“Tinjauan Kritis atas Polemik APBD Banggai Kepulauan 2021”
Oleh : Fatharany Berkah Abdul Barry
Bila kita diminta untuk menyebutkan satu hal yang paling sensasional dan kekinian di negeri ini, maka yang paling tepat disebutkan adalah perihal APBD. Ya..polemik keterlambatan pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Banggai Kepulauan Tahun Anggaran 2021 telah menjadi tema perbincangan sekaligus perdebatan dikalangan elit kukasaan, ASN, Aktivis, Netizen dan media hari-hari ini, ia menjadi buah bibir yang paling seksi dan utama dipergunjingkan, melebihi tema dana BOK, MTQ, UTD dan bahkan mampu menutup rapat tema besar dugaan Pembobolan Kas Daerah Rp. 36 miliar.
Tapi dalam catatan ini kita tidak akan bicara soal tema-tema yang dianggap remeh temeh dan terlewatkan itu (BOK, MTQ, UTD, Kas Daerah Bobol Rp. 36 M). Karena membahas itu bisa jadi kita dianggap tidak up to date dan gaul, jadi untuk sementara kita menyesuikan saja dengan tema yang sangat kekinian yaitu APBD. Oke..?
APBD ini memang hebat, ia menjadi objek dan sentral perdebatan, mampu membuat elit bertikai dan saling tarik menarik kepentingan, dapat membuat ASN dan honorer merana lalu berteriak lapar dengan demonstrasi, bisa membuat ekonomi daerah morat-marit, pasar sepi pengunjung, pengusaha dan kontraktor merintih, ia begitu dipuja, dan sangat diharapkan berkahnya seolah sebagai source of life (sumber kehidupan) bahkan nyaris lebih dari itu, APBD menjadi the source of all life (sumber segala kehidupan) bagi daerah ini beserta penduduknya.
Alasannya sederhana, karena APBD itu adalah Uang, uang daerah, uang kami, uang rakyat, uang ASN, uang honorer, uang kontraktor, uang kita semua. Pendek kata intinya adalah Uang, Ya..di dalam APBD itu Uang. Uang dan APBD menjadi semacam Wahdatul Wujud (meminjam istilah Al-Halajj) yaitu satu “kesatuan eksistensi” atau mungkin bila dipilah UANG adalah “salah satu sumber kehidupan (sub),” dan APBD merupakan “sumber segala kehidupan (inti),” karena tidak ada sumber keuangan lain selain APBD. Saking urgennya Uang atau sakralnya APBD sehingga di negeri ini di Banggai Kepulauan “APBD/UANG” seolah menjadi “Ilah (Temeneno/Tuhan)” bagi daerah ini dan bagi kita semuanya.
Sekarang karena kita bersinggungan dengan Tuhan, Idol, Pujaan khalayak, maka dalam tulisan ini, penulis perlu sedikit membuat batasan definisi tentang Tuhan yang dimaksud, agar APBD/Uang yang disini penulis labeli Tuhan tak bermasalah. Karena terkadang menyebutkan sesembahan orang hari-hari ini dapat berujung delik, kita bukan hanya diperhadapkan dengan stempel Liberal, Sekuler, Kafir dan Atheis tapi juga dapat dikriminalisasi dengan dalil penistaan agama, meskipun maksudnya bukan dalam konteks itu.
Temeneno dalam kaidah bahasa Banggai (lokal) maupun Tuhan dalam bahasa Indonesia (nasional) digunakan untuk menyebut segala apa pun yang diyakini, disembah dan ditaati manusia. Hal ini dimaklumi karena yang disembah manusia bukan hanya Allah, tetapi juga dapat bermacam-macam seperti Matahari, Bulan, Bintang, Berhala dan termasuk APBD/Uang.
Sementara Tuhan “Allah SWT dalam pandangan Islam-misalnya, adalah nama zat satu-satunya yang wajib disembah. Dialah yang berhak dan Allah sendiri yang mengenalkan diri-Nya Allah “Qul huwa Allahu ahad”. (Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa), kemudian menegaskan eksistensinya yang tunggal dengan statemen suci nan Agung “Laa ilaa ha illa Allah (tiada Tuhan selain Allah), yang menegaskan bahwa sesungguhnya ketika seseorang ber-Islam (dengan menyebut dan menyakini syahadat ini) maka seharusnya orang tersebut bersedia dan berani melawan segala ila-ila (tuhan-tuhan) di atas, sebagai bukti ketundukan dan pengabdian kita hanya kepada Tuhan yang sesungguhnya yaitu Allah SWT.
Menyoal Tuhan dalam makna yang umum dan peyoratif semacam matahari, bulan, bintang, berhala dan termasuk Uang/APBD. Penulis teringat dengan buku karya seorang senior Alumni HMI asal Gorontalo, Thariq Modanggu, dengan judul yang dianggap menyesatkan “Mengutuk Tuhan Yang Terkutuk (2005)” dimana dia mengulas Uang, Materi, Kesombongan, Kekuasaan, dan lain-lain yang sejenisnya sebagai Tuhan-Tuhan terkutuk yang harus diperangi.
