Oleh: Hasdin Mondika
“Sejarah adalah kakek tua yg terbelenggu oleh kepentingan-kepentingan”
Saat Indonesia ingin di Deklarasikan, banyak cita-cita dan harapan menggantung. Ribuan Pulau di Nusa Antara, ratusan Suku Bangsa, Agama, Adat Istiadat, Bahasa, Dialek dan lain-lain yang beragam bersama dalam satu tujuan yaitu membangun dan mencapai harapan baru dalam cita-cita Indonesia merdeka.
Negara kesejahteraan, kira-kira seperti harapan dan cita para Founding Father (Pendiri Bangsa) dalam membentuk sebuah negara yang baru, Karena itu semua bentuk perbedaan mulai dari suku, agama dan adat istiadat lebur dalam satu harapan bersama. Terbangulah kesepakatan dan konsesi-konsesi kesepakatan inipun tidak hanya termaktub dalam kesepakatan de facto tapi lebih dari itu, dibuat dan dipatenkan dalam dokumen suci negara yang saat ini kita kenal dengan nama UUD 1945.
Dalam UUD 45 harapan dan cita-cita di patenkan hak dan kewajiban serta kebebasan dan harapan warga negara dapat kita baca dengan gamblang, Pasti dan mengikat untuk semua. Kebebasan berkumpul secara lisan dan ucapan, kesetaraan, keadilan, kesejahteraan, perlindungan hukum dan semua tulisan dengan sangat rapi dan apik dalam UUD 45. Dan itu dijalankan secara konsekuen oleh para pendiri dan pemimpin bangsa pada fase awal kemerdekaan di tahun 1945.
Karena itu, bangsa-bangsa lain di Nusantara menyatu dan ikut-ikutan merdeka setelah bangsa Jawa menawarkan perlunya persatuan dengan idiom-idiom kejayaan masa lalu (baca Majapahit) yang digaungkan oleh Bung Karno dkk, maka bangsa-bangsa di luar Pulau Jawa pun seperti bangsa Banggai, Buton, Aceh, Riau dll ikut-ikutan melebur dan teriak merdeka mengikuti gegap gempita perjuangan di Pulau Jawa yang memang pada hakikatnya sudah ratusan tahun merasakan pahit getirnya dunia penjajahan.
Dalam konsep negara kesejahteraan, paling tidak ada 5 pilar kenegaraan yang menjadi pondasinya yaitu: 1. Demokrasi, 2. Penegakan Hukum, 3. Perlindungan Hak Asasi Manusia, 4. Keadilan Sosial (Keadilan Sosial), 5. Anti Diskriminasi (Anti Diskriminasi).
Penggagas konsep negara kesejahteraan (Welfare State), Prof.Mr. R. Kranenburg mengungkapkan bahwa negara harus aktif mengupayakan kesejahteraan, bertindak adil dan dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata, bukan untuk kesejahteraan golongan tertentu, tapi seluruh rakyat. Hal inilah yang dijalankan dengan konsisten oleh para pendiri bangsa pada awal-awal kemerdekaan. Demi kesejahteraan dan keberlangsungan Bangsa yang baru didirikan, para pemimpin bangsa tersebut bekerja dengan tulus dan menderita asalkan rakyat Indonesia bisa sejahtera nantinya.
Dalam sejarah, kita pernah melihat betapa pentingnya kehidupan para pemimpin bangsa terdahulu. Kita perna membaca seorang proklamator bung Hatta yang ingin membeli sebuah sepatu impiannya namun sampai akhir masa jabatan sebagai Wakil Presiden yang wilayah kekuasaannya membentang dari Papua sampai Sampai Timur-Timur dengan kekayaan alam yang melimpah, namun sepatu impian itu tak terbelih. H. Agus Salim Sitompul yang harus meminjam uang hanya utk membeli beberapa tusuk sate, juga M. Natsir yang harus kerepotan membayar tunggakan listrik dirumah kontrakannya.
Itulah sekelumit ketauladanan yang pernah digariskan dan dicontohkan oleh pemimpin Indonesia terdahulu. Pengelolaan negara yang dijalankan dengan transparansi dan transparansi yang kesemuanya itu bermuara pada satu tujuan agar rakyat Indonesia bisa sejahtera.
Sepeninggal para pemimpin dan pendiri bangsa tersebut, pengelolaan negara mulai tidak transparan. Para pemimpin mulai sibuk memperkaya diri dan rakyat mulai terabaikan. Rekayasa dan kebohongan bukan lagi menjadi barang dalam kehidupan keseharian. Dunia pendidikan, hukum, ekonomi sampai kehidupan sosial telah menjadi barang bancakan yang sarat dengan tipu-tipu dan kebohongan.
Pilar- pilar kebohongan telah menjadi tiang dan panyangga utama setelah pemimpin-pemimpin bersahaja itu pergi. Dalam dunia pendidikan, kita menyaksikan bagaimana bangku sekolah dan gelar akademik dijual pada pembayar tertinggi. Dalam dunia ekonomi, kita menyaksikan dan merasakan betapa segelintir orang dengan begitu mudah mengusai hajat hidup orang banyak. Dalam dunia hukum, kita menyaksikan bagaimana konstitusi diubah ditambah pasal-pasalnya dan berbilang undang-undang terus diproduksi, namun sekedar untuk dilanggar dan seterusnya.
Baru-baru ini, dunia hukum dan fakultas-fakultas hukum di seluruh Indonesia dibuat geger karena harus siap-siap menambah jumlah SKS mata kuliah hukum baru yaitu bagaimana melakukan penyidikan dan pemeriksaan pada orang yang sudah meninggal. Bagaimana caranya melakukan pemeriksaan terhadap mereka, bagaimana jika mereka membangkang, siapa yang akan menjemput mereka di alam kubur dan sebagainya. hanya demi menghindar dari pelanggaran hukum berat (Unlawful Killing), maka orang-orang yang sudah meninggalpun dijadikan tersangka. Sesuatu yang benar-benar menabrak logika akal sehat kita, namun faktanya itu terjadi.
Inilah seabrek rekayasa dan pilar-pilar kebohongan yang telah menyesakkan dada. Kita seolah bernafas dalam lumpur. Zaman kegelapan (Dark Ages). Sudah terlalu lama menyelemuti negeri. Sejak Peristiwa tragedi Banggai Berdarah 14 tahun yang silam ketika banyak mata dan perhatian orang hanya tertuju pada nuansa protes, demo dan bentroknya, sebenarnya para aktivis dan pejuang saat itu telah berpikir dan merancang tentang pentingnya sebuah nilai. Tentang sebuah negeri transparan yang bebas dari rekayasa dan pilar-pilar kebohongan. Para aktivis mulai berhenti mengutuk kegelapan dan mulai menyalakan lilin-lilin harapan. Hari ini, lilin harapan akan hadirnya sebuah negeri impian mulai menyalah dan semoga makin membesar kedepannya. (**)
Penulis adalah : Pemimpin Yayasan Noa Moloyos.