Home » Rubrik » Opini » Pilkada 9 Desember 2020: Memilih Calon Koruptor di Tengah Semangat Hari Anti Korupsi
pasang-iklan-atas

Pilkada 9 Desember 2020: Memilih Calon Koruptor di Tengah Semangat Hari Anti Korupsi

Pembaca : 11
DSC_0357

Oleh: FATHARANY BERKAH ABDUL BARRY

Tulisan ini dihadirkan sebagai respon terhadap pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang bertepatan dengan Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia), tanggal 9 Desember 2020. Sebuah momentum yang nyaris luput dalam ingatan penulis untuk dibuatkan catatan kritis, jika saja tidak diingatkan oleh seorang kawan, bahwa hari ini adalah hari anti korupsi internasional. “Wah keren nich, voting day Pilkada bertepatan dengan Hakordia,” sontak penulis tertuju pada peristiwa Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Bupati Banggai Laut Wenny Bukamo, sebagai rujukan reflektif untuk melihat relevansi antara transisi kepemimpinan daerah (Pilkada) dengan semangat pemberantasan korupsi (Harkodia).

Frasa “Memilih Calon Koruptor …” sebagai bagian dari tajuk tulisan ini, sengaja diambil penulis untuk menerangkan bahwa Pilkada bukan hanya sekedar kita memilih Bupati sebagai Kepala Daerah (penguasa-red), tetapi juga kita memilih calon icon koruptor daerah. Sehingga, membutuhkan kewarasan setiap individu warga masyarakat dalam menentukan pilihan politik. Artinya, bila setiap kita, mulai dari elit politik, aktivis, pegawai, tokoh masyarakat serta masyarakat pada umumnya “menyadari bahwa Pilkada adalah momentum dilematis yang krusial dalam menentukan citra dan masa depan daerah yang kita cintai, maka pasti ada kejelian dalam memilih pemimpin daerah pada setiap Pilkada yang dihelat.

Diktum bahwa “Pilkada selain sebagai ajang memilih Bupati sebagai Kepala Daerah, juga sebagai ajang memilih Calon Icon Koruptor baru di daerah” penulis kemukakan dengan dua basis argumen, yaitu:

Pertama, Bupati adalah jabatan penguasa, dan kekuasaan merupakan prasyarat mutlak terlahirnya sebuah korupsi. Lihat, Teori CDMA (CDMA Theory) Robert Klitgaard dalam bukunya berjudul Controlling Corruption (2001) dan Corrupt Cities. A Proctica! Guide to Cureand Prevention (2005), dimana Klitgaard menyatakan bahwa, korupsi terjadi karena adanya monopoli kekuasaan dan diskresi kewenangan, namun lemah dalam akuntabilitas. Yang kemudian dirumuskan C (corruption)=M (monopoli power) +D (discreation by officials) – A (accountability), artinya makin besar kekuasaan seseorang, maka semakin luas dan besar pula peluangnya melakukan korupsi.

Kekuasaan sangat dekat dengan korupsi, hal ini pernah dikatakan anggota Parlemen Inggris, Lord Acton se-abad yang lalu, bahwa kekuasaan cenderung korup, “power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely” (kekuasaan cenderung disalahgunakan dan kekuasaan yang mutlak menghasilkan korupsi pula). Pernyataan ini masih sangat relevan dengan kondisi saat ini. Kekuasaan cenderung memberikan kebebasan seseorang untuk melakukan apa saja, sehingga sekecil apapun kekuasaan itu bila tidak dibatasi, diatur, dikendalikan, dan diberlakukan secara bijak, maka niscaya akan menjerumuskan seorang pemimpin pada perilaku korupsi.

