Oleh: Hasdin Mondika
Rekayasa sosial hampir terjadi dimanapun dibelahan bumi. Silih berganti dan jatuh bangunnya bangsa-bangsa tidak lepas dari desain rekayasa sosial.
Dalam perjalananya rekayasa sosial dapat menghasilkan hal-hal baik bagi suatu bangsa atau masyarakat, seperti Ayahtullah Khomeini mencetuskan Revolusi Iran, Revolusi Prancis sampai keberhasilan Mao Zedong tahun 1949, seorang anak petani yang mampu melakukan rekayasa sosial dengan membangun kekuatan industri yang berbasis agraris.
Namun disisi lain, rekayasa sosial juga telah menorehkan catatan kelam dalam perjalanan sejarah umat manusa, terutama dalam praktek berbangsa dan bermasyarakat, tidak sedikit rekayasa sosial tersebut telah melahirkan para tiran, perampasan hak-hak kemanusiaan bahkan sampai pada perbudakan dan penjajahan yang telah melahirkan derita panjang umat manusia. Sebut saja Firaun yang telah merekayasa dan mengangkat dirinya sebagai Tuhan, sampai pada penjajahan yang pernah terjadi di dunia ketiga, semuanya itu adalah noktah hitam dari sebuah desain yang dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Tragedi Banggai Berdarah yang pernah terjadi di Banggai pada tanggal 28 Februari 2007 atau sekitar 14 tahun yang lalu adalah buah kelam dari suatu rekayasa dan ambisi segelintir anak manusia yang tidak sadar mereka sedang digiring ke jurang perpecahan, sehingga nama dan kebesaran Tanah Banggai, baik dari sisi historis maupun kekinian akan pupus dalam bingkai kepongahan putra-putri terbaik Banggai yang telah bangga melupakan jati dirinya. Sehingga muncul penamaan baru seperti Pulau Peling, sementara nama GAPI yang berasal dari kata Banggapi yang menjadi nama asal muasal dari Banggai itu sendiri menjadi sangat asing dan terlupakan. Padahal sejatinya putera-puteri terbaik itu masih suku, bangsa dan bahasa yg sama yaitu Banggai.
Buntut kelam dari rekayasa itu ketika terjadi pengusulan Ibukota Kabupaten, ketika Kabupaten Banggai Kepulauan akan dimekarkan secara terpisah dari kabupaten Induk yaitu Kabupaten Banggai di Luwuk pada tahun 1999, dengan payung hukum UU 51 tahun Tentang Pembentukan Kab. Buol, Kab. Toli-Toli dan Kab. Banggai Kepulaun. Khusus untuk Kabupaten Banggai yang diresmikan pada 4 Juli 1959 disini telah terjadi rekayasa pertama, yang mana penempatan di Ibukota Kabupaten bukan di Banggai tapi di Luwuk. Sehingga dalam perjalannya kabupaten ini disebut dengan Kabupaten Luwuk Banggai. Hal ini untuk mengakomodir hak sah dari Banggai, karena sebenarnya memberikan status daerah tingkat dua adalah untuk menghargai kedaulatan eks Kerajaan Banggai yang pada akhirnya pada tanggal 12 Desember 1959 harus menyerahkan kedaulatan NKRI.
Rekayasa kedua, terjadi pada pemekaran tahun 1999, seolah-olah Banggai yang dinamakan dengan Kabupaten Banggai Kepulaun adalah daerah yang baru mekar, baru terbentuk dari daerah induknya yaitu Luwuk (yang memakai nama Kab. Banggai). Selanjutnya rekayasa ketiga dan seterusnya terjadi lagi sisipan pasal 11 di Undang-Undang 51 tahun 1999 yang mana terdapat dua pasal yang bertentangan dengan Pasal 10 yang menyatakan bahwa Ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan berada di Banggai. Sementara Pasal 11 di UU 51tahun 1999 tersebut berbunyi bahwa selambat-lambatnya dalam 5 tahun kedepan Ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan dipindahkan ke Salakan.
Jadi sejatinya tragedi Banggai Berdarah yang terjadi pada tanggal 28 Februari 2007, 14 tahun silam yang telah menewaskan 4 orang, 16 luka tembak dan sekitar 132 orang luka-luka adalah buah kelam dari sebuah kompetisi dan kompetisi di jazirah Banggai.
Seperti kita ketahui setelah keruntuhan Kerajaan Banggai di 3 Banggai ini teradapat 3 suku bangsa disamping suku-suku bangsa lainnya yaitu Lobo (Seasea), Loon (Balantak) dan Loinang (Saluan) tidak dapat di pungkiri masih ada kompetisi ketiga suku bangsa ini dalam memperebutkan hegemoni setelah jatuhnya kerajaan Banggai.
Karena itu harus dipahami bahwa Tragedi Banggai Berdarah pada tanggal 28 Februari 2007 bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, tapi banyak unsur yang terlibat didalamnya.
Perlawanan rakyat Banggai dalam tragedi Banggai Berdarah bukanlah perlawanan buta yang berbuah perpecahan anak negeri saat itu. Perlawanan dalam tragedi Banggai Berdarah adalah perlawanan melawan rekayasa yang berkepanjangan, perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan.
Hari ini tepat pada tgl 28 Pebruari utk 14 tahun silam, para eks pejuang Tragedi Banggai Berdarah menyatakan bahwa kami masih dan akan tetap ada selama nafas berhembus untuk perbaikan dan kemajuan negeri Banggai tercinta. Salam untuk penguasa negeri dan lambaian kasih untuk rakyat Banggai tercinta. semoga. (**)
Penulis adalah : Pemimpin Yayasan Noa Moloyos