Home » Rubrik » Opini » Pilkades, Dari Titah Penguasa, Pengaruh Politisi Hingga Rayuan Manja Pemilik Modal
pasang-iklan-atas

Pilkades, Dari Titah Penguasa, Pengaruh Politisi Hingga Rayuan Manja Pemilik Modal

Pembaca : 42
IMG_20210811_084748_095

Oleh : Hamadin Moh.Nurung

 

Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) adalah miniatur “Pesta Demokrasi,” sebab Pilkades merupakan aktifitas politik masyarakat lokal pedesaan untuk memilih pemimpin terbaik yang mampu menjawab dan mewujudkan harapan menuju masyarakat Desa yang makmur.

Namun, “Pesta demokrasi” yang semestinya disambut dengan suka cita dan riang gembira oleh warga desa, seringkali tercederai oleh kehadiran tamu yang tak diundang. Sehingga memicu kegaduhan dan membuat suasana pesta tidak meriah lagi, bahkan berubah menjadi malapetaka.

Adalah, Kekuasaan (Bupati), Politisi terutama anggota legislatif dan pemilik modal yang selalu hadir sebagai tamu tak diundang itu, sebab mereka-lah yang paling berkepentingan disetiap kali perhelatan Pemilu, baik itu Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) maupun Pemilihan legislatif (Pileg).

Karenanya, Pilkades selalu menjadi seksi untuk diperbincangkan, sebab dapat menjadi magnet yang dapat menarik banyak pihak untuk terlibat.

Masuknya Kekuasaan, Politisi dan Pemilik Modal untuk ikut terlibat secara aktif maupun pasif dalam Pilkades, menurut saya dikarenakan :

Pertama, mayoritas pemilik kedaulatan suara penuh dalam Pemilu itu berada di wilayah desa, sehingga desa menjadi basis yang selalu diperebutkan, karena nantinya Kepala Desa yang terpilih bisa dijadikan promotor untuk kepentingan Pileg, Pilpres dan Pilkada.

Apalagi Penguasa (Bupati) yang ingin mempertahankan dua periode kekuasaanya, dengan kewenangan luas yang dimilikinya, ia merasa memiliki otoritas penuh untuk mengatur dan memberi tekanan kepada masing-masing Kepala Desa. Sehingga cukup dengan titahnya Kepala Desa akan patuh. Belum lagi Politisi, terutama para Anggota Legislatif yang juga ingin menjabat dua periode atau yang sedang berkeinginan maju pada Pileg, tentu segala macam intrik politik akan dilakukannya untuk mensukseskan kandidatnya di Pilkades.

Kedua, bagi pemilik modal, adanya potensi sumberdaya alam yang menjadi kewenangan desa serta meningkatnya Anggaran Desa yang bersumber dari Alokasi Dana Desa (ADD) dan Dana Desa (DD) setiap tahunnya, tentu menjadi lahan basa untuk mengambil keuntungan pada proyek pengadaan barang dan jasa dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDes), sehingga Pilkades menjadi peluang untuk menawarkan bantuan modal, baik dalam bentuk uang, barang dan jasa kepada para kandidat yang berpotensi kuat memenangkan Pilkades, sebab jika nantinya terpilih, maka Kepala Desa dengan kewenangannya yang melekat sebagai Kepala Kuasa Pengguna Anggaran akan mudah “main mata” untuk memperoleh proyek-proyek di Desa.

Disisi lain, banyak para kandidat Kepala Desa yang beranggapan bahwa masuknya kekuasaan, Politisi dan Pemilik Modal, dalam Pilkades menjadi berkah bagi mereka, karena dapat menambah kekuatan untuk bisa memenangkan “pertarungan” dalam Pilkades, bahkan anehnya lagi secara terang-terangan dengan rasa bangga dan penuh percaya diri, mereka mengklaim diri memperoleh dukungan dari tamu tak diundang itu.

Bertemunya dua kutub kepentingan dengan motif politis dan kepentingan ekonomi yang saling membutuhkan dan menguntungkan kedua belah pihak, menjadikan tensi politik di Pilkades semakin meninggi, resisten terhadap praktek-praktek kecurangan, seperti “money politic” dan praktek praktek kecuarangan lainnya. Dan pada saat bersamaan, akan berpotensi memicu terjadinya konflik antara para pendukung kandidat. Karenanya, Pilkades akan terancam kehilangan “ruhnya” dalam melahirkan pemimpin yang lahir atas dasar kemurnian pikiran dan kejernihan hati nurani masyarakat sebagai pemilik kedalautan suara penuh, dititik ini kewarasan politik masyarakat dan kualitas demokrasi akan diuji.

Lalu apa yang bisa kita harapkan kepada Kepala Desa yang terpilih lewat praktek kecurangan,? apa juga yang bisa kita harapkan kepada Kepala Desa yang lahir atas tiitah Penguasa, pengaruh Politisi dan Bantuan dari para Pemilik modal,? yang nantinya hanya menghamba kepada penguasa, menuruti syahwat para politisi, dan melayani majikan mereka sang pemilik modal itu,? Bukankah pemimpin itu ada untuk mewujudkan harapan rakyatnya,? bukankah pemimpin itu ada untuk mendedikasikan diri sepenuhnya demi kemakmuran masyarakatnya. Yah, dalam kondisi ini saya hanya bisa geleng-geleng kepala saja, seraya hening cipta dan mengucap doa karena itu selemah-lemahnya iman.

Padahal dalam perspektif Undang Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, dengan segala keistimewaan kearifan lokal yang dimilikinya, Desa diharapkan mampu menjadi basis penghidupan sosial dan politik, dimana kewarasan politik masyarakat desa dapat tercipta dan kualitas demokrasi dapat bertumbuh di Desa.

Hal itulah, yang tercermin dalam spirit Catur Sakti Desa yang merupakan ruh dari teks UU Desa, yakni desa bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya.

Spirit dari Catur Sakti desa tersebut mestinya dipahami oleh setiap kandidat Kepala Desa, serta menjadi semangat dalam pelaksanaan Pilkades. Sehingga Pilkades dapat menghadirkan pemimpin yang lahir dari kemurnian pikiran dan kejernihan hati nurani masyarakat Desa, tanpa diintervensi dan dicekoki dengan berbagai macam pengaruh atas nama titah Penguasa, pengaruh Politisi bahkan bujuk rayu para Pemilik modal, dengan demikian Pemimpin (Kepala Desa) yang terpilih benar-benar independen menjalankan pemerintahannya tanpa bisa diinterpensi oleh pihak manapun, sehingga mereka mampu memberi tenaga kepada Desa, agar Desa dapat berdaya dan tidak diperdayai.

Banggai Laut, 11 Agustus 2021

Penulis adalah Wakil Pemimpin Redaksi/Redaktur ALAIMBELONG.ID

Berita Terkait