Kedua, Peristiwa OTT terhadap Calon (Petahana) Bupati Banggai Laut, Wenny Bukamo bersama sejumlah kontraktor oleh KPK pada hari Kamis 3 Desember 2020 dalam dugaan kasus gratifikasi barang dan jasa di lingkup Pemda Banggai Laut tahun anggaran 2020, menjadi bukti dari kebenaran diktum penulis tersebut. Bahkan sebelum peristiwa itu menimpa Wenny Bukamo, Bupati Banggai Kepulauan hasil Pilkada tahun 2017, Zainal Mus sudah lebih dulu dicokok KPK, meskipun, tempat, pola, dan objeknya berbeda, tetapi keduanya sama-sama terjerat kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Kasus korupsi kedua pemimpin di Negeri Banggai ini, serta-merta telah melambungkan nama Kabupaten Banggai Kepulauan dan Banggai Laut menjadi populer dalam percakapan nasional. Balut dan Bangkep kini menjadi terkenal bukan karena potensi pariwisatanya yang indah dan memanjakan mata, bukan juga karena kekayaan alamnya, atau prestasi pemerintah dan warganya bidang olahraga dan sains, tapi populer dan menjadi perbincangan seantero negeri, karena Bupatinya korupsi lalu di tangkap KPK.

Ya, itulah prestasi kita, Balut dan Bangkep yang paling gemilang di pentas politik-pemerintahan nasional. Cukup membanggakan bukan.? Bahkan peristiwa OTT tehadap Wenny Bukamo oleh KPK sempat menduduki trending topic di twitter kurang lebih empat jam, hampir semua linimasa media online dan media massa televisi (tv) memberitakannya. Singkatnya, Wenny Bukamo dan Zainal Mus dalam sekejap “telah menjadi icon koruptor bagi daerah ini, dan itu cukup menampar wajah demokrasi lokal kita serta wajah-wajah masyarakat Balut dan Bangkep yang masih memiliki rasa malu.

Dua basis argumen diatas, seharusnya menjadi referensi bagi seluruh komponen masyarakat Banggai Kepulauan dan Banggai Laut, agar kedepannya lebih cermat dan berhati-hati dalam memilih Bupati saat pelaksanaan Pilkada, dengan menggunakan sejumlah variabel. Tak perlu jauh mencari dan mengadopsi variabel pemimpin terbaik, kearifan lokal Banggai yang kaya dan khas, telah menyediakan variabel kepemimpinan terbaik dalam konsepsi “Totuukon Sangkap (Empat Prinsip Kebenaran) yang mencakup “Moloyos doi Temeneno; Monikil doi Utus; Moliyos doi Kakabai; dan Monondok doi Bundu”(Abdul Barry, 2016).

Ketelitian dalam memilih calon pemimpin diperlukan, sebab mengulang kesalahan yang sama dalam memilih Bupati hanya akan menambah kontribusi kita (elit politik, aktivis, pegawai, masyarakat) dalam melahirkan icon baru koruptor di daerah. Meskipun, kebenaran akhir dari hasil pilihan kita, benar salahnya, tepat atau tidaknya pilihan itu, apakah Calon Koruptor (Calon Bupati-red) yang kita pilih benar-benar menjadi koruptor atau menjadi icon baru koruptor di Banggai Kepulauan dan Banggai Laut adalah saat yang bersangkutan terpilih dan memimpin daerah sebagai Bupati.

Oleh karena itu, Bangkep dan Balut tidak boleh terperosok kembali kedalam lumbang yang sama. Peristiwa memalukan sekaligus memilukan yang menimpa negeri ini, akibat pilihan warganya yang tidak cerdas dan cermat pada saat Pilkada, haruslah menjadi pelajaran berharga bagi semua lapisan masyarakat. Sebab kata Rocky Gerung mereka yang bertahan dengan kesalahan adalah orang-orang dungu “Salah pilih itu sial, Bertahan pada pilihan yang salah, itu lucu. Sudah sial masih melucu” itu dungu namanya. (*)

Penulis adalah Pemimpin Redaksi ALAIMBELONG.ID dan Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tompotika Luwuk.

Berita Terkait