Isi buku ini menjadi salah satu diatara sekian buku yang menginspirasi penulis sehingga terprovokasi untuk membuat catatan ini. Bagaimana tidak silang sengkarut APBD BanggaiKep TA 2021 yang menimbulkan berbagai varian ekspresi merupatkan potret bahwa APBD/UANG seakan telah menjadi sumber penentu hidup mati daerah ini bersama warganya, menjadi tujuan dan segala tujuan hidup berdaerah, dimana daya upaya pikiran, perkataan, perbuatan hingga semua output kita dipenuhi dengan segala pertimbangan ataupun perhitungan untung-rugi yang dikuantisasikan dalam wujud fee project, gaji dan berbagai jenis tunjangan-tunjangan lainnya.
Fakta inilah alasan mengapa tulisan ini penulis beri tajuk TEMENENO SAMBUNO APBD (Tuhan Itu Bernama Uang). Karena sikap kita yang serba berlebihan dalam melihat APBD sebagai sumber segala kehidupan pribadi dan berlembaga secara tidak langsung kita telah mendeklairkan APBD sebagai Tuhan baru kita dan mendelegitimasi (menghina) Tuhan sejati yaitu Allah, karena “Menghina Tuhan tak perlu dengan umpatan dan membakar kitabNya, khawatir besok kamu tak bisa makan saja itu sudah menghina Tuhan” (Sujiwo Tedjo).
Tulisan ini bukan saja mengutuk APBD/UANG sebagai Tuhan (berhala) yang kita puja seperti yang ditulis Thariq Modanggu, tetapi lebih dari itu tulisan ini akan menyorot tindakan kita dalam memperlakukan Tuhan APBD dengan sikap yang tidak konsisten sebagai peyembah (hamba), dimana disatu sisi kita memujanya dan takut kehilangan berkahnya, sementara disisi lain kita hinakan dan terlantarkan dirinya, berikut ulasannya.
A. Mengurus (melayani) Tuhan APBD Tidak Tepat Waktu
Masalah pertama dari kita adalah ketidakdisiplinan terhadap waktu dalam mengurusi Tuhan APBD, bila merujuk pada pernyataan Ketua DPRD BanggaiKep, Rusdin Sinaling yang menyatakan bahwa keterlambatan APBD sudah terjadi sejak awal tahapan akibat dari ketidaktaatan TAPD terhadap waktu penyerahan dokumen kepada DPRD sesuai dengan ketentuan regulasi. Dimana KUA PPAS yang seharusnya disampaikan oleh TAPD pada Minggu ke-II bulan Juli 2020, tapi nyatanya baru disampaikan kepada DPRD tanggal 28 September 2020.
Lalu kemudian RAPBD yang harusnya disampaikan paling lambat Minggu ke-II bulan September 2020 dan harus disetujui dan ditetapkan bersama paling lambat tanggal 30 November 2020, tapi faktanya TAPD baru menyerahkan kepada DPRD tanggal 23 Desember 2020, itupun tidak disertai dengan lampiran dokumen pendukungnya berupa RKPD, KUA PPAS dan Nota Keuangan.
Begitupun dengan keterangan Anggota DPRD Sadat Anwar Bihalia yang menilai bahwa keterlambatan itu juga disebabkan oleh tidak disiplinnya Pimpinan DPRD pada waktu, dimana pembahasan RAPBD diubah sistem dan timingnya pada malam hari dan dimulai harus tengah malam, padahal ada waktu yang lowong dan panjang pada siang hari. Sementara TAPD harus bekerja sesuai jam kerja, akibatnya dirinya dan sejumlah TAPD merasa tidak perlu hadir, dalam pembahasan maupun penyempurnaan RAPBD sesuai hasil asistensi dari Gubernur Sulteng.
Ketidakdisiplinan waktu ini menunjukan sebuah sikap pelayanan (ritual) yang tidak dilakukan dengan baik. Sehingga wajar saja kita kalangkabut dan molor berbulan-bulan, sehingga belum memperoleh berkah dari Tuhan APBD karena kita tidak disiplin waktu dalam melayaninya. Artinya, bila prosesi ini misalnya, dipersonifikasikan dengan ritual Sholat 5 waktu untuk penyembahan Tuhan sejati Allah SWT, maka kita semua, bil khusus TAPD dan DPRD sebagai pihak yang bertanggungjawab telah lalai dalam melaksanakan kewajiban kehambaan karena tidak disiplin dalam menegakan Sholat tepat pada waktunya, sehingga kita tidak memperoleh sembilan atau bahkan salah satu dari sembilan kemuliaan mengerjakan Sholat 5 waktu tepat pada waktu utamanya, sebagaimana dikatakan Khaliffah Utsman Bin Affan.
