Oleh : Mohammad Zamrud
Tahun 2020 telah meninggalkan kita. Tahun yang cukup berat untuk dilewati. Kita melaluinya dengan lelah dan terengah-engah. Pandemi ini menekan segalanya. Ekonomi berkontraksi. Belum lagi dengan bencana alam dan kegaduhan politik yang menyertainya. Setidaknya kita diajarkan untuk selalu optimis menatap masa depan. Seperti Kahlil Gibran dalam petuahnya, kemarin adalah kenangan hari ini, besok adalah impian hari ini.
Dua minggu lalu saya mengikuti seminar tentang keberterimaan produk perikanan Indonesia di sebuah hotel bintang lima. Ada narasumber yang menarik perhatian saya. Namanya Marina Novira Anggraini. Dia seorang diplomat. Jabatannya adalah Atase Perdagangan KBRI Beijing. Dia menjadi pejabat penghubung dengan otoritas kompeten di China ketika ada produk ekspor kita yang bermasalah. Dia berpengalaman dalam negosiasi dagang di wilayah Asia Pasifik.
Hari itu, dia membawakan materi secara daring. Dia berbicara tentang kondisi negeri Tirai Bambu yang tengah memperkuat ekonominya pasca pemulihan pandemi. Banyak regulasi baru yang dibuat untuk memagari negara tersebut dari masuknya penyakit melalui produk pertanian dan perikanan. Beberapa kontainer kita tertahan di pelabuhan Xiamen karena menunggu hasil inspeksi dan memastikan hasil rapid test dinyatakan aman sehingga bisa dikonsumsi masyarakat disana. Mereka tengah gencar-gencarnya memproteksi produknya. Pelaku usaha di tanah air diminta untuk mengikuti standar untuk menerapkan protokol kesehatan dari hulu sampai hilir jika tidak ingin produknya bermasalah. Kabar gembiranya adalah, Indonesia masih menduduki peringkat pertama pemasok rumput laut ke China dengan pangsa 40,7% dan total nilai ekspor USD 137,6 juta selama bulan Januari sampai Oktober 2020.
Saya terpukau dengan materi yang dibawakannya. Didorong oleh rasa penasaran, saya kemudian mencari jejak digitalnya di mesin pencari. Di masa normal baru seperti ini aktivitasnya selalu padat. Dia selalu berpindah dari satu webinar ke webinar lain menjadi pembicara. Saya pikir dia sosok yang serius, ternyata dia merupakan pencinta sastra. Banyak puisi yang bertebaran di linimasanya. Bagi saya, dia sosok yang smart, fashionable dan cantik. Lebih cocok menjadi seorang model ketimbang pejabat publik. Pemaparannya sangat sistematis dan straight to the point. Kecantikannya seperti badai Katrina yang meluluhlantakkan perasaan kaum pria. Penjelasannya sedalam palung Mariana di Samudra Pasifik. Saya teringat ucapan seorang kawan mengapa banyak nama wanita diabadikan menjadi nama badai. Mungkin semacam pesan dari semesta supaya kita tidak mempermainkan perasaan wanita. Satu lagi, saya juga termasuk followernya.
Marina mengingatkan saya tentang Yuval Noah Harari. Dalam buku Homo Deus : Masa Depan Umat Manusia, Harari memperkuat sintesanya. Dia menyinggung tentang pangan dan epidemi. Kebetulan China adalah negara yang telah melewati dua fase tersebut. China merupakan salah satu negara yang sukses melewati krisis pangan. Jumlah penduduknya yang besar membuat kekurangan pangan melanda. Tapi mereka sukses melewati itu semua dan menuju keajaiban ekonomi terbesar dalam sejarah. Sejak 1974, mereka mengklaim telah mengentaskan ratusan juta orang dari jurang kemiskinan. Dan kini, mereka bebas dari bencana kelaparan.
Fase epidemi adalah fase terberat dimana covid-19 bermula. Mulai dari Wuhan kemudan menyebar menjadi pandemi global. Tetapi mereka kemudian membuktikan, bahwa kealpaan itu telah dibayar dengan menekan jumlah korban yang meninggal di negaranya. Mereka mampu bangkit dari keterpurukan. Ekosistem pelayanan kesehatan dibenahi. Mereka mengembangkan anti virus untuk melawan wabah itu. Sistem deteksi dini dibangun di bandara dan pelabuhan secara cepat, tepat dan berbasis data.
Momen pergantian tahun ini disyukuri bisa dekat dengan keluarga. Tidak ada yang istimewa. Hanya harapan, optimisme dan keikhlasan yang dibumbungkan, Termasuk imun. Teringat saya, ketika melintas di depan toko bangunan tadi siang. Disitu ada truk terparkir dengan tulisan dibelakangnya yang “menghebohkan”. Hargailah waktu ketika hidup didunia, 1 detik sangat bernilai dalam kehidupan, apalagi 19 detik. Hmm, benar juga.(**)
Penulis adalah Pemerhati Sosial Budaya dan Isu-isu Politik Lokal Banggai Kepulauan tinggal di Kota Makassar.