Home » Rubrik » Opini » Tiga Putaran Terakhir Joko Widodo
pasang-iklan-atas

Tiga Putaran Terakhir Joko Widodo

Pembaca : 7
CartoonMe_1634353555013

Oleh : Indra Jaya Piliang

Sahabat saya, Ubeidillah Badrun, menulis artikel bertajuk “Tujuh Tahun Jokowi: New Kleptocracy” (Tempo, 19 Oktober 2021). Bersama Ubeidillah dan aktivis Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) lainnya, kami mendirikan Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ). Dalam sejarah kelahiran FKSMJ di internet, disebutkan bahwa hulu kelahiran FKSMJ berasal dari “Simposium Nasional Angkatan Muda 1990an: menjawab Tantangan Abad 21” atau terkenal dengan sebutan SNAM yang diselenggarakan Senat Mahasiswa Universitas Indonesia tahun 1994.

Kebetulan, saya menjadi Ketua Panitia Pelaksana (Organizing Committtee) dengan Wakil Ketua Indra Kusuma (sekarang pengacara) dan Sekretaris Umum Subuh Prabowo (sekarang Direktur Eksekutif Himpunan Kerukunan Tani Indonesia). Penanggungjawab adalah Bagus Hendraning Kobarsih (sekarang di Kementerian Luar Negeri) dan Ketua Panitia Pengarah (Steering Committtee) Hadi Juanda (sekarang Kolonel Tentara Nasional Indonesia yang sedang bertugas di Provinsi Papua).

SNAM SMUI 1994 tercatat sebagai forum pertukaran gagasan aktivis mahasiswa intra dan ekstra kampus terbesar dan terpenting yang pernah diselenggarakan tahun 1990an. Satu komponen yang tidak bisa diundang berasal dari taruna akademi militer. SC yang beranggotakan Eep Saifullah Fatah, Chandra M Hamzah, Fadli Zon, Riri Fitri Sari, dan pimpinan top mahasiswa UI lainnya itu, kesulitan meyakinkan pimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia kala itu. Andai saja para penerima Adi Makayasa yang sedang menempuh pendidikan perwira itu hadir, bakal terjadi komunikasi sipil-militer terbesar di kalangan berpendidikan tinggi.

Baik, sebagai pelanjaran saja.

Bagi saya, apa yang ditulis oleh Ubeidillah – yang terus terang, ketika saya masih menjadi peneliti Centre for Strategic and International Studies, bahkan lebih akrab dengan ponakannya yang sedang menempuh pendidikan di luar negeri – adalah a condiciones sine quibus non yang ditangkap oleh sebagian ilmuwan. Sekalipun, tentu terdapat sejumlah ilmuwan yang menyatakan kebalikannya. Parameter pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan infrastruktur, hingga konektivitas melalui jejaring internet dan (industri) perhubungan jauh lebih baik.

Badan Pusat Statistik, misalnya, mencatat rasio gini Indonesia per September 2017 hingga Maret 2018 ada pada pusaran angka 0,389. Angka itu terendah dalam tujuh tahun terakhir. Artinya, ketimpangan hidup antara masyarakat, baik masyarakat perkotaan, antar kota, pedesaan atau antar desa, semakin mengecil. Pada bulan Maret 2021, angka itu mencapai 0,384.

Ketika Ubeidilllah hanya menukil indeks demokrasi Indonesia (Freedom House) dan indeks persepsi korupsi, sudah barang tentu mengalami fluktuasi. Bukan saja Indonesia, tetapi juga negara-negara (kampiun) demokrasi lain di dunia yang berhadapan dengan masalah korupsi. Pun, saya tentu saja tak lengkap jika hanya menawarkan indeks pertumbuhan ekonomi – seperti yang dicapai negara Republik Rakyat China atau India – dikaitkan dengan demokrasi.