B. Memperebutkan Berkah Tuhan APBD
Saling klaim kebenaran, silang sengketa antar penyelenggara pemerintahan daerah, Bupati (eksekutif) lewat TAPD dan DPRD (legislatif) melalui Banggar, antara narasi program dan argumentasi Pokok-Pokok Pikiran (Pokir), eksekutif mencurigai Pokir dan meliriknya dengan sinis sebagai makhluk goib ciptaan DPRD karena seringkali muncul di injury time saat pembahasan APBD sehingga praktek mengurangi, menambah bahkan menghapus program dan pagu anggaran kerapkali terjadi, inilah yang disorot oleh eksekutif sebagai modus operandi bagi-bagi paket project untuk memperoleh fee, sebagai upaya penghasilan tambahan untuk mengembalikan modal kampanye.
Sementara legislatif berdalih Pokir dijamin konstitusi sebagaimana diamanatkan pada Pasal 55 huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2010. Dimana Pokir anggota DPRD merupakan perwujudan eksistensi dari lembaga legislatif, yang dihimpun saat reses anggota dewan ke daerah pemilihannya. Karenanya, Pokir oleh sebagian anggota DPRD dianggap wajib diperjuangkan dan diakomodir dalam APBD sebagai bentuk pertanggungjawaban eksistensial setiap anggota dewan kepada konstituennya.
Tradisi kurang, tambah, hapus pagu anggaran maupun program dalam setiap pembahasan RAPBD dicurigai sebagai pola kerja masuknya “Pokir-Pokir Kotor” sebagaimana diistilahkan oleh eksekutif untuk mendekonstruksi nilai dari Pokir, yang oleh khalayak di eksekutif dituding sebagai penyebab terpotongnya DAK dan dana-dana lainnya, sebagaimana isi Surat Pemda yang ditandatangani Wakil Bupati Salim Tanasa kepada Ketua DPRD Banggai Kepulauan Nomor 900/182/BPKAD, tertanggal 18 Maret 2021 tentang hasil penelaahan lampiran keputusan DPRD untuk disempurnakan kembali, yang menyatakan bahwa terdapat pengurangan anggaran pada Dana Alokasi Khusus (DAK) yang merupakan mandatory spending, belum adanya Alokasi Anggaran pada Kegiatan Pelantikan Wakil Bupati serta belum tersedianya alokasi anggaran lainnya pada kegiatan yang mendukung Prioritas Pembangunan Daerah.
Sedangkan di kubu Legislatif, seperti yang nyatakan Wakil Ketua I DPRD BanggaiKep, Muh. Risal Arwie bahwa TAPD (eksekutif) secara sengaja dan nyata melanggar prinsip penyusunan RAPBD Tahun Anggaran (TA) 2021 sebagaimana tertuang dalam Permendagri No. 64 Tahun 2020.
Hal ini turut terkonfirmasi melalui Surat Keputusan Evaluasi Gubernur Sulteng tertanggal 4 Februari 2021 yang disampaikan pada tanggal 15 Februari 2021, yang menyebutkan bahwa Program, Kegiatan dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kabupaten Banggai Kepulauan tentang APBD Tahun Anggaran 2021 belum mempedomani RKPD, KUA, PPAS sebagaimana diamanatkan pada Pasal 310 UU No. 23 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU No. 9 Tahun 2015. Hal mana terjadi ketidaksesuaian antara jumlah program, kegiatan dan sub kegiatan antara RKPD, KUA-PPAS dengan APBD. Jumlah program RKPD sejumlah 147, pada KUA PPAS menjadi 158 lalu terakhir di APBD menjadi 293 program, selain program jumlah Kegiatan juga berbeda pada RKPD 307, pada KUA PPAS menjadi 1.162, dan pada APBD malah berkurang menjadi 686 kegiatan. Begitupun pada sub kegiatan RKPD berjumlah 1.175, pada KUA PPAS bertambah jadi 2.243, dan pada APBD berkurang sisa 2.189 sub kegiatan. Karenanya, berkaitan dengan itu Gubernur Sulteng meminta Pemda BanggaiKep untuk mengupayakan konsistensi dokumen perencanaan dan penganggaran mulai dari RKPD, KUA PPAS dan Raperda tentang APBD TA. 2021.
Saling intai dan mencurigai lalu saling menunjuk kesalahan, untuk mencari dalil penegas benar salah mejadi bagian dari drama tentang Tuhan APBD yang diperebutkan berkahnya. Intinya adalah soal Uang, siapa dapat apa dan berapa, berbalut dalam selimut narasi program, kegiatan (eksekutif) dan argumentasi pokir (legislatif). Nyatanya sama saja, “Bungkang tukon Sol Sinua Memela” (kepiting dan udang dibakar sama-sama merah). Siapa salah siapa benar sama-sama relatif, karena yang benar sesungguhnya adalah baik eksekutif maupun legislatif sama-sama memiliki selubung kepentingan berebut berkah Tuhan APBD. (Bersambung)
Penulis adalah Pemimpin Redaksi ALAIMBELONG.ID dan Dosen di FISIPOL Universitas Tompotika Luwuk.