Oleh : Hasdin Mondika
Kita yang saat ini berusia sekitar 30 sampai 70 tahun, hampir dipastikan mengenal yang namanya Dipa Nusantara Aidit atau dengan nama yang sangat terkenal yaitu DN. Aidit. Gembong PKI yang kesohor dan melegenda. Sosok fenomenal, ambisius, bertangan dingin dan mungkin bengis, namun disisi lain masih menyisahkan wajah humanis nan bersahaja sebagai sosok puak Melayu yang terkenal santun dan adab dalam tata krama pergaulan.
DN. Aidit, sosok antagonis ini menurut Wikipedia dan catatan sejarah, masa kecilnya tumbuh dalam keluarga yang sangat religius. Nama Aslinya Ahmad Aidit, orang sekitar memanggilnya Amak, lahir di Belitung 30 Juli 1923. Aidit kecil adalah anak yang rajin dan sholeh. Setiap hari sepulang sekolah, Amak (Aidit) dan adik-adiknya belajar mengaji diasuh Abdurrahim pamannya. Ayahnya Abdullah Aidit berasal dari Minangkabau lalu hijrah ke Belitung. Abdullah aktif dalam kegiatan Islam, dihormati masyarakat Belitung. Pelopor Pendidikan, dia adalah seorang pendiri Nurul Islam di Belitung yang berpaham Muhammadiyah.
Ahmad Aidit kemudian melanjutkan Pendidikan Sekolah Dagang di Jakarta, Disinilah dia mengenal politik. DN Aidit belajar teori Marxis melalui Perhimpunan Demokratik Sosial Hindia Belanda yang dibelakang hari berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Tampaknya Pendidikan Agama DN Aidit waktu kecil, tidak cukup kuat untuk menangkal komunisme yang dianggap lebih progresif revolusioner. Lewat aktivitas politiknya, DN Aidit mengenal tokoh-tokoh utama Indonesia seperti Bung Karno, Bung Hatta, Chairul Saleh, Adam Malik, Muhammad Yamin dan tokoh-tokoh lainnya. Dengan kecakapan dan kecerdasan Aidit, membuat Bung Hatta berharap banyak kepadanya. Ahmad Aidit menjadi orang kepercayaan Hatta. Namun Ketika Bung Hatta tahu garis politik Aidit, maka keduanya berpisah jalan.
Pergaulan Ahmad Aidit terus meluas. Karena merasa tidak nyaman, dia langsung membuang nama Ahmad, lalu diubah menjadi Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit. Komunis di Indonesia yang telah terpuruk akibat pemberontakan Madiun September 1948, coba dibangun Kembali oleh DN Aidit. Beberapa organisasi sayap diaktifkan. Pemuda Rakyat untuk Pemuda, Gerwani untuk Ibu-Ibu dan BTI untuk Petani, Lekra untuk seniman dan seterusnya. Apapun sepak terjang DN Aidit, tidak saja salah bisa jadi kejam, liar atau juga bengis, aib bagi perkembangan peradaban di Nusantara dan seterusnya. Apapun itu, sepak terjang DN Aidit telah mengisi lembaran-lembaran sejarah di republik ini.
Mungkin lembaran sejarah yang ditulis DN Aidit adalah lembaran yang kelam, sejarah yang hitam. Kesalahan yang fatal, apalagi bagi puak melayu yang terkenal santun dan religius. Sehingga menjadi gembong PKI, bukan saja kekeliruan fatal tapi dianggap telah menyimpang dari kesejatian dan kodrati seorang Aidit yang terlahir di wilayah Sumatera dengan bingkai identitas Melayu yang pasti sangat bertolak belakang, jika Aidit harus menjadi tokoh utama PKI. Inilah pilar-pilar sejarah NKRI, harus diakui tidak semuanya bernuansa putih dan lurus. Terkadang ada juga yang bengkok, kelam dan bahkan hitam sekalipun. DN Aidit adalah anak zaman, anak sejarah. Terlepas dari hitam putih sepak terjangnya, yang pasti dia telah menulis sejarahnya sendiri. Tinggal kita saat ini mampukah kita menciptakan sejarah, atau hanya jadi generasi pembaca sejarah. Pilihan masih panjang terbentang dihadapan kita, terutama bagi yang masih berusia belia, tulislah sejarahmu sebelum kau pergi.
Banggai Darussalam
Pada bulan September 2006, terjadi keheboan dan desas desus di Banggai. (Ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan). Bahwa ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan yang berada di Kecamatan Banggai akan dipindahkan ke Salakan sesuai dengan Undang 51 tahun 1999, tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali dan Kabupaten Banggai Kepulauan. Dari adanya info tersebut maka terjadilah gejolak-gejolak di tanah Banggai, yang pada puncaknya yaitu terjadinya Tragedi Banggai Berdarah pada tanggal 28 Februari 2007 yang menewaskan 4 orang dan 131 luka tembak.