Secara metodologi, kedua korpus itu (Freedom House dan Corruption Perseption Index) sama-sama bermasalah. Indeks korupsi, misalnya, disusun berdasarkan persepsi dari para pelaku bisnis (trans nasional) yang menanamkan investasi guna menarik keuntungan atau laba di negara yang sedang disurvei. Di sejumlah negara, seperti Australia, sudah muncul regulasi baru yang melarang kehadiran baik orang atau perusahaan dari negara-negara yang terindikasikan korupsi, maupun orang dari negara yang bersangkutan yang berhubungan dengan negara dimaksud. Namun lebih banyak negara kapitalis yang menyukai untuk mengkuya-kuya negara lain sebagai korup, tetapi mereguk keuntungan terus-menerus dari para pengusaha nasional mereka guna berbisnis di negara-negara korup itu.

Bahkan, ketika CPI menyebut bahwa Indonesia adalah negara kleptokrasi baru, sama sekali tak menyebutkan nama-nama yang dikaitkan dengan istilah itu. Buku Yushihara Kunio, the Rise of Ersazt Capitalism in Southeast Asia pada akhir era Orde Baru, lebih berani menyebut sejumlah nama pengusaha nasional Indonesia. Sayang sekali, ketika pemerintah Indonesia berhasil mengambil alih saham pengendali sejumlah perusahaan besar, saya justru melihat kehadiran pengusaha boemi poetera Indonesia makin menipis.

Pengusaha boemi poetera seakan mengalami busung lapar di negara yang sedang menikmati pertumbuhan ekonomi. Bandingkan dengan kehadiran sejumlah taipan atau orang kaya baru, ketika Jepang, China, Korea Selatan atau India menangguk pertumbuhan ekonomi di atas 5% per tahun. Mereka muncul dalam daftar orang-orang terkaya, bahkan membeli klub-klub sepakbola mahal.

Mana yang lebih tak diterima rakyat Indonesia, terutama pada level menengah ke atas (middle class to upper class), apakah model Partai Komunis China yang punya delapan sekondan, ataukah Partai Baratiya Janata yang didominasi oleh fundamentalis Hindu yang mengalahkan partai nasional ala Partai Kongres dengan hanya menyisakan tiga negara bagian buat Partai Komunis India? Bagi saya, partai ekstrim kiri model Partai Komunis China atau partai ekstrim kanan model Partai Baratiya Janata sama-sama “tak tepat” dalam lanskap bumi nusantara.

Namun, baiklah, sebagai kawan baik, apabila keseluruhan argumen dari Ubeidillah Badrun saya terima, berarti yang tersisa hanyalah tiga tahun terakhir pemerintahan Joko Widodo. Tiga tahun putaran terakhir dalam sirkuit demokrasi, pemberantasan korupsi, pertumbuhan ekonomi, pemerataan, dan pencapaian parameter terpenting dari Trisakti: berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya. Pemerintahan yang diampu Presiden Soeharto melakukan metode Trilogi Pembangunan: Stabilitas Politik, Pertumbuhan Ekonomi, dan Pemerataan Kesejahteraan. Joseph Stalin, lebih luar biasa lagi, yakni membunuh sekitar 10 Juta Rakyat Russia, ketika mengubah bangsanya dari agraris menjadi semi industri. Ratusan ribu nyawa melayang ketika menimbun rawa-rawa sangat dalam di belahan selatan Russia. Atau, korban dalam Revolusi Kebudayaan yang dilakukan oleh Deng Xiao Ping di China.

Banyak kawan, termasuk kalangan ilmuwan luar negeri, menyebut bahwa sangat sedikit atau bahkan hampir tidak ada, seorang presiden-pun di negara-negara demokrasi moderen yang berani melakukan pembangunan besar-besaran di bidang infrastruktur seperti yang dilakukan Joko Widodo di Indonesia. Bagaimana bisa presiden seperti itu hadir, ketika generasi yang akan datang sudah pasti dibebani oleh utang luar negeri yang lebih banyak dan bertimbun dibanding beban orangtuanya?

Pembangunan Tembok Besar China yang dilakukan sejak tahun 722 Sebelum Masehi, hitung saja kapan selesainya. Pembangunan jalur kereta api di Amerika Serikat, bahkan sempat menyebut Presiden Abraham Lincoln sebagai pemburu para vampir. Sebab, ketika jalur kereta api hadir di area-area yang tak ada manusianya berkilo-kilo meter, tentu saja mengganggu pemukiman vampir pengisap darah yang sudah ikut “berperang” sejak koloni pertama terbentuk.

