahan yang ahistoris dan menyalahi etika berbusana adat Banggai.
Ke-khusus-an Kukup Moute yang hanya bisa di pakai oleh Tomundo Banggai + Kepala Federasi Lipu Adino, kini kehilangan sakralitasnya. Digunakan oleh sembarangan orang, tanpa ditertibkan oleh para petinggi adat yang mengerti. Lihat! mulai dari Bupati, Wabup, Sekda, para Kepala OPD, dan Kepala Desa pakai Kukup Moute. Hingga tamu yang berasal dari luar daerah Ketua Partai Politik dipakaikan Kukup Moute. Bahkan belakangan ada Ketua Umum organisasi mahasiswa paguyuban Banggai Laut yang dengan bangganya memakai Kukup Moute simbol Raja Banggai itu.
Pertanyaan kemudian, siapa yang salah dari penyalahgunaan KUKUP MOUTE itu,? Menurut Penulis yang salah adalah : 1). Para Pemuka Adat sebagai benteng penjaga adat yang gagal memberikan pemahaman kepada khalayak umum. 2). Pemerintah Daerah yang tidak hadir memberikan supporting terhadap pelestarian nilai-nilai adat Banggai secara utuh melalui kebijakan (regulasi), 3). Aktivis Pemerhati Budaya/Budayawan yang tak mampu memberikan pencerahan yang berkualitas. Tapi pangkal dari semua kesalahan penerapan budaya itu menurut penulis karena semua kita, seluruh komponen itu miskin literasi kebanggaian. Kita semua komponen itu hanya mampu mengerti teks dari adat, judul dan subjudul dari kearifan lokal, tetapi tidak mampu memahami makna filosofis dari semua teks, judul dan sub-sub judul kebudayaan Banggai tersebut. (**)
Penulis adalah Peneliti dan Pemerhati Budaya Banggai.