Dari peristiwa naas ini yang bermula dari bulan September, akhirnya mengerucut menjadi sebuah gerakan yang melahirkan sebuah manifesto untuk perlu hadirnya satu negeri untuk semua, tidak terkotak-kotak, walau terpisahkan oleh sekat-sekat administrasi tapi semua perlu menyatu dalam satu ideologi Banggai. Dalam satu rumah bersama dari tiga kabupaten yang masih menggunakan nama Banggai dengan nama masa depan yaitu Banggai Darussalam.
Jika antagonisme sejarah Indonesia banyak terjadi di bulan September. Yang mana bulan September ini sudah di absahkan sebagai sejarah kelam atau bahkan sejarah hitam di Indonesia, maka gerakan Banggai Darussalam yang di mulai pada September 2007 dan direncanakan finish atau mewujud pada bulan September 2027, semoga itu bukan menjadi sejarah kelam atau hitam. Impian akan hadirnya sebuah negeri untuk semua, yang mana disana dialog masih ada bukan Monolog. Kebersamaan dan kejujuran masih dengan berlandaskan falsafah TuuTu, bukan negara yang dibangun di atas ketidakadilan dan pilar-pilar kebohongan. Hak hidup, Kemerdekaan dan hak-hak menyatakan kritikan dan pendapat masih sangat dihargai dan diperlukan. Sehingga September kelabu bisa berubah menjadi September ceriah yang penuh harapan.
September kelabu memang telah menjadi sejarah hitam di Indonesia. Mulai dari pemberontakan PKI di Madiun pada tanggal 18 september 1948. Penumpasan PKI di Madiun pada tanggal 20 September, sampai pada pemberontakan PKI yang kedua kalinya pada tanggal 30 September 1965 yang di gawangi oleh DN Aidit, Kolonel Untung dan kawan-kawan semuanya terjadi pada bulan September.
Selain peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang mengakibatkan kematian Enam Jenderal, masih banyak lagi peristiwa pada bulan September yang perlu dikenang. Tragedi Tanjung Priuk terjadi pada 19 September 1984. Tragedi Tanjung Priuk merupakan salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia tingkat berat yang terjadi akibat aparat keamanan berlebihan dalam menghadapi demonstrasi masyarakat. Setelah tragedi Tanjung Priuk, pada bulan September juga terjadi tragedi Semanggi, dimana pemerintahan transisi setelah tumbangnya Suharto kala itu tengah mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya. (UU PKB). Sementara bagi mahasiswa, Undang-undang PKB merupakan langkah untuk memberikan keleluasaan bagi ABRI saat itu untuk berkuasa kembali. Sehingga kemudian muncul aksi penentangan oleh kalangan Mahasiswa yang berujung pada bergeraknya moncong senjata dan berujung pada tewasnya para pahlawan demokrasi.
September kelabu terus bergulir menghiasi lembaran sejarah Indonesia. Pada 7 September 2004 terjadi peristiwa yang cukup fenomenal yaitu dengan wafatnya sosok legedaris Munir. Seorang yang sangat bernyali menantang ketidakbenaran. Seorang pejuang HAM dan kemanusiaan harus meninggal secara misterius. Kematiannya merupakan kejahatan yang terencana dan sistematis ketika dalam pesawat yang sedang terbang menuju Amsterdam Belanda untuk melanjutkan studi Magisternya. Racun Arsenik telah mengakhiri perjalanan hidup dan perjuangnnya di atas langit Rumania. Begitu seterusnya peristiwa kelabu bulan September terus sampai pada reformasi dikorupsi pada tanggal 24 September dan seterusnya.
Kini bangsa Indonesia mengenang bulan September sebagai bulan kelam, atau bahkan hitam dalam catatan sejarah. Begitu banyak peristiwa. Banyak tokoh datang dan pergi, meninggalkan catatan sejarahnya masing-masing. Ada yang dicap sebagai pahlawan dan tidak sedikit pula yang menyandang predikat sebagai pecundang, penghianat atau bahkan monster pembunuh. Begitu banyaknya peristiwa kelabu yang terjadi di bulan September sehingga saat ini kita sering diminta untuk mengangkat bendera setengah tiang di setiap penghujung September. Pengangkatan bendera setengah tiang di penghujung September ini mungkin akan terus terjadi dan dikibarkan di rebuplik Indonesia. Tapi ada saatnya disuatu September mendatang, ada bendera yang berkibar penuh dan tidak setengah tiang. Bendara tersebut tidak menggambarkan duka dan nestapa di bulan September, tapi sebuah harapan dan keyakinan.
Dialah Bendara Banggai Darussalam, yang berkibar di Bumi Banggai Darussalam pada bulan September ceriah. Semoga. (**)
Penulis adalah Pimpinan Yayasan Noa Moloyos