Apapun itu, saya tentu ikut mengaminkan kritikan yang dilakukan oleh Prof Dr Emil Salim. Pangkat fungsional terakhir beliau adalah widya iswara di BP-7 Pusat, ketika saya tercatat sebagai Penatar Tingkat I sejak 1995. Ada yang keliru dalam pilihan pembangunan ekonomi yang sedang dijalankan, kata Emil Salim. Saya membayangkan, putaran terakhir dalam sirkuit yang tengah disiapkan di Mandalika, Nusa Tenggara Barat.

Walau, saya tahu, bahwa hampir seluruh visi yang disampaikan pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden kepada Komisi Pemilihan Umum mengalami perubahan ketika dijalankan.

Yang lebih cilaka, pandemi Covid 19 membuat turbulensi yang serius bagi pemenang pemilihan. Saya sendiri tak membaca lagi sebagai referensi utama. Teks sudah lama kehilangan daya pikat. Apalagi daya ikat. Bahkan bagi apa yang dinamakan janji-janji politik.

Tak apa. Indonesia baru dua bulan lebih mendayung lagi roda ekonomi. Keajaiban, bisa jadi selalu datang ke negara yang banyak diisi oleh dewa-dewa dari nirwana ini. Pun bagi pertumbuhan agama dan sekaligus ummat beragama. Indonesia selalu berhasil mengubah sesuatu yang datang dari luar. Pembaratan, bahkan punya batas-batas pembaratan, sebagaimana ditulis oleh sejarawan Denys Lombard dalam “Nusa Jawa Silang Budaya”. Noam Chomsky memuji Indonesia dalam “memerangi” terorisme atas nama Islam.

Mayoritas ummat tidak bertempat-tinggal di negara-negara ibu kelahiran agama Islam. Indonesia, India, dan Pakistan justru menjadi negara paling dominan dihuni ummat Islam. Bukan saja itu, persentuhan dengan Hindu dan Budha, telah membuat Islam lebih berwatak moderat, ketimbang di negara-negara Arab yang lebih bersentuhan dengan agama Yahudi dan Nasrani.

Jadi, manakala perjalanan pemerintahan tidak berjalan sesuai dengan visi dan misi yang dihiruk-pikukkan selama putaran kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden, sudah tentu bukan satu persoalan fundamental. Baik dalam berpikir, berimajinasi, maupun berjanji. Arnold Toynbee sudah lama menanam jampi-jampi, betapa bangsa Melayu – tentu bukan termasuk Melanesia – adalah bangsa yang easy to forgotten and easy to forgiven.

Barangkali, saya hanya mengingat, bahwa ketika sirkuit Sentul dibangun, apa yang disebut sebagai nepotisme berkecambah. Bukan oleh kehadiran gadis-gadis payung, tetapi lebih-lebih niatan gua melakukan “lompatan” di dunia olahraga. Bukankah penyumbang medali emas terbanyak dalam Asian Games adalah pencak silat yang dikomando oleh Prabowo Subianto – tentu juga cabang wushu yang diampu oleh Airlangga Hartarto? Ketika sepak takraw dan bulu tangkis, termasuk kayak dan perahu, makin menjauh dari Indonesia, lalu adrenalin Generasi Z dan generasi Z dipacu menelusuri kedigdayaan otomotif yang bahkan berpotret dengan cara – yang saya sepakat melanggar etika profesional – langsung mencoreng Indonesia tercampak 40 tahun oleh sang pemilih motor?

Apabila tiga putaran terakhir dalam sirkuit kepemimpinan Joko Widodo tak mengalami perubahan, barangkali saya dan Ubeidillah Badrun hanya siap bermurung durja atas tantangan abad 21 yang sudah pasti sudah menghulubalangkan kami, generasi aktivis mahasiswa 1990an. (**)

Jakarta, 19 November 2021, tepat sebulan setelah tulisan Ubeidillah Badrun muncul.

Penulis adalah Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara.

Berita Terkait