Oleh ; Ihsan Razak
“Kami tidak sedang menuntut penghormatan seperti zaman Kerajaan Banggai dahulu, kami hanya minta hari ini kita bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi.”
Tabea Soosa, Salam Montolutusan!
Mengulas kronologis, mengapa angka 4 (empat) disebut sakti dan tanggal 11
November (11:11) begitu monumental di Kerukunan Mahasiswa Indonesia Montolutusan (KaMIMo) Banggai, bahkan disosialisasikan secara idelogis sebagai momentum kebangkitan anak negeri yang diperingati setiap tahunya.
Tepat pada tanggal 11 November 2018 sebuah tangkapan layar percakapan messenger yang berbau rasis antara orang Banggai dengan dua orang remaja SMA berinisial SPL dan NEM yang merupakan orang Luwuk-Banggai sontak viral dan mengundang reaksi protes dari berbagai kalangan masyarakat Banggai yang berdomisili ditiga wilayah, Kabupaten Banggai, Banggai Kepulauan dan Banggai Laut, bahkan yang bermukim diluar daerah.
Luapan kemarahan itu kemudian bergelinding secara massif dimedia sosial Facebook, kolom komentar bernada kecaman seketika membanjiri linimasa sosial media facebook karena tersulut oleh penghinaan berbau rasis yang dilontarkan SPL dan NEM, yang dinilai melecehkan identitas budaya mian (orang) Banggai.
KaMIMo Banggai secara kelembagaan kemudian merespon secara tegas dengan membuat laporan Polisi. Laporan tersebut berhujung mediasi dan permohonan maaf yang mempertemukan terlapor bersama keluarganya serta Pelapor (KaMIMo Banggai-red) bersama para Tokoh Masyarakat Banggai di Luwuk kala itu.
Alhasil mediasi tersebut dapat meredam kemarahan orang Banggai sehingga tidak menimbulkan dampak yang lebih besar meskipun demikian Resonansi yang ditimbulkan akibat dari tindakan rasis tersebut tidak serta-merta menghilangkan ingatan orang Banggai bahwa Tindakan rasisme yang seringkali diarahkan kepada orang-orang Banggai adalah tindakan yang melecehkan nilai-nilai kebanggaian yang selama ini selalu menjunjung tinggi nilai-nilai montolutusan (persaudaraan).
Karenanya menurutnya hemat saya, pelecehan terhadap identitas budaya Banggai dan komunitas budaya lainnya tak bisa dilegitimasi dan diwariskan secara turun temurun karena itu merupakan “perilaku kampungan” yang dapat menimbulkan perpecahan sesama anak bangsa, apa lagi ketika pernyataan rasis itu disampaikan dimedia sosial sudah tentu sangat berbahaya sebab di era digitalisasi saat ini informasi begitu cepat menyebar sehingga tak mudah dikendalikan.
***
11 November jika ditulis dalam angka, akan nampak seperti angka waktu 11.11, Phytagoras (571-570 SM), Filsuf Yunani Kuno Penemu Konsep Bilangan Matematika menyatakan angka adalah bahasa untuk menggambarkan suatu maksud, dan bahasa angka bersifat konstan karena sudah melalui proses panjang sejak sejarah peradaban manusia bermula.
Peristiwa 11 November 2018 merupakan rujukan inspiratif sebagai komitmen kebangkitan atas ketersinggungan kolektif dan massif menjadi pertanda bahwa “orang pulo” masih punya harapan untuk solid, masih punya sensifitas sejarah dan budaya, masih punya semangat untuk kebangkitan dan punya kesadaran untuk melawan zaman. Konklusi inilah yang mengantarkan mengapa tanggal 11 November 2018 menjadi titik balik dan menjadi momentum dimana bara api semangat kebangkitan bagi generasi Banggai sejati itu dinyalakan setelah sekian lama redup dan nyaris padam.
Semangat itu kemudian menjadi narasi kebangkitan yang dideklarasikan oleh KaMIMo Banggai sebagaiman termaktub pada AD/ART melalui forum SEBA ke-XII tahun 2019, pada bendera organisasi dengan penambahan 4 garis hitam memanjang disisi depan bendera KaMIMo Banggai. Sejak itu angka 11:11 menjadi keramat dan urgen dalam paradigma KaMIMo Banggai karena sebagai Hari Kebangkitan “bete” yang diperingati secara periodik.
Sementara angka 11:11 pun kerap dikaitkan dengan keberuntungan karena memiliki 4 angka 1. Dalam numerologi Banggai, angka 4 (1+1+1+1) atau Sangkap, merupakan angka keramat, angka budaya/simbol adat, misalnya, Boloki Sea (Bunga Sea/Bunga Pukul Empat (Miribilis Jalapa) Pilogot Sangkap (Sulape, Tompudau, Samatidung, Samalangan); Basalo Sangkap (Babolau, Singgolok, Katapean, Kokini); Komisi Sangkap (Jogugu, Mayor Ngofa,Kapitan Laut,Hukum Tua); Totuukon Sangkap (Moloyos, Monikil, Moliyos,Monondok).
Dari sinilah kemudian, tanggal 11 November, menjadi basis rujukan inspiratif. Jika Boloki Sea memiliki (Bunga Sea/Bunga Pukul Empat (Miribilis Jalapa) sebagai bunga penunjuk waktu, Adi Cokro/Mbumbu doi Jawa memerintah mulai (11 November 1575), Maulana Prins Mandapar/Mbumbu doi Godong memerintah mulai (11 November 1600), 11November 2018 (hari Bete)Sebagai simbol waktu komitmen Kebangkitan, 11 November 2021 pendirian ormas (IKAMIMO Banggai) maka di tahun 2024 bertepatan dengan momen PILKADA di tiga Banggai Bersaudara.
penulis mengharapkan lahirkan pemimpin yang mampu merawat persaudaraan di tanah BABASALAN, terkhusus untuk Kabupaten Banggai Kepulauan dan Kabupaten Banggai Laut, kami mewakili generasi muda menyampaikan harapan besar semoga kesaktian angka empat dalam mitologi Banggai dapat terbukti di tahun 2024.
dari keempat pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati dapat melahirkan pemimpin berintegritas yang sesuai dengan Falsafah Montolutusan dan empat prinsip kebenaran yakni (Moloyos, Moliyos, Monikil dan Monondok) demi terwujudnya Kebangkitan Lipu Banggai.
“Sasabul Nda Topumpun,Tebeas Nda Pototongi, untuk Wadah Perjuangan Sejati, Satu Tak Terbagi, Berdaulat di Negeri Sendiri, Menuju Kebangkitan Lipu Banggai.”
Kinatauan Temeneno Na Loingiyo.
Salam Montolutusan!
Penulis adalah Alumni KaMIMo Banggai.